Taksi itu berhenti tepat di depan pagar hitam gagak itu.
Bibi Kathryn segera keluar, sedangkan Monkey berhenti sebentar.
“Tunggu di luar sepuluh menit, saya segera kembali.”
Sopir itu mengangguk.
Mereka berdua cepat – cepat membawa barang belanjaan tersebut. Setelah barang tersebut ditaruh di dapur sesuai arahan Bibi Kathryn, Monkey langsung bergegas menuju lantai tiga.
Diketoklah pintu sebelah kamar Nyonya Antoinette.
“Maaf saya menganggu, Nona Edelyn.”
Wanita itu hanya membuka pintu seperempatnya, wajahnya agak cemberut.
Mereka mengobrol di depan pintu, gerak – geriknya agak tergesa – gesa.
“Baik, tunggu sebentar.” Kata wanita tersebut sambil lari setelahnya.
Pintu lain terbuka.
“Tuan Monkey? Anda ada perlu dengan Edelyn?”
Monkey mengangguk lugu, pria itu mendekatinya.
Wanita itu kembali dengan membawa sebuah kotak. Saat kotak itu diberikan, tangannya berhenti menyerahkan.
“Benda ini harus kembali, Tuan Keymarks,” katanya tegas lalu menoleh pada pria yang baru saja tiba. “Sebaiknya para pria tidak mengecewakan, sampai jumpa!”
Pintu ditutup agak keras.
“Dia sibuk.” Bisik Monkey.
Steve melirik sesaat pintu kamar wanita tersebut.
“Tidak, bukan itu.” bisiknya pada Monkey sambil menggeleng. “Datang bulan?”
“STEVEE! Aku bisa mendengarmu!” Sentakan yang memekakan telinga, pria yang namanya dipanggil melompat terperanjat.
Kedua pria itu saling menoleh, sama – sama mengangkat bahunya. Monkey langsung turun tangga, sedangkan pria berponi tanda koma itu gerakannya agak sempoyongan efek dari sentakan wanita tadi kembali ke kamarnya.
Monkey langsung menuju pada taksi yang menunggunya.
Pintu taksi itu dibuka, langsung dibantingnya tidak terlalu keras. Nafasnya agak terengah – engah.
“Saya, tepat waktu.”
“Wah, wah tuan ini bisa saja. Membuat wanita menunggu itu dosa besar.” Kata sopir tersebut sambil menggeleng yang membuat Monkey melongo. Lebih tepatnya, selama ini ia tak sadar bahwa sopir tersebut wanita.
Monkey agak kecewa.
“Cukup dengan wanita! Oh, yang benar saja! Apakah hari ini bukan hariku?”
Sopir itu menengok ke belakang.
“Anggap saja begini, kek, anda sedang memberi uang jajan lebih pada cucu cantikmu ini?” nadanya agak merayu.
Pria itu mengerang.
“Entahlah? Kau tidak sekolah?”
“Entahlah? Saya sudah keluar dua tahun.”
Gas itu ditancap, mobil langsung melaju.
“Jadi, kakek akan pergi kemana?”
Monkey terdiam terus sambil membaca selembar kertas yang diambil dari sakunya.
“Kupikir anda bukan orang biasa, setidaknya pakaian itu cukup mahal. Anda seorang pelayan?”
Monkey terus mengabaikan, sementara wanita yang rambut coklatnya dibuat quiff ala lelaki kantoran itu meliriknya pada kaca spion tengah. Wajahnya agak jengkel.
Mobil itu berhenti, konsentrasi Monkey agak buyar.
“Nona, kakek sedang sibuk.”
Wanita itu mengeluh.
“Kek, setidaknya bicaralah dulu anda mau ke mana?”
Ia menghela nafas kemudian lipatan – lipatan alisnya mulai terangkat.
“Devonshire Street, Workington, Cumbria.”
“Anda gila? Itu hampir lima jam!” tambahnya sambil menggeleng. “Tidak, tidak, tidak. Anda keluar dan saya mencari penumpang lain!”
Monkey masih menghela nafas.
“Well, sepertinya rumor si cepat woman cabs adalah bohong.” Katanya nada mengejek.
Wanita itu terdiam, tapi pria itu melirik dari kejauhan tangannya agak gemetaran.
“Betapa bodohnya, kupikir aku bertemu si supir spesial itu. Ekspektasiku sempat naik untuk sebuah mobil dari jepang. Tapi kupikir sama saja, ” tangannya mengelus pada jok mobil yang didudukinya. “Padahal sudah senyaman ini. Lagipula untuk apa aku berurusan dengan bocah ingusan?”
Saat tangannya mencapai pintu mobil sebelah kanan, tiba – tiba gas diinjak.
“Anda akan menyesal dengan kata – kata barusan!” nadanya agak naik.
“Oh? Cukup mudah.” Gumam Monkey.
Mobil melaju pada jalan yang bisa dibilang amatlah lurus. Melewati berbagai tempat makan, pom bensin, hingga akan menuju bundaran pertama. Namun kali ini, mobil yang ditumpangi pria yang berperan kakek tua itu harus berhenti tepat diantara barisan mobil yang hendak melaju. Wanita itu semakin geram, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan mencari jalur alternatif.
“Hey, jangan berpikir untuk berbelok. Tidak ada jalur alternatif di A4144,” tambahnya sambil memegang janggut palsunya. “Lagipula aku tak tergesa – gesa, orang tua senang cari aman.”
“Bensin!” katanya dengan sebal.
“Itu yang anda khawatirkan, nona?”
“Beginilah nasib supir taksi yang tidak terikat perusahaan. Perhitungan diperlukan.”
Monkey terdiam memandang penuh kasihan dari belakang.
“Anda tinggal di mana, nona?”
Mobil tersebut berjalan perlahan, wanita itu masih fokus pada jalanan.
“Sebuah flat kecil, Speke Street, Norwich.”
“Oh? Cukup dekat.” Kata Monkey sambil mengangguk – angguk mengelus janggutnya.
ns18.119.110.128da2