Ibu tersenyum melihatku, tangannya menyambutku sedangkan tubuhnya terbaring dengan selimut. Punggungnya menyandar ke tumpukan bantal yang diatur nyaman. Lompatku dengan hati – hati dan menerima sambutan itu dengan hangat.
“Jadi, lesmu hari ini bagaimana, honey?”
“Hari ini Paman Lester membuat jari – jariku pegal! ” nadaku bercerita dengan semangat “Ia selalu bilang ‘konsentrasi nak’ padahal sudah kulakukan semampuku.”
“Tidak apa – apa, sayang.”
“Tapi—tapi, hari ini Tante Vianne mengajariku cara membuat novel, Bu! Ia menunjukkan novel – novel misterinya! Kira – kira dari yang kubaca, kebetulan hampir sama dengan yang ibu ceritakan!”
“Tentunya kau pasti senang, Honey!”
“Tentu saja, Bu! Cerita – cerita selalu menarik minatku. Serunya adalah ketika menelepon—berdalih atas nama temannya—kepolisian lalu, lalu-“ nadaku yang penuh kesenangan tak tuntas.
“Nanti saja , sayang. Sekarang ayo kita menuju ruang makan. Semuanya sudah menunggu. Mau bantu ibu turun?”
Tangan ibu menawariku. Badanku turun dari kasur dengan pelan, kuterima tawaran ibu. Saat hendak bangkit, ibu seperti sempoyongan, pundaknya kupegang dengan penuh ke hati – hatian.
Ucapnya dengan tenang, “Ibu tidak apa – apa, honey,” tangannya menyuntuh tubuhku sebagai bantuan untuknya berdiri.
Berjalan di koridor menuju tangga, aku menaruh perhatian di sekeliling kalau – kalau ada sesuatu yang membuat tersandung atau terluka. Pandanganku juga terfokuskan ke arahnya, sambil berjalan mengamati, yang ada dipikiranku sekarang adalah, mengapa ayah tidak bersama ibu?
Menuruninya dengan pelan, memerhatikan tumpuan kami untuk dipastikan menyentuh anak tangga. Sempat jantung memukul dadaku keras – keras, melihat ibu berhenti sejenak. Tangan lainnya menutupi mulutnya, wajahnya pucat. Untungnya kejadian itu sekali sesaat, kami akhirnya telah sampai di meja makan. Melihatku kesusahan membantu ibu, bibi dan saudaraku menghampiri kami. Ayah yang hanya terperanjat, dan berdiri dari kursinya. Aku agak lega bibi bisa diandalkan. Ayah hanya menanyakan keadaan, lalu wanita itu, pikirku mereka hanya mengambil kesedihan tanpa perlakuan. Seperti biasa tak ada protes, Tuan Kuda masih berada pada rel kemampuannya yang sangat mengesankan.
Setelah selesai, aku berniat mengawali waktuku menggosok gigi. Apalagi kata ibu ‘Ibu melarangmu makan permen dan coklat bila gigimu rusak. Setiap gigi yang rusak waktunya setahun.’ Mengingat itu aku menatap ibu dengan menyeringai ‘Mana mungkin hal itu membuatku khawatir, permen dan coklat hanya untuk anak kecil,’ dan ibu masih menatapku dengan senyumannya yang penuh makna. Setelah itu aku berbalik arah, menimbang – nimbang dengan penuh keraguan, tersadar bahwa memang berat rasanya meninggalkan coklat lembut dengan dan karamel lengkap dengan kacang medenya. Betapa bodohnya aku, ibu memang susah sekali kalah. Sampai saat inilah kulakukan tanpa perlu Bibi Kath mendatangiku terlebih dahulu.
Lalu Seperti biasa ke kamar ibu adalah rutinitasku setelah menggosok gigi. Aku menantikan – nantikan cerita yang ibu bawakan, begitulah pikirku. Meskipun sedikit tergesa – gesa, aku tak mau beresiko berlarian di koridor. Bibi Kath akan sangat menakutkan disaat seperti ini. Mendekati pintu, aku tersadar bahwa seharusnya tak mungkin dengan kondisinya yang tadi. Meraihlah tanganku ke gagang pintu, membukanya dengan sopan. Aku sedikit kaget, ternyata kedua saudaraku ada di sana, yang satu memijat bahu dan yang lain kakinya.
“Honey, kamu ingin bergabung?” tambahnya dengan lemas dan nyaman. “Sekujur tubuh ibu sakit nyeri, jadi hari ini tidak ada cerita dulu ya?”
Aku tidak peduli pada kata - katanya, mau cerita atau tidak, aku langsung mengambil tugas seperti yang dilakukan saudaraku. Maksudku, apa artinya kalau pendongengnya sakit? Ceritanya malah tidak seru!
“Tadi setelah makan, aku langsung mendengar rintihan ibu pelan.” Ucap saudaraku dengan tanpa semangat, matanya tertunduk lesu.
“Rasanya tadi kuamati, porsi makanan ibu sangat sedikit. Jadi setelah makan langsung kesini.” Kata saudaraku yang lain dengan mata serius. Ia adalah yang bertugas memijat kaki.
Aku merasa kecewa dan bersalah, kepekaanku lebih lama.
Aku menoleh ke arah saudaraku, lalu ibu, “Maafkan aku terlambat, saudaraku, ibu!”
Saudaraku tersenyum dan menggeleng. Ekspresi mereka memancarkan niat menenangkanku.
“Apa yang kamu katakan? Ibu sebenarnya tidak menyuruh siapapun disini! Lagipula sudah cukup beruntung, anak – anak ibu ternyata sangat peduli!” tegasnya dengan suara yang tidak terlalu tegas dan agak lemas.
Memijat tangannya, instingku berpikir bahwa ada perbedaan dari yang sebelumnya. Agaknya lebih kurus dan bertambah urat di pergelangannya yang membuatku khawatir. Tapi raut wajahnya yang langsung tenang, matanya terpejam seakan menikmati, aku sedikit lega.
ns3.147.86.27da2