Namanya adalah Dina. Sebuah nama diantara nama – nama yang terbalut kekecewaan atas perlakuan sebuah rezim di negerinya. Aku tahu namanya saat aku secara tidak sengaja ikut dalam acara bertajuk rekonsiliasi antara korban G-30 S PKI.Aku berkenalan dengannya dan bertanya sejak kapan dia di tahan. Dina bercerita tadinya seorang seniman kampung yang sangat terkenal akan kecantikannya maupun suaranya. Tubuh yang menggoda setiap laki – laki, tua dan muda.Semuanya begitu menikmati lekukan tubuh Dina saat mengeluarkan suara sindennya.Dari pancaran wajahnya aku masih bisa melihat bekas – bekas wajah cantiknya saat muda dan juga wajah sebuah keikhlasan dalam menerima nasib sebagai korban keganasan sebuah rezim otoriter.
Waktu itu tahun penuh dengan pembangunan politik Presiden Soekarno.Situasi politik serba terpimpin.Para senimansaat itu umumnya menolak untuk mengkaitkan seniman dengan politik.Presiden Soekarno mencoba membangun impiannya dalam bentuk NASAKOM.Waktu itu sebuah lembaga seni yang merupakan sempalan Partai Merah begitusemarak dalam menampilkan pentas – pentas seni dalam upayanya menarik simpatisan kaum pedesaan.Lembaga seni tersebut kadang mencoba mendompleng seseorang atau grup tertentu dan menganggap bagian dari lembaga tersebut.Dalam situasi yang seperti itu beberapa seniman yang tidak ingin diatur – atur partai politik membuat sebuah gerakan manifestasi kebudayaan yang celakanya mengantarkan mereka sebagai sasaran tembak orde lama.Satu lagi LEKRA yang merupakan lembaga yang dianggap pro PKI.
Selama satu bulan lebih saya mencoba mencari beberapa wanita terkait masa lalu kelam Negara Indonesia.Telah sebulan aku mengetahui Dina melalui sebuah simposium rekonsiliasi. Dina dengan tulus dan ikhlasnya memberikan kesempatan padaku dan mengundangku untuk datang ke tempatnya di Telaga Bodas sekitar daerah Sukabumi.
“Silahkan Bapak datang ke tempat saya” begitu undangannya.
Aku merasa bersyukur dia mau mengundangku, selama ini aku ingin sekali mewawancarai wanita – wanita korban salah tangkap dari aparat pemerintah dalam rangka pembasmian Partai Merah sampai akar – akarnya.Aku tidak tahu kenapa aku lakukan ini.Aku begitu tertarik dengan fenomena tuduhan Gerwani. Hanya saja apa yang aku lakukan begitu meleset. Aku begitu merasakan duka yang medalam bagi seorang wanita korban salah tangkap.
Cuaca cukup panas saat aku di sebuah terminal Tanjung Priok.Kumuhnya suasana terminal sangat terasa.Hanya saja kebijakan Pemda saat ini kurasa cukup untuk menertibkan terminal.Aku menumpang Bis jurusan Sukabumi pukul tujuh lewat tiga puluh.Bis sudah cukup ramai penumpang. Para pengamen datang silih berganti mencari rezeki. Aku ingat bahwa aku harus mengeluarkan sedikitnya lima ribu rupiah untuk lima pengamen yang mengamen selama perjalananku.
Yang cukup berkesan buatku adalah para pengamen itu cukup santun dalam hal cara dia meminta uang. Aku paham dibalik kerasnya hidup ini, mengamen merupakan salah satu upaya untuk menghidupi kaum marginal dengan harapan bisa dilirik pengusaha rekaman untuk segera membuat rekaman.Mungkin saja mengamen menjadi alternative terakhir untuk menyambung hidupnya.Perjalanan ke Sukabumi cukup singkat mengingat sekarang bukan situasi lebaran. Hanya satu jam lebih sedikit. Saat memasuki wilayah Bogor cuaca berubah menjadi sejuk dan mulai turun hujan.Bis mulai melambatkan lajunya demi keselamatan penumpang. Mobil mulai nampak memadati jalan menuju Sukabumi, namun bukan macet alasannya melainkan jalanan sudah digenangi air.Dalam perjalanan aku mencoba membaca koran yang tadi kubeli. Beritanya mengenai eksekusi mati tahanan narkoba, semuanya berjumlah tiga belas orang.Aku pikir ini cukup adil bagi seorang penjahat narkoba.Ada juga berita tertangkapnya seorang buronan koruptor di Singapura.Semua berita mengenai kejahatan sudah membosankanku.
Jalanan perempatan Bogor – Sukabumi mulai macet, selain karena hujan kendaraan pun agak padat, mungkin sudah sore hari dan para pekerja memasuki hari ketiga sejak liburan cuti bersama lebaran selesai.. Hujan memberikan sebuah kesejukan pikiranku mengenai beberapa hal.Saat itu naik seorang perempuan yang mau pulang kerja.Dia kerja di wilayah Bogor sekitar Kebun Raya, usianya sekitar dua puluh tahun.Raut mukanya menandakan dia begitu lelah.Lelah saat mencari nafkah yang halal.Kami berkenalan dan aku terkejut saat dia mengatakan dia seorang janda.Aku pikir dia masih cukup muda untuk menjalankan kehidupan rumah tangganya.
“Ini adalah sebuah nikah yang tidak saya inginkan Pak”
“Lantas bagaimana bisa Teteh mau menikah”
“Saya menikah karena Abah saya punya hutang pada seorang pengusaha garmen.Abah tidak mampu membayar hutangnya.Waktu itu anak pengusaha garmen itu tertarik melihat saya.Makanya dia langsung menikahi saya sebagai pelunasan hutangnya.”
Aku melihat memang parasnya masih terlihat cantik.Wajahnya memancarkan dia berjuang dalam kerasnya kehidupan.Aku heran ternyata masih ada wanita yang mau mengikuti kehendak gila orang tuanya seperti ini.Dia telah memiliki seorang putra berusia tiga tahun.Dia harus bekerja untuk membiayai kehidupannya. Suaminya telah meninggalaknnya begitu saja untuk menikah dengan wanita muda lain. Sepertinya mantan suaminya seorang berwatak kuno dalam memandang perempuan.
“ Bapak sendiri mau ke mana?”
“ Saya mau bertemu seseorang di Telaga Bodas”
“ Masih jauh Pak. Kira – kira sejam lagi.Saya akan turun sebentar lagi “
Wanita itu turun di sekitar Pasar Cibadak.Wajahnya begitu lelah namun matanya masih memancarkan semangat yang menyala untuk menyongsong hari esok dan kesempatan baru. Hujan rintik – rintik membasahi jendela bis yang sedang kutumpangi. Bis ini lumayan sudah lama. Pukul Lima sore Bis sudah memasuki alun – alun kota tak lama kemudian memasuki Terminal Kota Sukabumi.
Dalam keadaan hujan rintik – rintik aku segera meneduh di terminal. Saat kulihat angkutan kota yang kucari aku langsung masuk. Ada tiga penumpang dalam mobil itu.Perjalanan berlangsung selama tiga puluh menit.Sampailah aku di gerbang Desa Telaga Bodas. Aku naik ojek karena begitu lelah, aku tanya pada orang sekitar pangkalan ojek mereka mengaku mengenali wajah Dina. Mereka memangginya Nyi Inah.Aku naik ojek di tengah hujan rintik – rintik.Pemandangannya begitu indah saat sore hari.Pepohonan tinggi nan rindang yang merupakan ciri khas hutan hujan tropis. Kabut tebal menyelimuti Gunung Pangrango. Anak – anak kampung berjalan ke masjid ramai – ramai berpayung sambil tertawa untuk mengaji selepas maghrib. Suasana pedesaan yang begitu kental.Aku lihat juga ada sebuah bangunan yang kuduga dulunya sebuah pos atau markas militer di desa tersebut.
“Pos militer itu sudah tak berfungsi lagi Kang.Pos militer itu sangat bersejarah.Dahulu merupakan Pos tempat tentara Belanda. Saat tentara Nippon Jepang datang Pos militer itu menjadi markas tentara Nippon dan merupakan tempat penipuan para gadis yang akan dijadikan budak nafsu tentara Jepang saat perang dunia kedua. Tentara Republik mendudukinya setelah proklamasi kemerdekaan.Saat meletus Pemberontakan Kartosuwiryo.Pos ini jadi markas TNI.Saat Peristiwa G-30- PKI.Markas ini sempat jadi basis para tentara simpatisan PKI.Saat orde baru berkuasa.Markas ini dibekukan dibiarkan busuk.Tukang ojek itu seolah menginformasikan padaku.
Memang kalau aku lihat Pos Militer ini sangat menyeramkan jika dilihat dari luar.Seperti sebuah bangunan berhantu.Mungkin hantu – hantu dalam bangunan itu hanya ingin menguak sebuah kebenaran dari peristiwa – peristiwa yang pernah terjadi dalam bangunan tersebut.Bangunannya terlihat masih kokoh.Hanya rumput – rumputnya saja sudah panjang dan dibiarkan tidak terurus.
“Akang harus tahu bahwa Nyi Inah itu sebenarnya orang baik.Dia hanya tertimpa naas saja dituduh simpatisan PKI.Waktu itu Kang kita punya buku tentang Marxisme saja kita bisa langsung dituduh PKI.Orang – orang tua sini mengatakan bahwa Nyai Inah itu suka menyanyikan lagu genjer – genjer dan Nyai Inah tidak sadar atas lagu yang dinyanyikannya.Padahal itu hanya lagu saja.” Lanjut tukang ojek itu.
Tidak terasa perjalanan berlangsung selama tiga puluh menit dan aku telah sampai rumah Dina atau Nyi Inah. Rumahnya cukup sederhana dan nampak sudah mulai usang sana sini. Temboknya terlihat masih utuh.Halamannya cukup luas dan pepohonannya cukup rindang di bawah kaki Gunung Pangrango.Sisi kanan rumah itu ditumbuhi rumput yang tertata rapi, sedangkan sisi kanannya pepohonan yang tinggi masih kokoh.Semuanya memberikan sebuah kesimpulan buatku bahwa penghuni rumahnya begitu perhatian dengan kondisi rumahnya.Sangat ideal untuk beristirahat.Aku disambut cucunya seorang wanita berusia tiga puluh tahunan.Begitu ramah dan sangat bersahabat dalam menerimaku sebagai seorang tamu.
“Assalaaamualaikum, Teteh!”
“Waalaikumussalaaam, silahkan masuk Pak”
Aku mengenalkan diri kepada cucu Dina, namanya Masnah hari – hari dia bekerja di Puskesmas sebagai tenaga honorer perawat.Suaminya seorang tenaga honorer guru pada sebuah Madarasah Aliyah di daerah sekitar Telaga Bodas.
“Silahkan duduk dulu Pak, maaf situasi rumahnya begini.”
“Tidak apa - apa Teh, saya sangat suka dengan udara daerah ini begitu menyegarkan”
“Mmmmh bagi orang kota besar udara sini memang cukup menyegarkan untuk beristirahat dari penatnya kegiatan”.Aku sengaja duduk di teras rumah sambil menikmati embun pegunungan.Masnah menyajikan kopi dengan pisang gorengnya menambah kenikmatan.Gunung Pangrango nampak begitu dekat.Suasananya begitu alami tanpa ada penyembunyian apapun.Aku menunggu Dina yang kata Masnah tadi sedang mandi.Sambil menikmati nikmatnya kopi dan pisang goreng, aku mempersiapkan bahan – bahan dan alat – alat yang kubawa.Dalam lamunanku berkata dalam dinginnya cuaca pegunungan ini ternyata terdapat juga sejarah kelam yang menyelimuti daerah ini.Banyak cerita menyebutkan bahwa Telaga Bodas adalah desa bidadari.Desa ini merupakan salah satu tempat favorit bagi para penjajah maupun para pencinta syahwat. Pada zaman kolonial, Desa Telaga Bodas merupakan tempat peristirahatan para petinggi – petinggi VOC. Gadis – gadis Telaga Bodas banyak dijadikan Nyai – Nyai Tuan Belanda yang berduit dan para gadis – gadis ini ada yang terpaksa dijadikan Nyai oleh orang tuanya supaya bisa bebas dari hutang, ada juga yang mencoba menolak untuk dijadikan Nyai, ada juga yang sampai bunuh diri akibat tekanan batin menjadi seorang Nyai Belanda. Perempuan dan kekuasaan selalu saling terkait.Godaan wanita selalu ada menyertai harta dan jabatan. Sampai saat ini di dunia modern, masih sering kita ketahui dari beberapa pemberitaan media massa bagaimana seorang pejabat tinggi tertangkap tangan oleh lembaga anti korupsi dalam keadaan berduaan dengan wanita, juga ada berita mengenai kasus perselingkuhan seorang pejabat daerah dengan seorang atasannya. Ini merupakan sebuah cerita mengenai perempuan yang kadang dihinakan dengan sebuah kelakuan yang sangat memalukan.Pada zaman Jepang banyak gadis – gadis Telaga Bodas dijanjikan disekolahkan ke Tokyo oleh pihak Jepang, namun ternyata mereka sadar bahwa mereka diperalat untuk dijadikan budak nafsu tentara Jepang.Banyak mereka terbuang sampai ke Myanmar.Yang terbaru ada berita mengenai seorang nenek – nenek berusia 80 tahun yang baru pulang dari sebuah pulau di sekitar Kepulauan Maluku yang ternyata masih ada familinya di Telaga Bodas.Dahulu waktu dia berusia dia adalah seorang anak pejabat desa yang dibawa tentara Jepang.Kecantikannnya membuat para serdadu Jepang memperebutkan dirinya untuk dijadikan pemuas nafsu seksualnya.
Masalah perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual merupakan sebuah masalah klasik.Sejak zaman para Nabi, perempuan dijadikan objek untuk pemuas nafsu bahkan menjadi objek kekerasan para lelaki.Allah tidak menciptakan perempuan untuk dijadikan suatu objek kesenangan semata.Perempuan juga sarana ibadah para lelaki.Lamunanku harus berakhir saat Dina menyapaku.
“Apa yang kamu lamunkan Nak?
“Mmmh tidak lah Nek!”Aku mencoba memanggilnya nenek.
“Kamu baru tahu ya daerah ini?”
“Ya Nek, selama ini tahunya Pondok Halimun saja.Ternyata masih ada juga kecantikan alam yang tersembunyi.Salah satunya Telaga Bodas.
” Mmmmmm, kamu ini ternyata kalah dengan Belanda – Belanda zaman dahulu.Mereka begitu leluasa mengeksploitasi alam Negara kita.Mereka begitu mengagumi wilayah Telaga Bodas.Sayangnya karena dia penjajah, maka apapun bentuknya tetap aja niat busuknya pasti ada.”
Adzan Maghrib memecah dialog pembukaanku dengan Dina alias Nyai Inah.Aku membersihkan badanku.Begitu dinginnya air daerah Telaga Bodas.Aku menggigil saat mandi. Setelah selesai mandi dan sholat, aku menikmati hidangan makan malam ala pedesaan, ikan asin, sambal terasi dan lalapan khas daerah Telaga Bodas. Aku makan di tengah – tengah keluarga Dina. Mereka nampak begitu menikmati suasana kesederhanaan yang dijalani . Sebagai pasangan suami Istri Masna dan Jarman belum dikaruniai anak, namun mereka telah berusaha berbagai cara walaupun secara tradisional. Mereka tidak sanggup layaknya orang – orang kaya perkotaan yang berobat ke sana – kemari ke dokter anu dan pergi bahkan ke luar negeri untuk mendapatkan berbagai terapi dan pengobatan kesuburan dengan biaya yang cukup mahal. Kami berempat menikmati makan malam sambil berbincang – bincang santai dan tertawa ramah.
Setelah sholat Isya aku ingin segera memulai tujuanku untuk meminta Dina menceritakan pengalamannya di zaman yang dikenal hitam dalam sejarah Republik.Pukul delapan malam Desa Telaga Bodas sudah gelap.Lampu penerang rumah cukup untuk saling melihat antara dua orang yang saling berbincang.Aku kadang bingung bagaimana mungkin suami Masnah bisa bekerja jika lampu penerangannya seperti ini.Aku sudah keluar dari kamarku yang telah disiapkan untukku selama berkunjung.Ruang tengah atau ruang tamu cukup untuk beberapa orang.Aku duduk di meja ruang tamu, Masnah datang membuatkanku kopi dan rebus singkong.
“Apa kegiatan hari – hari Teh Masnah dan Kang Jarman?”Aku mencoba untuk menyapanya sambil bertanya.
“Saya Bidan Honor desa Kang sedangkan Kang Jarman seorang Guru Madrasah Aliyah yang katanya mau dinegerikan, nyatanya sudah sepuluh tahun tidak pernah dinegerikan.Alhamdulillah saya sebagai honorer di Puskesmas tidak pernah macet honorariumnya.Sebaliknya kang Jarman sudah tiga bulan ini tidak mendapat honorariumnya, entah kenapa Kang, Kepala Madrasah alasannya selalu tidak jelas.Tapi kami tidak menyerah dengan semua ini Kang.” Jawab Masnah.
Di balik percakapan sedihnya mereka begitu hangat menerima kedatanganku.Cerita Masnah merupakan sebuah ironi bagi sebuah Kementerian yang sepertinya begitu lalai dalam memberikan perhatiannya kepada para guru honorer.Percakapanku beralih saat Masnah menanyakan kabar aku dan keluargaku.Dia kaget saat aku menjawab masih bujangan.
“ Memang bapak cari wanita seperti apa maunya?” tanya dia
“Mungkin Allah belum mempertemukan saya aja dengan wanita yang pas”
Aku merasa terbebani dengan cara – cara keluarga Dina melayani tamu – tamunya. Dina sudah keluar dari kamarnya setelah shalat Isya aku perhatikan sayup – sayup suara dia mengaji surat Yaasin. Begitu merdu dan mendalam seakan – akandia telah begitu memahami makna – makna surat Yaasin yang dia baca. Pemahaman masyarakat awam menegenai makna Yaasin.Kami duduk saling berhadapan, nampak olehku wajah ketegaran mengahdapi masa lalu yang kelam. Walaupun badannya kurus akibat termakan usia, aku masih bisa melihat paras cantiknya.Jalannya masih tegak. Kami sudah duduk dalam meja yang sama dengan minuman yang berbeda. Aku menikmati kopi,sedangkan Dina meminum ramuan entah apa namanya yang pasti dia meyakini khasiat yang besar pada ramuan itu.
“ Bagaimana Nak keadaan daerah kami?”
“Mmmmh sangat menyegarkan Nek”
“ Nanti sempatkanlah main ke air terjunnya, di pedalaman, lebih alami lagi”
Begitu ramah Dina memulai pembicaraan aku begitu kagum dengan cara dia terhadap lawan bicaranya, aku paham dia dahulu adalah seorang penari maupun seorang sinden, namun aku masih merasa ada hal – hal lain darinya yang belum kuketahui.
“Baiklah Nek, waktu kita ketemu dalam acara rekonsiliasi korban kekerasan G-30 S/PKI, Nenek mau menceritakan keadaannya pada saya Nek”
“Yah, nak, Aku memang ingin menceritakan sejarah kelamku yang mungkin bermanfaat buat generasi sesudahku terutama sekali kaum perempuan, mereka harus mensyukuri nikmat yang telah mereka rasakan saat ini.Mereka harus paham pada masa lalu betapa terhinanya perempuan akibat penindasan penjajahan bangsa asing dan keserakahan bangsa sendiri.”
Begitu bijaksana ucapan yang keluar dari mulut Dina, aku selalu meyakini apa yang terucapkan oleh seseorang biasanya menggambarkan kedalaman pemikirannya dan pengetahuannya. Aku mulai memasang alat perekam percakapan yang kubawa.
“Baiklah Nak, pertama aku ingin memperkenalkan, Orang tuaku memberiku nama Dina Mardinah. Orang – orang terdekatku memanggilku Inah. Aku lahir pada tanggal 12 Oktober 1942.Orang tuaku menceritakan bahwa saat aku dilahirkan Jepang menguasai wilayah Telaga Bodas setelah penandatanganan penyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada Jepang di Kalijati.Orang – orang Jepang pada awalnya begitu ramah kepada penduduk desa, namun lama kelamaan nampak niat busuk Jepang. Banyak gadis – gadis remaja di desaini berusia antara 14 sampai 20 tahun dibawa Jepang dijanjikan di sekolahkan ke Tokyo namun ternyata dijadikan budak nafsu tentara Jepang. Ayahku seorang guru Ilmu Alam di sebuah sekolah rakyat bentukan sebuah orgaanisasi pergerakan nasional yang bergerak aktif di bidang pendidikan.Allah memberikan pertolongan kepada keluargaku untuk menyelamatkan keluargaku dari pengaruh Jepang.Ibuku banyak disukai tentara Jepang.Ibuku seorang keturunan Cina – Islam, banyak tentara Jepang melirik ibuku jika berpapapasan. Suasana pendudukan Jepang makin hari makin membuat ibuku tidak nyaman, maka ayahku memutuskan untuk menyembunyikan aku dan ibuku ke sebuah rumah di daerah pedalaman sekitar kaki gunung Pangrango,cukup jauh memang, namun ayahku harus melakukan ini semua dari ancaman Jepang. Sekolah Rakyat lama kelamaan dilarang oleh militer Jepang.Mereka mulai mencurigai organisasi – organisasi yang bersifat ke-Indonesiaan.Ayahku terpaksa mencari nafkah dengan menjual sayur – sayuran di pasar.Sebagai seorang yang dididik secara religius, ayahku begitu bersemangat dalam melawan segala bentuk penindasan.Ayahku ikut dalam organisasi ketentaraan bentukan Jepang sebagai upayanya untuk membela diri dan keluarganya.Walau begitu dia tidak lupa menyusup setiap hari memberi makan aku dan ibuku di daerah pedalaman.
Setelah masa proklamasi, keluargaku tetap tinggal di pedalaman akibat ancaman tentara Belanda yang dibonceng Inggris dengan alasan untuk melucuti senjata Jepang.Para pejuang telah memahami bahwa Belanda mencoba menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia.Pertempuran mempertahankan kemerdekaan pecah di seluruh Republik.
Setelah pertemuan Konferensi Meja Bundar, ayahku akhirnya membawaku keluar dengan ibuku kembali ke desa untuk hidup normal kembali.Aayahku tetap dinas di ketentaraan sampai tahun 1950,Saat itut usiaku tujuh tahun.Kami sekeluarga pindah ke rumah dinas ketentaraan di sekitar Kota Sukabumi. Pada usia sepuluh tahun aku bergabung dengan sebuah sanggar tari tradisional di dekat alun – alun kota. Sanggar tari tersebut melatih para penari selain sebagai seorang penari sekaligus juga menjadi seorang sinden.Aku termasuk penari dan sinden terbaik, pembimbingku begitu bangga denganku.Hari demi hari namaku mulai dikenal sebagai seorang sinden dan penari.Tahun 1959, ayahku meninggal karena penyakit yang dia derita sewaktu masih menjadi tentara.Ibuku sejak kematian ayahku bekerja keras untuk menghidupi keluarga.Akupun juga mencoba membantu keluarga ibuku mencari nafkah.Aku sering mendapat panggilan untuk menari atau menjadi sinden.Pendapatanku lumayan besar. Indonesia pada tahun 1960-an merupakan saat – saat dimana seni terasa begitu bergelora dan memberikan sebuah semangat baru untuk rakyat jelata. Di desa – desa, para aktivitis wayang orang, ketoprak, ludruk, wayang golek, dan seni tari daerah begitu bersemangat dalam mementaskan pertunjukkan rakyat.Pementasan itu sebagian bertemakan anti feodalisme, ada yang hanya sebuah seni murni untuk menghibur masyarakat.Hal ini membuatku terkenal.Seiring terkenalnya aku, maka banyak pria yang coba meminangku, ada yang mau dijadikan istri kedua, ada yang masih bujang memang.Aku belum sempat terpikirkan untuk menikah karena aku begitu sayang pada ibuku.Aku tak sampai hati untuk meninggalkannya sendiri.Ibuku sering menasehati untuk segera berumah tangga karena usiaku sudah menginjak 16 tahun. Aku tahu usia seperti ini sangat terlambat, banyak teman – temanku satu sanggar menari sudah menikah ada yang bahagia ada juga yang merana di tengah – tengah kemewahan suaminya.
Suatu hari aku berkenalan dengan seorang seniman juga yang menarik hatiku.Dia orang yang tenang dan penuh perhatian.Dia seorang veteran tentara pelajar berusia 22 tahun. Namanya Karna. Aku sendiri tidak pernah tahu apa alasan aku menerima dia untuk menjadi suamiku. Padahal aku saat itu merupakan seorang penari maupun sinden terkenal, banyak lelaki mendatangiku untuk mencoba meminangku.Semuanya kutolak.Hanya Karna yang kuterima cintanya sampai akhirnya menikahiku.Aktivitas Karna selain membaca buku juga sering terlibat dalam kegiatan – kegiatan menulis.Kami hidup berkasih – kasihan berdua di tengah – tengah keterpurukan perekonomian di Negara ini.Alhamdulillah kami selalu cukup dan dikaruniai empat orang anak.Kami tidak menyerah dengan keadaan yang sulit.Aku masih ingat saat – saat masih merajai pertunjukkan seni di daerah Sukabumi dan sekitarnya.Sanggar seni kami sering mendapat proyek seni dari para pejabat maupun partai partai tertentu untuk mengadakan pentas- pentas seni, entah tari maupun pertunjukkan lainnya.Aku masih ingat bagaimana kami sesama teman satu sanggar saling membantu dalam kesulitan ekonomi.Tahun 1960-an merupakan tahun yang sangat genting, bagiku merupakan tahun keberkahan. Tahun itu keadaan ekonomi morat – marit antrian beras di dana sini. Aku bersyukur masih cukup rezeki untuk memenuhi kehidupan sehari – hari tanpa harus mengantri.Hal ini karena kami selalu mendapat proyek pertunjukkan.Waktu itu lembaga seni yang merupakan underbouw Partai Komunis Indonesia sering memanggilku untuk pentas.Saat demonstrasi terpimpin PKI begitu hebat, memiliki massa yang cukup banyak. Suamiku sebenarnya anti PKI, hanya saja kami berdua terlalu mencintai seni sehingga kami tidak peduli apapun partainya aku tetap tampil.
Tahun 1965 PKI mengadakan pemberontakan dan berhasil digagalkan oleh TNI. Orang – orang mulai membalaskan dendamnya pada simpatisan PKI. Di mana – mana terjadi pembantaian PKI. Aku tidak menyangka aku dan suamiku menjadi sasaran kemarahan massa anti PKI. Sampai saat ini aku tidak jelas kesalahan apa yang telah kualami. Yang aku ingat adalah aku pernah menolak cinta seorang tentara, dan dia memimpin massa saat menangkap suamiku dan aku saat di depan rumah. Aku ingat dia begitu bersemangat sekali mempengaruhi massa sekaligus anak buahnya untuk menangkap aku dan suamiku. Saat hari penangkapan suamiku sedang duduk di teras menikmati kopi dan sedang membuat sebuah cerita untuk dia kirim ke sebuah surat kabar. Aku sedang menyapu halaman.Saat suamiku menanyakan alasan penangkapannya mereka beralasan kami simpatisan PKI dan sering menyanyikan lagu genjer – genjer saat pertunjukkan. Suamiku mencoba menjelaskan apayang terjadi namun semuanya tidak berguna. Lagu genjer – genjer semestinya adalah sebuah lagu penderitaan rakyat di masa Jepang, mungkin akibat banyaknya seniman – seniman pro PKI menyanyikan lagu tersebut, maka lagu genjer – genjer dianggap lagu PKI.Militer begitu berkuasa saat itu, akhirnya suamiku ditahan sebagai tahanan politik golongan B yang berarti dituduh PKI namun belum terbukti keterlibatannya.Aku diasingkan ke Pulau Buru, anak – anakku kutitipkan ke sepupuku.aku masih ingat tanggal dan jam berapa saat kapal membawaku dari Tanjung Priok ke Pulau Buru. Hari itu senja tanggal 16 Agustus 1969 kami sekitar 1000 orang diangkut dengan sebuah kapal dari Pelabuhan Sodong, Nusa Kambangan ke Pulau Buru. Besok adalah hari peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia.Kapal pengangkut para tapol merupakan kapal tua.Beratnya kira 3000 ton.Sebagai kapal yang sudah seharusnya dipensiunkan dua kali mengalami mogok di tengah laut.Aku sangat takut dengan keadaan seperti ini.Suamiku menenangkan diriku dan para tahanan laki – laki harus memperbaiki kapal tersebut.Yang lebih mengerikan adalah kapal itu saat ombak dan hujan di laut, sudah seperti tenggelam kena ombak.Atap – atap kapal itu ada yang bocor.Aku juga teringat diantara rombonganku ada seorang wanita yang menurutku usianya sekitar 16 tahun, menangis. Aku tanyakan apa penyebab dia diasingkan dia pun tak jelas. Aparat keamanan hanya menuduhnya tanpa bukti.Bukti yang diajukan hanya gara – gara dia pernah menyanyikan lagu genjer – genjer.Begitu miris mendengar alasan penangkapan seperti mengada – ngada.Sampailah aku di Pulau Buru, Pulau Buru menempati urutan ketiga gugusan pulau terbesar setelah Pulau Halmahera di Maluku Utara, dan Pulau Seram di Maluku Tengah.Secara umum, Pulau Buru berupa perbukitan dan pegunungan dengan puncak tertinggi mencapai 2.736 m. Waktu itu yang aku tahu dari suamiku daerah itu jumlahnya penduduknya sekitar 3.000 jiwa.Aku termasuk salah satu diantara 500 perempuan yang menjadi tahanan politik Pulau Buru.Areal kamp konsentrasi para tahanan politik di Pulau Buru adalah tanah cekung berbentuk sekop yang dikelilingi barikade tembok pegunungan yang bersambungan semak belukar.Tempatku terpisah dengan suamiku.Aku tinggal terpisah dengan suamiku.Aku tinggal di barak khusus wanita dengan ukuran yang cukup sempit.tiap barak dijaga kira – kira 40 orang tentara dengan senjata lengkap.Dalam barakku terdapat juga para wanita yang kukenal sebagai bekas anggota Gerwani, tepatnya dia adalah seorang guru TK miliki Gerwani yang ditangkap tanpa alasan yang jelas dan dalam keadaan sakit.Dia menceritakan bahwa dia juga sedang menyapu waktu ditangkap dan dalam keadaan memakai daster yang sangat sederhana.Saat di bawa ke pos militer di kampungnya dia hampir – hampir saja diperkosa aparat militer yang menangkapnya. Suaminya anggota Pemuda Rakyat dikabarkan oleh tetangganya telah tewas ditembak dalam sebuah pembantaian massal. Para tentara menjaga dengan kasar kadang memaki, kadang menyiksa dengan cara fisik. Para tahanan diberikan perlengakapan serba terbatas.Obat sekedarnya saja. Para tahananpria diberikan tugas membabat hutan dan alang – alang dengan tangan kosong,membuat bendungan, membangun rumah, memanen dan pekerjaan fisik lainnya. Sedangkan kaum perempuan mrngurusi logistik untuk para tahanan dan para tentara penjaga.Hari – hari kami jalani sebagai tapol. Suamiku saat siang bekerja di kebun kadang mencari daun minyak kayu putih, para tahanan membuat penyulingan minyak kayu putih sendiri dengan cara tradisional.Sedangkan aku menyiapkan masakan untuk orang – orang ramai.Aku harus membawa makanan untuk tahanan juga untuk para tentara.Aku sangat jarang jumpa suamiku.Kalau mau jumpa aku harus kasih kode dan harus menyuap komandan penjaga dengan makanan yang sengaja kubuatkan.harus Mempersiapkan logistik untuk para tahanan dan tentara biasanya dilakukan setelah apel pagi, kemudian setelah sholat Shubuh, kami para wanita langsung menuju dapur khusus tahanan. Para penjaga tapol semuanya sok kuasa.Nasib baiknya mereka kadang baik dengan para tapol wanita.Salah sedikit saja kami dihukum berat disuruh telanjang dalam kamar isolasi khusus dan membiarkan merasakan dinginnya udara malam.Kami semua benar – benar diisolasi.Suamiku sendiri saat selesai bekerja di kebun saat malam hari mencoba menulis cerita, namun entah kenapa jika tentara penjaga tahu langsung saja tulisan itu dirobek – robek.Sepertnya kami memang tidak dibiarkan berkomunikasi dengan dunia luar.Di awal – awal keadaan seperti ini aku kadang menangis terisak – isak mengingat betapa suramnya nasibku.Suamiku pantang menyerah, aku bersyukur pada Allah yang telah menjodohkanku dengannya.Karena dialah aku mencoba bertahan hidup. Apapun yang terjadi suamiku selalu mencoba menenanganku. Sebenarnya aku tidak bisa bertemu dengan suamiku, hanya saja tentara penjaga barakku bisa kubujuk dengan tambahan makanan yang kumasak sejak pagi tadi untuk bisa keluar dan bertemu suamiku.Tiap hari datang para tahanan baru untuk menghuni Pulau Buru.Mungkin ini artinya makin banyak orang yang dituduh bersalah tanpa alasan yang jelas.Aku ingat saat itu datang juga anggota sebuah lembaga seni di daerah tempat tinggalku namanya Minarti.Suaminya seorang anggota Lekra, namun saat diadakan razia suaminya menghilang tanpa kabar yang jelas.Jadilah dia pengganti suaminya.Aku mengenal dia saat menjadi seorang penari merupakan seorang wanita cantik, namun saat tiba di Pulau Buru dia terlihat buruk, dari mukanya nampak bekas siksaan.
“Narti kenapa bisa kamu sampai sini Dik”tanyaku
“Inilah nasib Mbak Dinah” jawabnya
“Saat ada razia besar – besaran aku dan mas Pardi sempat meloloskan diri.Saat aku balik dengan Mas Pardi.Seorang tetangga mengadukan keberadaan kami ke aparat militer.Nasib baik Mas Pardi sudah meloloskan diri dari sergapan.Aku sengaja tinggal agar mereka tidak mengejar mas Pardi. Mbak tahu siapa komandannya ? Dia adalah Randi si brengsek yang mengejar – ngejar kita berdua saat kita masih aktif di lembaga seni”
“Saat di Pos Militer Mbak, aku ditanya katanya aku ini seorang Gerwani. Aku bilang balik sama dia kenapa sekarang Gerwani dilarang dulu juga diperbolehkan jadi anggota Gerwani.Mereka semakin marah dengan jawabanku Mbak, ditendangnya aku sama si Randi itu. Aku tak menyerah langsung kuludahi muka dia dan kubilang brengsek.Spontan anak buah si Randi memukulku kembali.Jadilah aku seperti ini Mbak.”
Aku dan suamiku memang mengenal sosok Pardi suami Minarti yang dikenal sering menulis untuk sebuah surat kabar berhaluan komunis mengkritik para tokoh – tokoh tertentu. Dia memang aktif sebagai anggota Pemuda Rakyat.Yang aku tahu dia tidak mungkin menjadi anggota komunis, yang paling mungkin adalah dia seorang Soekarnoisme. Walaupun sebagai anggota Pemuda Rakyat , dia juga sering aktif dalam kegiatan di masjid dalam rangka membentuk rohani para pemuda dan saat itu aktif sebagai salah seorang mahasiswa jurusan pendidikan.
Selama sebelas tahun aku menjalani siksaan lahir dan batin bersama suamiku.Semuanya aku terima sebagai takdir ilahi. Aku sendiri sudah pasrah apakah aku akan mati di sini atau tidak. Semuanya kupasrahkan kepada Allah.Tahun 1980 aku mendapatkan kebebasanku bersama suamiku.Aku dan suamiku bisa pulang ke kampung halamanku di Telaga Bodas.Hanya saja suamiku mengidap penyakit lever saat mendapatkan kebebasannya. Ada teman kami juga sepasang suami istri yang ditahan sehingga suaminya meninggal di sana. Aku sungguh beruntung, Allah memperpanjang jodoh kami.Ada juga teman suamiku seorang seniman juga,ditangkap pada saat yang sama dengan penangkapan aku dan suamiku, dia tidak ingin kembali dengan alasan malu serta istrinya sudah menikah lagi dan keluarganya dikemudian hari menyangkanya telah meninggal. Dia saat ini menjadi seorang guru honorer di salah satu SMP negeri mengajarkan kesenian sebagaimana keahlian dia. Sampai sekarang nampak hasil dari adanya kamp konsentrasi. Pulau Buru mungkin tidak akan semaju sekarang jika tidak ada para tahanan politik. Saat ini apa – apa yang telah dirintis para tahanan politik menjadi sesuatu yang berharga buat penduduk lokal. Saluran irigasi, bendungan, area persawahan semuanya telah dimanfaatkan oleh penduduk lokal.
Anakku yang tertua Marni telah meninggal saat berusia enam belas tahu.Sedangkan adiknya Sanirah seudah berusia 16 tahun baru kali ini bisa kuciumi tubuhnya karena aku sangat kangen padanya, bagaimana tidak dia kutinggalkan saat berusia 5 tahun. Dua anakku yang lain masni dan masitoh dalam keadaan sehat dia berusia 14 tahun dan 12 tahun. Suamiku pulang membawa banyak catatan, baik sebuah cerita maupun sebuah dokumen pribadi tentang kekejaman militer terhadap perempuan, baik militer Jepang maupun Militer bangsa sendiri saat memperlakukan tahanan wanita.Aku sendiri sangat beruntung tidak diperkosa tentara saat menjalani tahanan.Ada juga yang diperkosa saat menjalani tahanan.
Saat tiba di depan gerbang Telaga Bodas, suasananya sedikit berubah. Markas pos militer tempat aku dan suamiku diinterogasi tentara kodam Siliwangi telah sepi dan sudah tidak dipakai lagi.Gedung itu seakan menjadi simbol malapetaka karena di gedung itulah Jepang merampas para perawan kampung Telaga Bodas untuk dijadikan budak nafsunya dan kemudian tempat tentara mengadakan interogasi brutal kepada setiap orang yang dituduh PKI tanpa adanya bukti yang nyata. Awal – awal aku tinggal kembali di Telaga Bodas ternyata tidak terlalu sulit. Masyarakat sekitar sini menerimaku kembali tanpa mencurigai sebagai mantan tapol.Masyarakat daerahku lebih mengenal aku dan suamiku sebagai seorang seniman dan sastrawan.Suamiku sudah tidak mampu bekerja berat lagi karena penyakit levernya, hanya saja catatan – catatan dia berupa esai, cerpen dan bukti – bukti kekejaman Jepang terhadap para wanita Indonesia masih bisa dijual.Dia mencoba untuk terus menulis untuk mencoba mengabadikan kehidupan dia. Aku begitu bangga dengan dia.Aku coba mengirimkan naskah – naskah cerpen, esai maupan novel tulisan suamiku.Alhamdulillah percetakan bersedia untuk menerbitkan semua tulisanku.Sampai saat ini aku hidup dari royalti tulisan suamiku.Aku cukup bahagia dengan hasil karya suamiku.Lever pada akhirnya menyebabkan suamiku meninggal pada tahun 1984.Tahun 1998 krisis moneter menyebabkan jatuhnya pemimpin orde baru Indonesia akibat adanya reformasi.Aku mendapat efek dari krisis tersebut.Hanya saja aku tinggal di pedesaan tidak terlalu berpengaruh lagi buatku. Aku banyak makan makanan hasil kebun anak – anakku. Setelah lepas dari masa - masa kelam di Pulau Buru, aku mencoba membengun kembali sepihan – serpihan kehidupanku yang telah hilang. Aku mencoba menjelaskan pada generasi muda daerah sekitarku untuk mencoba untuk membangun negeri dengan semangat nasionalisme.Aku sangat tidak suka jika melihat acara – acara televisi sekarang, makaknya kamu perhatikan di sini sepi sekali tidak ada televisi berbunyi.Sejak kejatuhan rezim orde baru, aku sering mendapat panggilan untuk mengikuti kegiatan – kegiatan rekonsiliasi masalah korban G-30 S/PKI. Aku dengan senang hati ikut dengan kegiatan seperti itu.Ini merupakan sebagai sebuah kesadaran kolektif bangsa atas sejarah hitam yang telah terjadi.
Dialog aku dan Inah berakhir pada pukul dua dini hari. Aku langsung kembali ke kamarku.Inah langsung kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Rencananya aku esok hari ingin berjalan – jalan menikmati udara pagi nan segar di Telaga Bodas. Hanya saja mataku tidak bisa terpejam,aku teringat betapa menderitanya kaum perempuan saat menjadi tahanan orde baru tanpa bisa membuktikan kesalahannya di pengadilan. Aku membuka kembali catatan – catatanku untuk mengumpulakn fakta – fakta yang telah kudapatkan dari dari Inah dan kususun dengan rapi.Aku begitu merasakan duka yang mendalam bagi mereka yang telah menjadi korban salah tangkap rezim militer yang membuat sengsara dalam kehidupan selamanya.Aku juga ikut meraskan betapa menderitanya para anggota keluarga yang salah satu anggota keluarganya tertangkap namun tidak jelas nasibnya sampai sekarang. Entah telah tewas atau masih hidup. Mereka umumnya telah pasrah atas kejadian ini sebagai ujian dari Sang Penguasa.
Aku mengamati kegiatan Inah selama dua hari sejak aku berdialog dengannya. Aku begitu kagum dengan tatapan matanya yang memancarkan ketegaran seseorang akan nasib suramnya di masa lalu. Hari keempat aku harus pulang ke Jakarta untuk segera menyusun sebuah cerita mengenai nasib malang seorang wanita yang lain namun senasib dengan inah. Hal ini kulakukan semata – mata untuk memuaskan rasa haus intelektualku tentang masa silam negeri tercinta ini. Inah adalah seorang contoh ketegaran seorang perempuan dalam menerima nasibnya.
ns 172.70.126.23da2