Kini aku tahu harus mengajak siapa lagi untuk ikut memancing denganku besok. Melewati sebuah lapangan kecil, di depan kamar – kamar dan kelas kami, sebuah pertandingan sepak bola kecil – kecilan dimulai. Aku berjalan menepi. Well, itu sudah seperti tradisi tahun lalum bagi mereka – mereka yang melakukan pelajaran tambahan. Karena itu olahraga yang umum, kukira penontonnya mulai banyak. Terutama gadis – gadis.
Roddy dan Rodriguez sebagai penyerang, Colt dan Gabbi masing – masing sayap. Riggs sebagai pertahan, Chandler adalah penjaga gawang menggantikan Foscow. Sisanya diisi oleh kelas lain. Menurutku itu taktik yang lemah, seperti biasanya. Bila aku ditanya mana yang tepat, paling tidak Riggs kupikir tidak cocok sebagai pertahan dan satu orang lagi dari kelas lain dengan postur tubuh pendek. Menurutku Roddy dan Rodriguezlah seharusnya.
Kulihat Foscow juga di bangku penonton, bersama, James, Verdamant, Isabeau dan Sonia. Aku menyapa mereka sebentar.
“Skor?”
“ Satu untuk satu,” tambah James. “Kau tidak ikut, Mark?”
“Ah, tidak. Aku sedang malas menggerakan otot – otoku.”
Isabeau menawarkan roti isi miliknya.
“Kau habis darimana, Mark?”
Cukup disayangkan kutolak tapi itu karena aku tidak lapar.
“Toko Tn. Juan”
Kuceritakan semuanya kecuali apapun tentang Beckey dan mereka berdua, Gertrude dan Rita.
“Ahohoho! Kau bisa mengajakku kalau mau? Bagaimana, Mark?” Celoteh Verdamant yang menurutku tidak lucu.
Kujawab saja dengan ekspresi wajahku.
“Tentunya tidak denganmu juga.” Aku mengejek Foscow.
“Hey, aku bahkan tidak bertanya! Well, daripada itu, paling tidak kau bawakan saja ikan yang sudah matang!” tambahnya sambil berbisik. “Hey Mark, akhirnya aku telah membuat keputusan.”
Alisku terangkat sedikit, yeah kami pernah membicarakan hal serius tentang masa depan.
“Aku akan membuat blog tentang makanan dan berkeliling dunia,” tambahnya melirik seseorang. “Dengannya.”
Aku sadar orang itu juga melirik dengan malu.
“Aku doakan kau berhasil.”
Kepalaku mengangguk yakin dan mengerti apa yang ia bicarakan. Kemudian beberapa temanku agak sedikit mendengar bisikan tadi. Aku tahu si gendut foscow tidak hanya punya badan yang gemuk, tapi setidaknya ia pengecoh yang hebat.
“Hey, Mark! Tadi hampir saja aku menikmati pedas neraka!”
“Huh? Soal makanan?”
“Yeah, Beagle mengambilnya. Sayang sekali, padahal aku ingin sedikit tertantang!”
Aku menepuk pundaknya.
“Kukira itu demi kebaikanmu, santai saja.”
Ia mengangguk tapi tidak puas.
“Aku bertanya – tanya, apakah ada tempat untukku?” Tangan kanan sonia memegang pundakku dengan tiba – tiba.
Ini adalah pertanyaan sulit. Tapi aku tidak terlalu suka berada di dekatnya. Tidak semenjak setahun yang lalu. Ini tidak seperti aku membencinya, hanya saja lama – lama sudah menjadi insting alami..
“Jangan bercanda, Sonia,” kusingkirkan tangannya dengan lembut.
Saat kulontarkan itu, sedikit membuat suasana hening canggung. Saat itulah kujadikan kesempatan untuk menjauh dari sana.
“Sampai nanti.” Kataku lalu pergi.
Sempat Roddy dan Rodriguez menawariku ikut bermain saat bola tersebut keluar di dekatku. Tapi tetap agenda adalah prioritasku yang utama.
Aku berjalan melewati laboratorium itu, melewatinya langkah demi langkah. Dari pintu masuk aku sedikit tertarik untuk melihat isi dalamnya. Memang benar banyak orang – orang berjas putih. Dari situ asal sedikit demi sedikit suntikan dana untuk Widehope gedung sisi belakang. Secara singkat, mereka mengambil projek, lalu pemerintah mengeluarkan dana. Daripada menggunakan satu, lebih baik dua, kan? Tapi untuk mensiasati sebuah kasus, sebaiknya seperempatnya direalisasikan. Dan itulah yang sekarang.
Aku akhirnya masuk ke gedung utama, sebut saja sisi depan. Di sana aku melihat Herald dan Prestone.
“Hey, Herald! Prestone!”
Kami mengobrol sebentar. Elysa sedang mengambil pelajaran tambahan. Mereka bilang alasanku yang kemarin lumayan bisa diterima. Untungnya tidak ada hal lain yang lebih penting untuk dibahas selain isu – isu koran lokal yang membicarakan hal yang sedikit mencurigakan. Aku meminta tolong mereka bagaimana agar bisa masuk ke perpustakaan Widehope.
Mereka mengantarku ke sana dan membantuku untuk membuatkan kartu identitas baru. Well, ini pertama kalinya aku ke sini. Dan untuk pertama kalinya juga, aku ke tempat ini bukan untuk mencari buku. Aku tidak ingin liburan musim panas hanya untuk berpikir. Buku, atau sebuah sastra, dengan otakku tidak bersahabat. Tapi di saat yang bersamaan juga, bila aku membutuhkan sesuatu darinya, aku pasti gali lebih dalam. Ini membuat sesuatu hal menjadi sedikit lebih rumit, sebuah kontradistinksi.
Mereka kembali setelah itu karena sedang mengikuti beberapa praktek tambahan. Sementara gedung ini, tak henti – hentinya membuatku terpukau. Kata Prestone tadi sekitar sepuluh ribu buku, bangunan yang dibuat sederhana persegi panjang, yang punya bilik – bilik lemari, dua lantai. Sebenarnya tempat ini adalah tempat yang hening. Hampir tidak ada suara selain bisikan. Aku langsung naik ke lantai berikutnya.
Lantai dua, berisi buku lebih sedikit. Karena sekitar seperempatnya terdapat tempat untuk bercengkerama. Tempatnya terbuka pula. Daripada aku terkejut lebih lama, lebih baik kutahan diriku.
Aku sedang mencari seseorang, pendek, dengan rambut seperti bungkus permen, dan matanya sayu – sayu. Dari bilik ke bilik kulewati, aku tidak melihat satupun. Hingga aku menuju salah satu dari tiga bagian informas tepat di tengah – tengah. Tepat duduk manis seperti boneka, di sebelah komputer.
“Maaf, buku tentang ikan dan sejenisnya ada di bagian mana ya?” tanyaku yang berpura – pura sebagai konsumen.
Ia belum menoleh ke arahku. Matanya, dari buku itu langsung beralih ke komputer.
“Di lantai satu, rak G. Kau akan menemukan buku seperti memancing, jenis ikan, sejarah lautan dan semacamnya. Kalau boleh tahu-” kepalanya menghadap ke arahku. “Geh... Mark?”
“Mark, tunggu, jangan di sini,” ia menarik tanganku menuju tempat lain.
Ia seakan paham apa yang aku lakukan. Kami ke tempat berkumpul, di mana satu – satunya bisa mengobrol dengan lantang.
Sesaat setelah ia berbalik, tidak sampai mulutnya terangkat aku langsung merangkulnya erat – erat.
“Gwen! Aku kangen sekali denganmu!”
Ia berusaha melepas rangkulanku.
“Lepaskan aku, tolol!”
Well¸kulepaskan saja.
“Blimey! Kau ini seperti binatang saja! Kenapa orang – orang selalu menganggu!” ia mengomel tapi dengan suara lucu.
Gwendoline, gadis satu kelas denganku yang jarang terlihat. Satu kata untuknya, imut. Seperti yang kubilang, rambut diikat kembar seperti permen, kaca mata bulat, dan pipi yang tembem. Gadis ini pendek, bahkan bisa dibilang separuh dari sebayaku. Dia tidak tertarik menjadi yang paling puncak, tapi sangat terobsesi dengan nomor dua. Well, memang dia peringkatnya tepat di bawah Sonia. Tidak punya teman, selain buku. Bahkan ia sudah membaca semua isi buku pelajaran yang tebalnya minta ampun. Gadis yang cukup kesepian. Fakta mengejutkan, selain diriku ia juga kombinasi yang tepat dengan Ephey.
“Apa yang kau inginkan kali ini?”
“Ya ampun, jangan dikira aku ke sini hanya untuk minta bantuan. Kadang – kadang aku ingin berkunjung!” aku membungkukkan badan sengaja membuatnya agak marah. Karena marahnya hanyalah mengandung keimutan.
Tapi itu benar, tahun lalu aku berkunjung ke sini untuk mencari tahu dan minta tolong padanya.
“Rubbish! Gwendoline sedang sibuk! Kau tidak lihat? Aku sedang bekerja!”
“Eh? Kau ini tidak asik! Ini liburan musim panas loh! Musim panas loh!” kataku merajuk.
Ia langsung tidak basa – basi langsung berbalik arah.
“Kalau kau punya hal menarik,” ia kembali ke tempatnya.
Beginilah orang yang terlalu lama kesepian. Karena tidak bergaul, akhirnya agak susah.
Aku mengikutinya dari belakang. Karena kami masuk ke tempat perpustakaan lagi, itu berarti hanya boleh berbisik.
“Ah, benar juga, setahun yang lalu. Apa namanya? Yang waktu itu kita ke Taman Alnwick?” Kataku membuka topik.
Ia melirik ke arahku yang tidak ada harapan. Aku bisa membaca wajahnya. Seperti ia bilang ‘pria yang tidak menarik yang memakai topik masa lalu’ padaku secara tak langsung.
Gwendoline menghela nafas.
“Rubarb batang merah.”
“Kau yakin kan yang waktu itu?”
“Yeah, itu tidak beracun,” tambahnya sambil menutup bukunya itu. “Setidaknya tidak dengan daunnya.”
“Memangnya seburuk apa daunnya?”
“Entahlah, aku tidak pernah mencobanya.” Ia mengangkat bahunya.
“Ayolah ini tdak seperti kau saja! Maksudku secara ilmiah… atau mungkin ada penjelasannya dibalik itu?”
Ia membuang muka. Ia ini memang sedikit egois. Kalau ia tidak mau jawab itu berati tidak ada negosiasi. Sial, topikku berakhir menyedihkan.
“Lupakan masalah itu,” tambahnya sambil menyodorkanku sebuah koran bagian depan. “Pembunuh sekitar Yorkshire! Itu bahkan dituliskan ‘Pembunuh tanpa muka, bau, dan senjata’. Tidakkah itu aneh?”
“Well, aku tidak mau membicarakan hantu. Itu akan merusak kotak kebahagiaanku.” Kataku dengan malas.
“Ini bahasa wartawan, Mark! Tentu saja tidak ada yang namanya hantu! Tidak selain hantu di masa lalu… well secara metafora.”
“Kalau begitu malah semakin sulit. Bahkan tidak untuk gendernya sekalipun? Lupakan saja.”
“Eh? Di sini tertulis wanita.”
Kalau dipikir – pikir aku mulai penasaran, setelah lencana polisi itu kudapatkan dari Elysa.
“Hey, Gwen, ngomong – ngomong soal kematian, kukira di Widehope ada tragedi sekitar 20 tahun yang lalu? Soal siswa meninggal. Apakah itu bohong?”
Ia mengangguk yakin.
“Yeah...”
Mendengar rumor membuatku bosan. Tidak sampai dia melanjutkan kata – katanya.
“Yeah, pada awalnya kukira begitu.”
ns 108.162.216.77da2