Hampir setahun rasanya, mataku masih sempat terbangun karena sinar pagi yang menyeleweng tanpa kehendakku, pikirku ada yang menggeser nona tirai yang membelakangi tuan jendela. Tak sampai disitu, usahanya menjauhkanku dari hangatnya tante selimut, bahkan merebut kemesraanku dengan si guling. Bibi Kath sangat berbeda dengan Tuan Kuda yang penuh pengertian dan kemudahan. Seseorang yang monoton dan tidak kusuka, tapi tidak berarti membencinya. Disiplin dan susah dikompromi, tanpa negosiasi ataupun pengampunan. Bagi keluarga ini, jam – jam selalu diatur sesuai waktu yang tepat. Tidaklah mudah mencari celahnya, selama ada Bibi, semuanya taat dan tertib.
Tangannya menjawil pundakku berulang – ulang, “Nak, sudah waktunya sarapan,” nadanya berubah agak tegas “Basuhlah muka dan lekaslah berganti baju, kemudian langsung ke ruang makan!”
Apabila Bibi sudah bertindak, biasanya kemarin aku sangat kelelahan. Walaupun sudah terbiasa dibangunkan seperti ini, tidak ada alasannya untuk marah. Bibi hanya melakukan pekerjaannya. Tanpa alasan lain, langsung menuju kamar mandi. Kebetulan aku berpapasan dengan Si Keledai, ia berterima kasih pada hal kemarin. Dengan nyengar – nyengir, sebenarnya aku tak terlalu peduli. Mau bagaimanapun juga tujuanku adalah Tuan Kuda. Aku hanya tersenyum tanpa makna. Lalu kuteruskan arah untuk membasuh mukaku dari bekas tidur.
Tak lama setelah membasuh muka, berjalan menuju koridor, ternyata bertemu lagi dengan Si Kedelai. Pertemuan ini tidak kebetulan, pasti telah direncanakannya. Sebenarnya sesenti pun, aku enggan bersama para hewan itu. Kutambahkan saja dalih pada diriku, seorang pengintai. Ya agar bisa kuterima, alasanku adalah mengintai dari perilaku mereka, mengambil alih perhatiannya, dan suatu saat kugulingkan kalau – kalau mereka melukai orang – orang terdekatku. Lalu tak kugubriskan lebih lanjut omong kosongku, akhirnya kami menuju ruang makan.
Tuan Kuda seperti biasa, sangat menakjubkan sarapan ini. Sebelum – sebelumnya, koki di keluarga ini penuh dengan dalih. Menyalahkan lidah kami yang kolot, kurangnya pengetahuan terhadap makanan dan sebagainya. Padahal sudah jelas – jelas mulutku menolak. Kurang dari setahun, pria yang tidak pernah mengaca itu mencari pekerjaan lain. Kabar baiknya lagi Si Keledai, Si Kera, dan Si Babi sudah mulai membiasakan dengan tanpa enggan apapun dari Tuan Kuda buat.
Kupandang wajah ibu, letihnya tidak kunjung reda, hari demi hari. Lekukan pada mata kantuknya agak gelap, senyuman di pipinya mulai jarang. Mungkin sedikit makan dan terlalu banyak cemas? Tapi aku seringkali mengoreksi perbuatanku yang menjadi penyebabnya, dan ternyata tak kutemukan sedikit pun. Rutinitas seperti les sastra, piano, memasak, berhitung, tata krama semuanya dengan patuh dan tertib kuikuti. Memangnya anak kecil sepertiku tahu apa? hal yang umum olehku adalah setelah kegiatan melelahkan itu, aku harus bermain.
Aku dan Si Keledai adalah penjaga, sedangkan sisanya bersembunyi. Bermain petak umpet tentu mengasyikkan, apalagi pekarangan kami luas lagi rumputnya rimbun, rumah yang berliku – liku ruangannya, banyak tempat persembunyian. Ibu menyebutku cerdas bukan isapan jempol, nyatanya permainan tidak lama dari yang kuperkirakan. Kami sepakat untuk berpencar, Si Keledai mencari di pekarangan hingga lantai dasar seutuhnya, itulah gagasanku.
Menaiki lantai satu, menuju ke dapur, Tuan Kuda sedang mempersiapkan cemilan untuk kami. Saat kutanya, alisnya terangkat sebagian, matanya dipalingkan, agak tergagap ucapannya. Aku berjalan dengan perlahan, melihat kabinet bawah, kuketok pintunya. Keyakinanku bertambah saat Tuan Kuda menoleh ke kabinet atas nomor dua yang saat terlihat olehku, mengganti arah ke kabinet bawah dengan pelan dan meyakinkan. Kubuka secara perlahan, kupastikan saudaraku itu tidak terperanjat jatuh.
Permainanku masih belum selesai, masih di lantai yang sama, melewati koridor, beberapa kamar terbuka, aku masuk di salah satunya. Temboknya bewarna lavender dan pink, sangat feminim. Boneka – boneka di kasurnya bila dihitung hampir tiga kali lipat dari milik saudaraku. Ada tempat rumah – rumahan beserta kawanan yang memeriahkannya, meskipun cukup sebagai persembunyian, kupikir terlalu sederhana. Menoleh ke arah lain, terlihat kaca dan meja rias dengan desain yang imut. Di sebelahnya lemari bermotif strawberry yang setelah kubuka hasilnya sangat mengecewakan, tak ada yang bersembunyi di sana. Sempat kutajamkan lagi mataku, kuperhatikkan selimut yang terlihat seperti gundukkan bantal yang ada benjolan – benjolan tak wajar. Beberapa boneka terlihat yang kepalanya nampak tak tertutupi secara rata. Sangat cerdik dan penuh tipu, pikirku.
ns3.136.18.247da2