Ren dan Sistine, melindungi mata dan kepala mereka di balik selimut, saat mendengar sekitar tiga pintu dibuka dan ditutup kembali. Sementara suara tangisan sudah mendekat, seolah berdiri tepat berada di pintu kamar mereka. Mereka berpikir wanita itu mungkin akan membawa jiwa siapapun yang belum tertidur. Seperti halnya malam tenang yang sedang berpesta, yang tak diundang haruslah tidur. Kalau tidak, berarti siap menanggung konsekuensi.
Mereka saling berbisik, selagi sempat.
“Hey, bagaimana dengan Birdnest?”
“Entahlah, tak ada tanda – tanda yang terdengar,”
#Cekrek ngeeeek~
Suara artikulasi siku pintu yang ditekan, kemudian didorong perlahan.
Kini mereka menutup matanya dan sebisa mungkin mengendorkan raut muka mereka agar terlihat tak mencurigakan. Telinga mereka menajam, mendengar suara dengusan hidung menarik nafas tangis dan ingus.
Saat selimut itu ditarik perlahan, angin dingin mulai merangkul kepala Sistine dan Ren. Langkah kaki yang mereka dengar berjalan menuju jendela perlahan – lahan. Seretan kain terdengar menyeret lembut di lantai, semakin menjauh. Hingga suara pintu menutup, mereka baru memberanikan diri membuka pandangannya masing – masing.
“Kau hidup?” bisik Ren, lalu membiarkan nafasnya terengah – engah setelah tadi ditahan mencoba tenang.
“Aku tak tahu…” Sistine pun demikian, namun tampak getaran kasur disebabkan oleh jantungnya yang terlalu kencang menyentak dadanya. ‘Semacam itu?”
Setelah suara – suara tangisan itu tak terdengar lagi, mereka segera bangun. Kaki – kaki mereka yang gemetaran dipaksakan melangkah membuntuti sumber ketakutan mereka sendiri.
Sesaat sebelum mereka mengangkat gagang pintu, Sistine teringat akan sesuatu.
“Ren, kalau sudah begini bukannya lebih baik kau pakai kalung pelindung roh jahat itu? Kalung safir itu loh!” Sistine memberi saran.
Ren terkejut mendengar itu. Ia memang dulu pernah menunjukkan kalung itu pada mereka berdua. Ia ingat pernah mengatakan bahwa kalung itu penting, namun ia tidak ingat kalau mengatakan kalung itu pelindung roh jahat. Tapi karena medannya terbuat dari perak, Ren segera tahu bahwa itu adalah pengetahuan umum. Roh jahat takut dengan perak, seperti yang di film – film.
“Ah, tumben kau pintar, Sis!” Ren mencubit pipi sahabatnya sesaat.
“O-ouch! I-itu kasar! Aku selalu pintar di saat dibutuhkan!” protes Sistine agak berbisik, tak serius.
Ren membuka resleting yang paling lebar dari total empat. Tangan Ren mengulur memasuki isi tas punggung hijau tosca gelapnya. Dinding hijau cerah bermaterial polyester itu mengangkut berjubel pakaian. Namun masih belum menemukannya.
Hingga membuka resleting yang paling kecil, perasannya tergantikan dengan lega. Sebuah kotak hitam beludru ia dapatkan. Dibukanya dengan perlahan, terdapat kalung oval permata safir, dikelilingi medan bewarna perak. Ia segera memakai kalung itu.
“Sebenarnya aku masih penasaran dari lama kenapa bisa kau punya kalung secantik ini?” tanya Sistine, sambil menyentuh dan mendekatkan manik matanya pada permata safir.
“Entahlah aku juga tidak terlalu paham. Bibi dari panti asuhanku mengatakan kalau aku tak boleh menjual kalung ini. Suatu saat pasti akan berguna, kupikir inilah saatnya,” tambah Ren, “Oh iya, waktu itu aku berumur tujuh tahun.”
Bergegaslah mereka, dan kini tepat di belakang pintu kamarnya. Dari tangan Ren yang gemetaran, mengalir rasa kesemutan di sekujur tubuhnya. Setelah pintu itu, Ren tak bisa memastikan apa yang terjadi. Keadaan mereka sama sekali tidak bisa terjamin, meski suara itu sudah sirna.
Skenarionya adalah bisa jadi wanita itu menunggu di pojok koridor, sehingga saat pintu terbuka ia bisa memberi Ren dan Sistine setidaknya serangan jantung. Atau skenario terakhir yang dipikirkan Ren, bahwa wanita itu bukan hantu melainkan penculik yang merencanakan hal – hal yang tidak diketahui mereka bertiga.
Ren terhenti, sementara Sistine yang di belakangnya mewajari hal itu.
“Ba-bagaimana kalau kita batalkan saja, Ren?” Sistine meraih pundak Ren.
Ren memejamkan mata sejenak, menggeleng cepat dan menampar kedua pipinya secara bersamaan. Meninggalkan bekas tamparan merah.
“Tidak, tetap pada rencana!” kata Ren tegas, pada dirinya sendiri dan Sistine. Kini tangan Ren menekan daun gagang pintu dengan pelan hingga menyamarkan suara artikulasinya, dibukanya perlahan. Ren segera menoleh ke kiri.
Hanya tembok? Pikirnya. Itu berarti skenario pertama yang ia pikirkan tidak terwujud. Ia kemudian menoleh ke arah kanan, menuju koridor, juga sepertinya aman. Kamar seberang adalah kamar Cake, tampak normal tertutup.
Seolah mirip langkah kaki maling yang dibuat seminim mungkin terdengar, Ren dan Sistine mengendap – endap menuju pintu kamar Grunt. Dengan sedikit membungkuk, Ren celingukan pada arah korridor.
Ren menimang – nimang apakah suara ketukan pintu itu akan terlalu keras atau tidak.
“Sis, kau awasi korridor. Aku akan mengetuk pintu ini,” seru Ren berpaling pada rekannya yang di belakang.
Ide yang tak terlalu bagus, namun kalau – kalau ada bahaya matanya menangkap kejadian itu duluan, pikir Sistine. Tanpa ingin berucap karena takut terlalu berisik, Sistine mengangguk. Ia memutar dan menunduk pada pinggul Ren, piyama putih motif kelinci.
#Knock, knock~
Dengan pelan dan hati – hati. Ren tak perlu berpaling ke arah koridor karena Sistine sedang melakukan tugas itu.
Diketuknya sampai dua kali, Ren dan Sistine selain jengkel ia merasa khawatir. Takutnya, suara tangisan itu akan terdengar lagi.
“Birdnest! Hoooi~” Bisik Ren memaksa, sambil menekan – nekan ringan daun gagang pintu tersebut.
Yang mereka khawatirkan, pada akhirnya terjadi. Suara tangisan itu mulai terdengar, dari lantai dasar. Ren berpikir masih terlalu cepat untuk panik.
Masih belum juga dibukanya, meski sampai sepuluh kali ketukan. Sistine bergidik ketakutan, seolah ingin membungkus dan menyembunyikan pandangannya dari suara tangisan itu. Berita bagusnya, suara tangisan itu mengendap dan tidak mendekat.
Berita buruknya adalah pintu Grunt tertutup rapat tanpa respon. Mereka berpikir bahwa bisa saja ini sia – sia sampai pagi. Seharusnya tidak susah membangunkan Grunt, tapi siapapun yang kelelahan pasti terlelap. Apalagi mereka mulai berpikir, gerimis di malam hari adalah obat tidur alami.
#Bruak! Bruak!
Ren membogem pintu tersebut, mustahil orang tidak mendengar. Seharusnya suara gaduh itu merambat dan menggema melalui koridor dan tangga. Ren yang sudah kehilangan kesabaran tentu melemahkan keamanannya. Sistine sempat terperanjat mundur ke belakang. Ia tidak memprotes karena pada akhirnya pintu itu terbuka.
“Dasar tolol! Lama sekali!” mulut Sistine mulai memaki Grunt yang matanya mengertip berkali – kali dan mulutnya menguap.
“A-ah… maaf. Aku… terlelap.” Ia memohon. Karena wajah Ren sudah lumayan kecewa, ia segera melangkah memimpin barisan. “Ayo kalau begitu,”
Dua langkah mereka berjalan, tiba – tiba…
Kilat kosong menyambar, membelah bayangan dan kegelapan di tembok sekitar koridor. Terdapat pantulan bayangan wanita yang semakin membesar.
“Si-sial! Dia menuju ke sini!” pekik Ren. spontan mereka bubar. Mereka sepakat untuk bersembunyi di kamar terlebih dahulu.
Kini Ren dan Sistine kembali membungkus diri mereka dengan selimt. Mereka saling berhadapan untuk memastikan keadaan satu sama lain.
#Tap.. tap.. tap
Suara langkah kaki yang lebih cepat dan mendekat, semakin terdengar. Namun dua orang itu, Ren dan Sistine bukannya mendengarkan suara tangisan. Tapi dua percakapan kecil, terdengar mirip suara pembantu yang heran dengan suara keras menghantam itu. Suara itu pelan berbisik.
“Hm… akhir – akhir ini para tikus itu semakin menjadi – jadi! Aku mulai khawatir!”
“Yeah…. Barangkali… mereka… merencanakan sesuatu…. Apakah saat – saat seperti… ini adalah saat… yang tepat?”
Ren dan Sistine saling membuka matanya perlahan, memandang satu sama lain. Mereka membuka lebar telinga – telinga mereka, mendengar lebih jauh percakapan itu di balik selimut.
“Agnes, jangan gegabah! Kita belum yakin, semuanya belum pasti!”
“Yang manapun… tak masalah. Tapi… menurutku lusa… juga bakal lebih buruk…. Itu, satu – satunya….”
“Mereka tak akan pernah pulang sebelum itu!”
“Terserah… yang penting beliau kenyang. Paling tidak… Lady De Polcester tak akan meraung keras….”
“Jadi bagaimana? Kau punya saran?”
Ren dan Sistine mengencangkan wajahnya, ketakutan dan ngeri. Percakapan itu sepintas membuka pikiran mereka membayangkan kejadian di film yang nyata. Mereka berada di tempat yang tidak seharusnya. Apalagi mendengar kata – kata “Tak akan pulang” membuat air mata Sistine berjatuhan perlahan, lalu deras membasahi alas kasur.
“Satu per satu… seperti catur. Ambil ratunya… lalu rajanya akan lebih mudah….”
“Hm… terdengar menjanjikan.”
Langkah kaki terdengar menjauh, kini situasi seharusnya sudah boleh mengizinkan Ren dan Sistine keluar dari selimut. Namun ketakutan yang mereka terima bukannya menjauh, namun tumbuh dan semakin membesar.
Ren dengan spontan, mengetik pesan pada ponselnya untuk membatalkan rencana. Mereka sadar, pasti Grunt juga mendengar percakapan itu, atau bahkan Mr. Cake.
Mereka berencana pulang besok sejadi – jadinya dan secepat – cepatnya.
Masalahnya… lagi – lagi sebagai pemula, kejutan adalah musuh besar menunggu Ren, Sistine dan Grunt di hari esok.
Seolah sesuatu menunggu dan meringis lebar – lebar, saat wajah tiga orang itu putus asa di hari berikutnya.
***
ns216.73.216.62da2