Esoknya kami segera berangkat kembali untuk berkunjung ke TKP lagi. Tn. Cake, dengan jas dan topi bowler hitam itu terlihat necis, sementara aku hanya pakai dress putih kasual motif beruang kutub. Bahkan rambutnya tumben dibuat tampak licin. Aku sangat yakin itu karena daya tarik wanita kemarin, Nona Belladonna, ia sedikit berbenah diri dalam penampilan.
Perutku rasanya lumayan meronta, sarapan roti isi tidaklah cukup. Mungkin aku harus terima kenyataan, seperti kata Tn. Cake, nafsu makanku ini memang berlebih. Aku hanya berpikir praktis, bila solusinya adalah makan yang cukup. Cukup di sini adalah sesuai porsiku.
Para constable masih berjaga dan menyilakan kami untuk masuk.
Di depannya langsung disambut tempat pembunuhan itu terjadi, ruang tamu yang luas ukurannya prima. Kami menyuruh Nona Belladonna untuk menunggu di ruang tamu yang tidak terlalu lebar dan sempit.
Kami berkeliling di lantai dasar, masuk ke dua kamar tidur yang salah satunya milik Nona Belladonna, yang dibuat untuk ruang tunggu interogasi kemarin malam. Ruangannya ideal, rapi, dan sama sekali tidak ditinggali debu.
Tn. Cake memeriksa beberapa rak buku, aku mengekor di belakang. Ternyata pikiranku benar, Nona Belladonna punya beberapa buku tentang tata krama menjadi pelayan. Selain itu ada juga buku bersampul hewan dan tumbuhan. Tn. Cake mengambil judul setidaknya tertulis kata psikologis.
Sebelum kami keluar, Tn. Cake juga sempat memungut lembaran – lembaran yang menurutku tampak seperti nota. Itu diambil dari laci drawer kamar itu.
Satu kamarnya yang lain lebih lebar. Berbeda dari milik Nona Belladonna, kamar ini beralaskan karpet. Sebuah foto lumayan besar terpampang di tengah tempat tidurnya itu, pria setengah botak dengan kumis dan alis seperti orang jahat. Aku mulai berpikir bahwa pria bernama Ulric itu sedikit kurang mirip dengannya. Tempat tidurnya cukup untuk tiga orang dan tepat di sebelah drawer kayu jati itu terdapat sebuah etalase kecil berisi dua miniatur bangunan bertingkat. Tempat ini juga sama bersihnya, kecuali di bagian luar lemari pakaian.
Kemudian, kami berjalan mengarah ke dapur yang ternyata menyambung dengan ruang makan. Bukan berarti sempit, tapi penempatan perabotannya dibuat sedikit lebih berjarak. Paling tidak itu sedikit lebih bagus dari milik kami, padahal ini dapur rumahan. Semua tampak berkelas, tidak terlalu mewah tapi juga bukan berarti itu murahan. Tepat di tempat ini, seperti yang dikatakan Nona Belladonna, bahwa Nona Diana Ulric meninggal.
Tanpa berlama – lama, kami bergegas menuju lantai dua. Tiga kamar tidur, dengan duanya adalah kamar kosong. Itu tempat bila ada tamu yang menginap, kata Nona Belladonna sebelum kami naik tangga tadi. Sementara satu kamar lagi adalah tempat yang hampir seluas yang di bawah dengan foto pria berkumis dan beralis tajam.
Kamar ini secara gamblang berbisik pada kami bahwa ia adalah untuk perempuan. Bau beberapa kosmetik juga ada sebuah tempat tata rias yang terlihat megah. Lagi – lagi dengan kayu jati, ukiran professional dan terlihat unik. Terdapat rak yang isinya obat – obatan dan vitamin. Salah satu diantaranya adalah obat penenang. Tn. Cake mencoba memeriksa botol – botol itu. Ada juga beberapa jarum suntik bertuliskan insulin setelah botot – botol tadi dikeluarkan satu per satu.
Setelah itu kami menuju pada dua kamar sisanya. Kamar biasa, namun salah satunya lebih berdebu. Walaupun begitu itu bukan seperti seonggok debu, tapi mungkin baru dibersihkan sekitar empat hari yang lalu. Dan di kamar yang berdebu itu, ditempatkan lebih banyak barang, rak – rak, dan kerdus. Sedikit terlihat menyesakkan, walaupun posisinya diatur berjarak menggunakan konsep yang ada di dapur tadi. Barang – barang tersebut berupa buku – buku, dongkrak, peralatan, perlengkapan kebersihan yang ditempatkan di rak, dan banyak kerdus. Di dalam kerdus itu banyak sekali botol bercampur, berupa botol obat – obatan, etanol dan beberapa botol kecil terbuat dari kaca.
“Apa yang kau lakukan, Feline?” Tn. Cake memilah – milah botol itu sambil menoleh ke belakang dengan raut muka kesal tampak seperti membutuhkan pertolonganku.
Sementara aku sedikit terusik dengan beberapa sampul buka yang sedikit menarik. Aku biasanya suka membaca buku dongeng seperti ini.
“Tn. Cake, lihat! Ini buku yang biasanya kubaca dulu!” kataku semringah dan penuh semangat yang membuatnya kemari namun dengan wajah tidak puas. “Well¸ tidak semua pernah kubaca sih.”
“Kau yakin ini saatnya mendongeng?” katanya pelan sambil memicingkan matanya memandangku sesaat.
Meskipun sampul dan judulnya dibuat menarik, bukan berarti isinya tidak. Beberapa judul itu adalah Cinderella, The Three Little Pigs, Little Red Ridding Hood, Hansel & Gretel, Von Mohr, The Pied Piper of Hamelin, Rumpelstiltskin, Rapunzel, dan Hamlet & Ophelia.
Tn. Cake sesaat mengernyitkan keningnya, ia mengambil dua judul buku itu.
“Katakan, Feline, mana yang pernah kau baca sebelumnya?”
“Eh? Well…” dengan agak malu aku menunjuk satu judul buku dengan ilustrasi wanita rambut pirang memakai dress anggun.
Tn. Cake menghela nafas, kepanya menggeleng ringan. Bola matanya memutar.
“De-dengar, ini tidak seperti… a-aku punya uang untuk membeli buku – buku itu, benar?” kataku dengan senyuman sedikit dipaksakan.
“Kukira itu sekitar 60% saat kau bilang ‘buku yang biasanya kubaca dulu!’ tapi itu hanya satu buku? Apalagi tidak ada seorang pun yang belum pernah mendengar cinderella.” Nadanya bertambah sebal.
Yeah dia ada benarnya. Tn. Cake masih memegangi dua judul buku itu. Salah satu buku itu dimasukkan ke dalam jasnya. Namun ia masih memandang bingung satu buku yang masih dipegangnya.
“Ada apa Tn. Cake,” alisku terangkat. “Apa yang aneh dengan itu?”
“Aku jarang membaca dongeng. Tapi Hansel & Gretel dan Rapunzel punya cerita unik. Masalahnya kenapa dengan buku ini?” ia memegangi dagunya.
“Hamlet & Ophelia? Well, mungkin saja kisah romantis yang berujung klise, seperti cinderella. Wanita malang yang-“
“Ya, memang ini mengandung romatis, tapi ini tidak klise, Feline. Ditambah, ini tidak seperti fantasi cerita cinderella dengan buah apelnya, cermin, pangeran, bleh!” sela Tn. Cake dengan sedikit menaruh kesan ejekkan pada buku yang pernah kubaca.
“Yeah, terserah, Tn. Cake.” kataku mengalah.
Kemudian ditaruhnya kembali dalam tumpukan buku. Ia memintaku untuk memberi penerangan dengan senter di ponselku terhadap botol – botol di sebelah sudut kanan. Tn. Cake mengangkat salah satu botol yang menyerupai botol thinner seperti toples mungil. Atau mungkin lebih kecil? Entahlah, aku bukanlah seniman yang mengingat segala perlengkapannya.
“Ada apa, Tn. Cake?” tanyaku padanya yang matanya memelototi label pada botol kecil mungil yang menyerupai botol thinner.
“Well… aku berusaha membaca label usang ini.”
Bukan hanya usang, tapi hanya tersisa seperempatnya. Bahkan di huruf awalnya sudah terlihat kabur. Dengan segera, ia mengambil buku catatan kecil, lalu menyobekkan dua lembar kertas, dan pena dari sakunya. Kemudian itu diberikan kepadaku.
Ia menghela nafas seakan – akan ini akan menjadi hal yang berat. Well, aku bahkan punya banyak pertanyaan dengan setidak – tidaknya sepuluh kerdus yang mengelilingi ruangan ini, apa yang kita lakukan dengan itu?
“Tulis semua yang ada di dalam kardus sekitar sini nama label dari tiap botol itu. Ambil satu botol perwakilan dari nama tersebut. Bila itu kembar maka tinggalkan saja.”
Ia memberiku contoh yang mudah dipahami.
“Semuanya?” tanyaku sedikit mengeluh,
Ia tidak menggubrisku dan segera melaksanakan bagiannya sendiri. Aku dominan di sisi kiri, sementara Tn. Cake sebaliknya.
Sejujurnya, aku ingin bertanya siapa yang tidur di kamar ini? Itu memang kamar, karena ada tempat tidurnya. Jika menelan kata – kata Nona Belladonna bahwa dua kamar itu untuk para tamu, masalahnya tamu macam apa yang tidur di tempat yang mirip gudang? Walaupun harus kuakui kasurnya tidak berdebu, lampu tidurnya juga tak ada sarang laba – laba. Hanya saja melihat beberapa barang yang tidak seharusnya di kamar seakan mengganti kesan kamar itu sendiri.
Kardus demi kardus…
Hingga keningku meneteskan keringat hasil jerih payah. Sudah ada hasil yaitu beberapa botol kutaruh menyamping dan terpisah. Sesaat melirik nama – nama pada label itu yang kutulis lembar demi lembar dengan hati – hati aku sadar betapa kecilnya otakku. Aku sama sekali tidak tahu selain botol ini mirip thinner atau vitamin yang kubeli di apotek Madame Odnery.
Kardus demi kardus… lembar per lembar…
Ini agak terasa aneh. Untuk apa kita bergantung pada senter ponsel sementara sang mentari dengan sukarela membagi cahayanya? Oke, katakanlah aku paham. Tapi…
“Kenapa kamar ini tak ada jendelanya?” tanyaku dengan berat dalam hati.
Pertanyaan itu jauh tenggelam dalam pikiranku hingga tak terjangkau lagi. Sama halnya dengan tembok di ruangan ini, dilapisi karpet.
Aku masih melaksanakan tugas yang diberikan Tn. Cake.
Kardus demi kardus… lembar per lembar…
ns 172.71.254.141da2
然後按「加至主畫面」