“Saya ingin anda membuat persis sesuai kebutuhan Yomenoba Farma. Pimpinannya kemarin langsung kemari dan meminta pengajuan. Tolong baca baik – baik, Chiba-san!”
Nadanya selalu tinggi dan terdengar memerintah. Seperti biasa wanita ini nggak pernah bosan membuat jantungku ketar – ketir.
Ia menyodorkan dua lembar kertas ke arah mejaku. Berdiri dengan sikap angkuhnya, mengenakan jas mahal warna merah tekstur corduroy, tegak melipat kedua tangannya di dada sambil memasang wajah tegas.
Yumi Tomiko, 31 tahun tapi jangan bilang atau menebak langsung dari mulut jika tidak ingin ditampar langsung. Wanita berambut kuncir roti bun pirang, menggunakan high heels, dan lipstik merah tebal. Rumornya, ia adalah primadona dan idola seluruh karyawan karena prestasi dan aura kepemimpinannya. Pfft, sederhana saja, orang – orang hanya memandangnya dingin tapi sangat cantik. Bahkan saya bisa membandingkannya dengan model lain Pada dasarnya dia ini memang kepala cabang. Roman mukanya memang sangat kompeten.
Nah, meski rumor adalah rumor. Realitanya adalah…
“Ratu menyebrangi jembatan melalui punggung budak – budaknya yang berjejer sampai tepi.”
Itulah analoginya.
Bagamana tidak? Aku baru semenit duduk di tempatku, pukul 04.27 pagi, berniat ngeteh sambil makan roti yakisoba yang kubeli daro Dai-san sebagai sarapan, wanita ini nggak tahu diri tiba – tiba datang.
Mau bagaimana lagi, ‘kan? Yang namanya budak, patuh pada tuannya adalah hal yang menjadi kewajiban. Aku segera mengcek dua lembar proposal itu.
(Ya ampun… sudah kuduga selalu begini.)
“Biar saya tebak, lembar satunya ini adalah versi anda sendiri?” Aku balik memandangnya dengan tatapan dingin. Faktanya, aku memang nggak pernah memandangnya gembira.
“Anda mengerti saya dengan baik selama 3 tahun ini, Chiba-san,” ia tersenyum, dan hanya pada bagian ini nadanya rendah dan halus.
Ini tentu sangat menjengkelkan. Versinya selalu lebih merepotkan. Maksudku, bila klien meminta A, seharusnya hanya diberikan A. Bukannya AB. Selain boros tenaga dan waktu, budget klien bahkan hanya sampai A.
Aku sudah lelah menasehati wanita dongkol ini. Karena ia selalu punya alasan seperti ini,
“Nah, tentu mereka hanya dapat A. Tapi, dengan tambahan B, adalah penawaran untuk mendapat nilai lebih,”
“Oke… saya mengerti garis besarnya,” kataku membalasnya. “Kalau si klien pada akhirnya membeli A?”
“Nah, terkadang negosiasi nggak selalu mulus seratus persen,”
(Negosiasi nggak selalu mulus kepalamu! Itu hanya buang – buang energiku, dong? Lagian belum mulai jam kerja juga!) pikirku saat itu dengan geram dan nggak ada halus – halusnya.
Begitulah cara Yumi Tomiko menghargai kinerja karyawannya. Tentu, bila aku memprotes lagi, selalu ada omong kosong lainnya.
“Saya mengerti, Tomiko-san. Biarkan saya sarapan dulu. Lagipula ini juga belum waktunya jam kerja,”
“Baik, sampai nanti.” Saat hendak pergi menjauh dariku, ia kemudian berbalik dan mendekat untuk mengatakan omong kosong lagi. Sayang sekali gerak – geriknya sudah terbaca.
“Eh-ehem…! A-anda sebaiknya sarapan lebih banyak ketimbang roti. Kalau boleh saya menyarankan lebih baik ikan dan nasi. Miso sup juga tergolong mudah, anda bisa memasak di kantor. Lalu ada juga blabalabla….”
(Diam, jalang! Inginnya berkata seperti itu…)
Lagipula nggak ada yang salah dengan sarannya itu. Pertama, aku selalu mendengar omong kosongnya tentang sarapan yang baik dan benar. Masalahnya adalah dengan jam kerja yang tolol itu. Daripada makan sehat, bukankah lebih baik jadwal tidur yang lebih panjang?
“Jika anda mau bagaimana kalau saya-“
“Maaf, terima kasih, Tomiko-san.” Aku menolaknya mentah – mentah sambil memasang headshet di kedua telingaku, Anehnya, Tomiko-san nggak marah. Nah, tentu roman mukanya terlihat kecewa setelah kuacuhkan.
Sebenarnya Tomiko-san sering masak dan sarapan di dapur kantor. Kantorku bekerja punya fasilitas yang dibilang sangat mewah. Sebenarnya, aku bisa saja nggak usah menyewa apartemen. Fasilitas kantor terdapat kamar yang ukurannya separuh dari ukuran apartemen yang kusewa. Lengkap dengan kamar mandi, kulkas, dan komputer pribadi.
Kenapa bisa begitu? Karena perusahaan ini adalah nomor satu di jepang.
***
Thornstack Cybersecurity cabang Osaka, bertempatkan di distrik komersial Kita ward. Perusahaan pihak ketiga yang menjadi kepercayaan nomor satu bagi perusahaan lainnya dalam melindungi database. Bahkan, mulai tahun ini pemerintah juga menerapkan produk kami.
Thornstack Cybersecurity nggak hanya menjual software antivirus, melainkan beberapa software untuk database bisnis.
Aku, Chiba Takeichi, adalah software engineering Thornstack Cybersecurity cabang Osaka, sekaligus menjadi pemimpin dari sebuah projek.
Projek yang disodorkan oleh Tomiko-san pagi – pagi sekali adalah milik Yomenoba Farma. Salah satu rumah sakit swasta yang paling bergengsi di jepang. Pihak mereka kemarin baru saja menandatangani kesepakatan untuk membeli satu paket semua software Thornstack Cybersecurity.
Yang menjadi masalah adalah, salah satu produk tersebut yang dalam kontrak, software administrasi bisnis kustom yang kompleks, hanya diberi waktu dua minggu. Nggak perlu turun ke timku, aku bisa menebak mereka akan mengomel, memprotes dan menggerutu. Meski sedang mengerjakan projek untuk perusahaan di bidang kesehatan, projek ini jelas total sama sekali tidak menyehatkan mental timku.
Negosiasi Yumi Tomiko selalu terlihat baik untuk klien maupun pimpinan pusat. Namun, secara perlahan membunuh kami.
Inilah definisi perbudakan yang sebenarnya. Bekerja sangat awal, pulang sangat akhir, lantas kembalikan ritmenya.
Karena jam tolol ini, aku bahkan hanya sempat membuatkan bubur hangat untuk Ventine-san dan pergi nggak berpamitan. Aku bahkan nggak sempat memberitahu apapun tentang apa yang harus dan nggak boleh Ventine-san lakukan. Tentu itu sedikit membuatku khawatir.
Pukul 09.00 pagi…
Ruangan kerja kami seluas stadium basket bola basket yang beralaskan karpet merah dengan tujuh pos tim software engineer. Di tengah – tengahnya, tempat Tomiko-san bekerja dan menerima laporan.
Aku, dengan tiga bawahan kepercayaanku, tentu mereka punya masing – masing satu asisten, mengerjakan projek tersebut.Kami yang fokus disuruh sementara berhenti untuk mendengarkan omong kosong lainnya.
Tomiko-san mengatakan lewat mic, bahwa bulan ini ia ada hadiah spesial untuk para pegawai. Ia berkoar – koar saat projek selesai nanti, semua orang akan mendapat liburan gratis di Okinawa selama tiga hari. Hampir semua orang, kecuali posku, bersorak – sorak bergembira;
“Hah… mereka selalu bersemangat,” ucap Kunihiko-kun.
Shoji Kunihiko memakai kacamata dan setiap hari selalu murung setelah setahun bekerja di tempat ini. Jangan khawatir, ia hanya penggila game yang nggak bisa mengatur waktu.
“Justru aku berpikir aneh. Mengapa mereka senang? Lagipula rekreasi nggak bisa menggantikan jadwal tidur!” sahut Kiyoko-kun memprotes.
Asako Kiyoko, bawahanku satunya, wanita otaku berkuncir dan rambut hitam pendek. Kiyoko-kun, si wanita yang mengedepankan logika.
“Mmmmph… apa mereka punya jadwal yang lebih sedikti dari kita, Chiba-senpai?” Nao-kun berpaling ke arahku.
Aki Nao, wanita yang selalu pesimis. Nah, dia adalah tangan kananku. Asal tahu saja, Nao-kun lama bekerjanya sama denganku. Dia berhati keibuan dan sering menopang tim.
“Nggak, mereka sama saja kok dengan kita, Nao-kun. Mereka hanya manusia masokis,”
Pidatonya itu lumayan lama sekitar sejam. Otomatis itu menunda jam pulang kami yang dari awal memang sangat malam. Bawahanku, tanpa pengecualian asisten mereka semuanya menggerutu.
Itu cukup membuat kesimpulan di benakku. Bila seseorang memberi hadiah, maka tentu wajar kalau kita membalasnya, ‘kan? Karena itu…
Aku telah menyiapkan “Hadiah” sebagai balasan, di jauh – jauh hari dengan mantap.
***
01.45 pagi…
Aku telah menyuruh semua anak buahku untuk pulang di jam tujuh malam tadi. Namun mereka ngotot untuk bekerja bersamaku sampai pukul 10 malam. Mereka menginap di kantor, enam belas lantai di atas. Oh ya, gedung ini ada 20 lantai. Tempat kami bekerja ada di lantai empat. Sedangkan kamar karyawan menginap ada di lantai 14 hingga 20. Khusus karyawan software engineering.
Bahkan, tangan kananku, Aki Nao, lebih keras kepala dari yang laiunnya. Ia punya seorang anak masih SD dan ngotot bekerja bersamaku sampai pukul 12 malam. Mempunyai bawahan yang pengertian memang menyenangkan, namun kadang aku merasa bersalah.
Semua itu kutebus pada “Hadiah” yang kumaksudkan tadi.
Business database software untukYomenoba Farmatelah kuselesaikan. Sisanya tinggal bawahanku yang melakukan pengujian walau itu nggak perlu. Karena aku semalaman dengan Nao-kun melakukan debugging pada software tersebut. Hingga saat ini, telah kulakukan uji ulang sampai seratus kali.
(Untung sudah nggak error. Hah…. Capek sekali! Aku hampir mati kelelahan!!! Ugh….)
Aku berdiri sambil menggerak – gerakkan pinggang. Memutar ringan pergelangan tangan, hilir mudik di sekitar, memutar nyaman kepala, sampai pergerakan senam kecil lainnya. Otot dan tulangku terasa nyeri bahkan kadang mati rasa.
#Tongteng~
Tepat setelah lima belas menit senam kecil, notifikasi ponselku berbunyi. Membaca dan memahami isi pesan yang kubaca, aku menghirup udara sedalam – dalamnya.
Kemudian menghempaskan dengan senyaman mungkin. Pikiranku rasanya jauh lebih plong dan longgar.
“Yosh~ sekarang tinggal membei tahu Tomiko-san.”
Aku segera naik lift, memencet tombol angka dua puluh. Setelah pintu lift terbuka, aku lekas berbelok ke kiri dan melewati empat kamar dari lift. Aku mengetuk pintu yang berada di sebelah kiriku.
“Tomiko-san? Tomiko-san?”
Sekitar tiga menit, Tomiko-san yang memakai piyama pink dengan dada agak menonjolkan rudal balistiknya tampak mengantuk.
“Ada apa, Chiba-san? Apa nggak bisa besok saja?” Tomiko-san menguap sambil mengucek matanya.
(Ngomong apa dia? Sudah jelas sekarang ini adalah besok!)
“Ah… maaf, tapi ini hanya sekali saja.” Aku menunjukkan pesan notifikasi ponselku padanya.
Chiba Takeichi – Usia 30 tahun
Lama bekerja : 8 tahun
Jabatan : Chief – Engineering Software – Tim 3
Status : Pengunduran diri – diterima (HRD pusat)
Membaca itu, roman muka Tomiko-san mengencang dan melupakan kantuknya. Maksudku, aku menikmati wajah khawatir Tomiko-san untuk yang terakhir kalinya. Aku bisa merasakan rasa khawatir dari kerutan di dahi dan mulutnya yang ingin mengucap namun agak enggan.
“Ta-tapi… padahal tadi… saya hendak mem-memberi hadiah pada para karyawan…. An-anda- sejak kapan? Mengapa?!“ Aku terkejut ia tampak sangat terpukul. Di bagian puncaknya, bahkan Tomiko-san tampak nyaris menangis.
“Karena itulah, saya ingin secepatnya membalas budi juga,”
Tentu. Dengan “hadiah” itu.
Tanpa ucapan perpisahan yang menyentuh, atau penghiburan kecil, aku menginggalkan sang ratu itu yang kini... terlihat begitu hancur.
Aku bahkan nggak tahu dan nggak mau tahu apa yang membuatnya hancur, karena selama tiga tahun ini pula... dia bahkan nggak tahu apa yang kurasakan.
Dia ... bahkan menunjukkan sedikit senyuman, mengetahui istriku...
Telah meninggal.
Dengan wajah sedihnya yang dibuatnya dengan tampak sangat natural.
ns18.225.95.186da2