Aku terus berjalan lurus dari Konbini Haruhiro. Gang kecil yang gelap nan bercabang ini memang ruteku pulang. Suasananya agak lembab dan mencekam apalagi gerimis – gerimis begini.
Adapun cahaya yang agak redup yang bukan pertanda baik. Percayalah, di gang kecil bila ada tempat dengan cahaya redup, bukanlah tempat terpuji.
Seperti toko kecil di sebelah kiri setelah aku melewati empat perempatan. Tempat itu dinamai Kuro Ajisai.
(Hah… mereka masih membuka praktek bahkan dengan rute Drone yang diperbarui sampai ke gang – gang kecil?)
Beberapa wanita muda mengantri di tempat itu. Mereka semua bermuram durja dan penuh putus asa. Kata orang, tempat itu adalah tempat di mana wanita mengubur penyeselannya karena nggak memanfaatkan masa muda dengan baik.
Melangkah lebih jauh, melewati sekitar enam tujuh perempatan, aku terbiasa melihat lima tunawisma berkemah di sebelah gedung korporat. Mereka, dengan tenda kecil yang mungkin nggak terlalu memberi kehangatan, selalu memandang penuh harapan kresek yang kubawa.
Tentu ada alasan mengapa aku membeli banyak roti dari Dai-san. Saat aku berhenti di depan, mereka segera menggerumuniku. Ini adalah hal yang biasa kulakukan.
“Ini untuk Denbe-san.” Aku memberikan dua roti ukuran besar, satu manis dan satu gurih.
“Te-terima kasih, Takeichi-san!” Pria parubaya bertopi merah itu langsung kembali ke tendanya.
Begitu pula pada empat orang lainnya, Nobunobu-san, Uegaki-san, Hisae-san, dan yang termuda, Akio-kun. Khusus Akio-kun, pelajar SMA yang beralih jadi tunawisma setelah keluarganya meninggalkan hutang jutaan yen. Rumah Akio-kun disita. Untungnya, dua debkolektor itu agak baik membelikan tenda dan beberapa uang kecil. Itulah satu – satunya yang dimiliki Akio-kun ketika aku pertama kali bertemu dengannya.
Mereka tampak lega. Mereka adalah bagian dari makhluk hidup yang mencari makan di gang kecil ini. Aku hanya berdoa agar uangku masih dalam jumlah yang masuk akal untuk menyuplai orang – orang ini.
“Take-takeichi-san,”
“Ada apa, Akio-kun? Apakah ada yang kurang?” tanyaku balik dengan heran. Hanya Akio-kun yang masih berdiri di tempat.
“Anu… tadi sepertinya saya melihat ada wanita gila yang masuk ke gang apartemen Takeichi-san! ”
“Wanita gila?”
“Uh-huh. Tadi sekitar jam enam sore, waktu hujannya masih deras sekali, Hisae-san mencoba menawarkan handuk tapi wnaita itu menolak dan terus berjalan. Kami kira, ia mau bergabung dengan kami,”
Semua orang tunawisma ini selalu agak takut dan malu bila berbicara denganku. Semua hal penting, selalu Akio-kun yang menyampaikan.
Aku mengambil empat langkah mendekati tenda sebelah Akio-kun. “Apa itu benar, Hisae-san?”
Seorang wanita sekitar 40 tahunan keluar dari tenda ungunya. “Be-begitulah, tuan Takeichi-san! Sa-saya sempat khawatir dengan keadaannya!”
Hisae-san adalah satu – satunya wanita tunawisma di sekitar sini dan tipikial orang yang khawatiran. Dulu, Hisae-san mengatakan bahwa uangnya habis karena obat penenang pikiran.
Aku mengatakan pada mereka berdua akan segera mencarinya bila ketemu.
Apartemenku tinggal dua blok perempatan lagi. Apartemen yang kusewa selama beberapa tahun ini hanyalah apartemen murah. Namun, aku mengambil kamar yang paling mahal. Biayanya mungkin setara dengan apartemen mewah yang paling murah di Tokyo.
Bertempatkan di jalan Ikeda Minamimachi 242-1101, sebuah gedung bernama Kansha Jūkyo. Pagarnya menggunakan pagar besi otomatis dengan mesin scanner. Yang bisa masuk adalah hanya orang yang punya kartu keanggotaan Kansha Apartemen. Kamar apartemenku berada di lantai dua.
Percaya atau nggak, suasananya jauh lebih sepi dibandingkan gang sempit tadi. Seperti kuburan untuk gedung apartemen yang kamarnya telah sepenuhnya disewa.
Bahkan, mungkin saja bila ada orang yang pingsan di sekitar sini, maka orang itu akan terus pingsan.
(Apa? Siapa wanita itu?)
Aku kaget saat setelah masuk gang apartemenku, wanita basah kuyup dengan pajama hitam dan rambut panjang hitam yang agak basah karena gerimis dan tampak berantakan sedang mencari sesuatu di tong sampah. Dari belakang penampilannya tampak mengerikan. Aku bahkan nggak tahu harus bagaimana bila dia menoleh dan mengejarku?
(Chiba kamu nggak melihat apapun, dan apapun itu tentu bukan urusanmu!) Aku berkomat – kamit pada diriku sendiri sambil masuk ke apartemen. Walau satu kresek berisi penuh roti yang telah kuberikan pada para tunawisma tadi, satu kresek yang dipegang tangan kiri mulai merasa lelah. Entah bagaimana, aku akhirnya berhasil masuk tanpa memusingkan wanita itu.
Aku segera naik lift sambil bersandar sejenak. Wanita tadi membuatku kepikiran.
(Apa itu wanita yang dimaksud Hisae-san dan Akio-kun? Maaf, tapi aku nggak ada niat untuk menolong orang gila!)
Masalahnya aku ini egois. Aku nggak mau ada hal yang mengancam di satu – satunya tempat oaseku. Kamar apartemenku adalah satu – satunya tempat yang aku nggak boleh berurusan dengan masalah apapun.
(Menyerahlah saja, Chiba! Meski bercukupan, nggak berarti kamu bisa menolong orang lain, ‘kan? Toh, kamu pernah mencoba itu dan gagal, ‘kan?)
Pintu lift terbuka, aku langsung berbelok ke kanan dan menuju kamar yang paling pojok. Membuka kunci pintu, menaruh payung di rak dekat pintu. Nggak lupa, bunga krisan putih yang berada di saku jasku, kutaruh di tempat sampah. Tenang, karena seharian bersamaku itu telah layu, Lagipula aku punya banyak stok di kamar.
Setelah itu,
Aku segera menata semua barang belanjaan. Lantas, mencuci dan memasukkan beras pada penanak nasi sebelum mandi.
Setelah mandi, aku segera menyiapkan makan malam. Aku menuju ke dapur.
“Sup miso, omelet, sosis dan nasih nggak buruk.”
Aku segera menyiapkan enam telur yang dikocok terpisah lalu menggorengnya. Kemudian setelah itu empat sosis sambil bersamaan dengan mencampur pasta miso ke dalam kuah daging ya kusimpan dalam kulkas.
Dalam beberapa menit…
#Bibibiubeeep~
Suara intrumen bit yang kuatur pada penanak nasi tiba – tiba berbunyi. Tandanya nasi telah siap.
Aku menyiapkan segalanya di meja makan. Dua manguk sup, dua piring nasi omelet serta dua sosis. Satu dispenser air mineral dengan dua gelas sedang. Di tengahnya sudah kutempatkan satu vase penuh air untuk bunga krisan putih. Yup, ini tentu cukup.
(Hm…? Kok ada yang kurang ya?)
Semua tertata berhadapan. Aku bahkan telah menyalakan penghangat yang baru saja diperbaiki kemarin.
“Aha! Ginger ale!” Lekas aku bergegas mengambil dua kaleng ginger ale dari kulkas. Kedua kaleng itu langsung kubuka dan kutaruh di meja.
Saaat kembali duduk di meja makan, aku masih merasa ada yang kurang.
(Oh iya!)
“Yukaaa~ Makanan sudah siap!”
Aku memanggil yang kedua kalinya, tetap nggak ada yang menjawab.
“Yukaaa~ Yukaaaa~” Aku berkeliling dari dapur, ruang tamu, kamar mandi, kamar Yuka pun kosong, lalu yang terakhir, ke kamarku sendiri.
“Yuka-“
Seolah nadaku terputus enggan melanjutkan, mulutku langsung menutup. Aku seharusnya tahu dan ingat.
Terdapat kuil altar kecil yang ditemani banyak bunga krisan putih. Ada bekas dan foto tunanganku, Yuka Shiragiku. Aku baru ingat bahwa aku mengambil bunga krisan putih dari sini. Senyuman Yuka bahkan nggak pernah padam dan selalu sama seperti dulu.
(Yuka…. Maafkan aku….)
Aku bersandar lemas. Sedangkan masa lalu kami mulai terbuka kembali memenuhi isi pikiranku sesaat.
ns18.222.213.240da2