Rodeo segera menarik pelatuknya. Bodohnya wanita ini menembakkan di arah lurus. Mana mungkin aku tak menghindar?
“Charggeee!!!” Kukatakan itu sedikit lantang sambil mendekati Rodeo. Ia tertekan sambil menyemprotkan air ke segala arah. Mana mungkin aku bisa menghindar?
Kegaduhan itu tentu mengundang perhatian. Kapten Thatch segera beralih bilik tanpa mempedulikan hal konyol yang kami lakukan.
Namun…
#klatak #klatak
Langkah kaki yang terasa tergesa – gesar mulai terdengar di telinga kami.
“Hey, kau dengar itu, Mar? Kok makin keras ya?” Rodeo sekejap berhenti. Ia berganti mode panik.
(Sepatu tumit tinggi. Gerakannya cepat. Padahal berjalan cepat dengan sepatu itu sangat beresiko tergelincir! Siapa gerangan yang punya kaki akrobat seperti itu?)
Tentu tidak lain tidak bukan, nama orang itu lekas muncul di kepalaku.
“Strangle!” Aku dan Rodeo panik. Ini bukan berkelakar lagi. Ini bisa saja menandatangani kematianku sendiri.
Kami bertabrakan saking paniknya. Lalu menuju dua bilik kosong terdepan. Menghasilkan suara gesekkan sikat dengan keras sambil bernyanyi adalah alibinya.
#Cekrek ngeek~
Suara pintu depan toilet terbuka dengan pelan namun menghasilkan aura dingin. Ini pertama kalinya bulu kudukku berdiri bukan karena hantu.
“Naik…~ naik…~ Ke puncak gunung…~” Aku mulai bernyanyi sambil menggosok toilet.
“Tinggi…~ tinggi…~ sekali…~” Rodeo melanjutkan potongan lagunya. Suara flush terdengar dari bilik paling depan.
Benak kami seakan – akan bersatu, menebak respon Ny. Strangle. Aku harap alibi kami terlihat natural.
“Demi tuhan! Bisakah kalian tenang saat bekerja? Suara kalian terdengar sampai meja resepsionis!” ujar Ny. Strangle memperingatkan. Belum ada yang berani merespon. Walaupun kali ini suara dan amarahnya tidak dibiarkan meledak bagai bom karena ada pengunjung. Jadi… terima kasih pada pengunjung, kurasa?
Terdengar pintu bilik terbuka.
“Maaf Nyonya, kami kurang memperhatikan hal itu. Tentu kejadian seperti ini tidak akan terulang,” Suara Kapten Thatch terdengar meyakinkan wanita itu. Kini aku berpikir memang dia adalah seorang kapten. Aku tersentuh.
(Sebenarnya ini kali kelimanya….)
“Kami hendak pindah ke toilet belakang dalam lima belas menit ke depan, Ny. Strangle,” lanjutnya.
“Bagus. Setelah ini tidak boleh terulang lagi. Saya tidak akan melarang kalian mengobrol atau menyanyi. Tapi suaranya harus hanya kalian bertiga saja yang dengar, mengerti?”
#Ngeek~ Cekrek~
Seketika pintu depan toilet tertutup, rasa aman kembali menyelimuti sekitar kami.
Setelah selesai membersihkan, aku dan Rodeo keluar dari bilik. Kami kompak menepuk ringan punggung Kapten Thatch.
“Wah, wah, anda telah berlabuh di mana saja, kapten?” tanyaku, sambil menyandarkan tanganku pada pundak kirinya. Begitu pula Rodeo di pundak kanannya.
“Anda ini benar – benar cucu Edward Teach, huh? Bagaimana kami bisa membalas budi anda?” pertanyaan Rodeo membuat kami sedikit terpingkal – pingkal.
Daripada ikut tertawa, roman muka Kapten Thatch menebal sebal.
“Oh, apa yang kamu katakan, Rodeo? Tentu saja beliau ini tanpa pamrih-“
“Sepuluh pounds… masing – masing.” Tangannya meraih dua tangan kami seakan bersalaman menyetujui suatu perjanjian yang tiba - tiba, sambil tersenyum kecil. “Baik, setuju.”
Ia kemudian mulai membersihkan kaca wastafel. “Mari kita selesaikan ini, lalu segera-“
Aku dan Rodeo kompak menagih penjelasannya. Maksudku, bahkan tadinya ia bahkan tidak melerai kami? “Woi, woi, apa maksudnya itu?” Kami sama – sama mendesak wajahnya sambil melihat cermin wastafel.
“Menyelamatkan nyawa dua orang tidak pernah semurah 10 pounds, kan? Pfft.” Tampak wajahnya menyeringai dan mengejek dari cermin.
Saat itu juga, aku dan Rodeo memutuskan bahwa Kapten Thatch telah mengibarkan bendera peperangan. Well, tidak ada dari kami yang serius. Bahkan setelah kami bertiga keluar, Aku dan Rodeo kompak menggandeng tangannya. Tanpa peduli itu membuatnya tidak nyaman, atau malu dilihat banyak orang.
Kami hanya menikmati pekerjaan kami.
Kami hanya bersyukur karena angin telah mengelompokkan kami pada orang – orang konyol.
Orang – orang yang asyik.
ns 172.70.178.60da2