Edelyn bangun dari sofa tersebut, tubuhnya di banting dengan lemasnya ke arah tempat tidurnya, sedangkan Monkey yang tak jauh dari situ, badannya condong ke arah jendela dengan perasaan khawatir.
“Saya masih dengan pendapat tadi. Kalau boleh jujur, saya bukan tipe orang yang mengikuti pemikiran orang lain. Selama ini pria itu tidak pernah berbohong di perusahaan. Laporan darinya selalu benar. Permasalahannya adalah karena pria itu sekarang menjadi tempat ketergantungan bagi semua orang. Alhasil, agak berani melunakkan beberapa peraturan perusahaan. Dan konsekuensi atas hal itu, kami yang menanggung.”
Monkey mengangguk.
“Ah itu menarik, Nona Edelyn.” badannya berbalik arah, menuju pintu keluar. “Ah! Lebih baik anda mengambil cuti untuk libur daripada ke arah obat.”
Pintu tertutup dengan lembut. Wanita itu agak terperanjat, namun wajahnya tenang dengan senyuman hangat sebelum matanya terpejam karena lelahnya.
Tepat di seberangnya, atau bisa juga dikatakan sebelah ruangan dengan ornamen mata jam gagak, adalah milik Steve. Kamarnya kurang lebih ukurannya tidak beda jauh dengan kamar – kamar yang sebelumnya pernah dimasuki. Tidak ada satupun hal yang mencolok atau aneh, meski masih mengandung unsur gagak dan merpati. Ruangan itu lebih berkepribadian kutu buku. Agak kurang sopan dibilang tidak ada yang aneh, tapi bila ingin disebut sekali memang benar ada.
“Ah, prächtig! Anda menganut gaya transisi. Rasanya sangat rindu sekali. Yang terpenting anda orang yang tak jauh – jauh dari ayah anda, seorang pengagum literatur.” Kata – kata Monkey dengan sedikit gula imajinasi yang menyiratkan kekagumannya.
“Saya merasa terhormat menerima pujian anda, Tuan Monkey,” tambahnya sambil mengajak berkeliling ketiga orang tamunya. “Saya mengabdikan hidup untuk membaca karya – karya Sir Arhur Conan Doyle. Sebuah karya besar dalam sejarahnya, dibumbui dengan plot twist terunik sepanjang saya membaca novel misteri!”
Nona Desdemona mengambil beberapa buku, namun dahinya berkerut. Tak lama buku itu dipulangkan ke tempatnya. Inspektur Duncan mengangguk – angguk pada buku yang bergambar pria botak, dengan kumis yang khasnya.
“Poirot? Anda juga pengaggum novel misteri juga, Inspektur Duncan?”
“Ah, tidak juga. Kadang – kadang saya meminjam milik istri saya sebentar, untuk menghabiskan waktu?”
Steve mengangguk paham.
“Well tidaklah buruk, menurut saya.”
Kamar yang unik pada peletakkan perabot yang mengisinya. Misalnya saja tempat santai dipisah tepat separuhnya dengan ruangan membaca. Ruang tamu yang diatur vertikal sedemikan rupa mengisi bagian pojok – pojok tembok, begitu pula tempat tidur untuk satu orang. Beberapa perabotan yang kurang disebutkan sebelumnya, seperti dispenser dan galon juga ada pada ruangan ini.
Separuh lagi adalah ruangannya bekerja. Ditata secara horizontal, delapan rak buku dengan jarak – jarak yang bisa dimanfaatkan. Tempat kerjanya adalah jarak tepat pada tengah di antara empat rak yang dominan di bagian depan dan sisanya di belakang. Yang memisahkan dari suasana transisi itu adalah perapian, tepatnya di pojokkan tengah.
“Anda seorang novelis juga, benar?”
“Benar.”
Sampailah ia pada lemari dekat perapian. Bila dihitung secara horizontal dari kiri ke kanan, maka itu adalah rak terakhir. Pria itu tampaknya agak berbeda dari perangainya yang tadi. Seperti budak yang baru saja dilepaskan dari belenggu tuannya.
“Salah satu dari dua belas buku yang saya tulis,” tangannya mengambil salah satu buku dari rak tersebut. “ini yang paling laris.”
Desdemona menerima buku dengan gambar tangan yang memegang buku catatan kecil, dengan judul Lady Evest Black Memoir. Ia tampak mengangguk – angguk, tapi kemudian dikembalikannya lagi buku tersebut. Sebelum tangan pemilik itu meraihnya, Monkey mengambilnya.
“Daripada seperti tuan kepala telur yang terkenal, anda lebih memilih peran utama sebagai wanita,” tangannya membuka halaman secara acak, kemudian ditutup lagi. “Ah, saya lebih suka membacanya saat sedang santai, bolehkah?”
Nadanya penuh semangat, dan gembira. “Te—tentu saja! Saya senang seseorang—” kepalanya menoleh ke arah Inspektur Duncan. “Tidak. Dua orang penyuka literatur.”
Melewati perapian, mata mereka memandang perabotan – perabotan yang biasa, seperti tangga lipat. Semuanya terlihat biasa, walaupun bila diperhatikan secara hati – hati paling tidak ada satu hal yang cukup aneh. Namun hal itu tidak perlu untuk dipermasalahkan.
“Ngomong – ngomong dimanakah anda saat kejadian tersebut?”
Desdemona duduk pada sofa tengah, sedangkan Monkey berjalan kecil maju dan mundur.
“Kira – kira jam setengah tujuh saya mengetok pintu kamar Kak Lilia. Saya hanya memastikan apakah dia baik – baik saja.”
“Apakah ada yang melihat anda melakukan itu?”
Pria itu memengang dagunya, terlihat seperti orang berpikir.
“Saya berpapasan dengan Lorraine dan Bibi Kathryn. Mereka keluar dari ruangan pribadi ayah.”
Inpektur Duncan mengangguk.
“Ah, sepertinya itu benar. Semenjak kamar anda berdekatan, tidak adakah hal aneh?”
Pria itu mengangkat bahunya.
“Saya tidak terlalu memikirkannya.”
“Tidak harus pas dengan kematian korban, yang penting pada hari itu.”
ns18.216.64.93da2