Ia pun berlari kencang. Dari pandangan Malphas, aku yakin saudaraku itu sudah penuh keyakinan. Ia pun melompat tanpa ragu, namun temanku itu sudah berada di langit – langit. Dalam hati aku lega, ternyata nasibnya lebih baik dari temanku yang dulu. Temanku juga temannya dia pula. Mungkin dia belajar darinya.
Setelah itu kembali membawa arloji itu. Ia kembali ke bawah namun memakai rute luar. Ia lebih memilih mengintip dari tempat aman, aku tahu apa yang ia pikirkan. Bersamaan dengan hal itu, ternyata ibu telah membuat pancake untuk Lena. Makanya Lena tiba – tiba keluar dari kamarnya dan menuju dapur. Aku bahkan melihat ayah turun, ibu pun juga yang dari dapur. Aku mengerti apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, maka dari itu sahabatku Malphas langsung menunggu di meja klinik ibu melalui lubang ventilasi. Tak lama kemudian ibu kembali pada mejanya. Sahabatku itu memang usil, ia menjatuhkan arloji itu lalu mengambil kalung emas yang ia tinggalkan di mejanya. Kalung itu terlihat sangat indah, bahkan yang tidak mengerti perhiasan akan bilang itu istimewa. Seperti kataku, temanku selalu menaruh perhatian pada benda seperti itu. Daripada mencuri aku lebih suka mengatakan meminjam sebentar. Masalahnya tepat setelah ibu masuk, bukannya itu ceroboh?
Tapi ya sudahlah, kukira ia punya pikiran sendiri. Ibu pun marah, tapi aku bisa mendengar gerakan mulutnya yang mengatakan burung nakal. Bahkan ia sampai memanjat kursi, tapi sudah kubilang temanku itu terlalu cerdik. Ia kemudian memakai jalur luar. Ia kemudian menunggu di jendela dekat aquarium. Pikirku temanku saat ini aman, tapi ternyata tidak. Ibu lewat tangga lainnya yang langsung menghubungkan jalur menuju tempanya beristirahat sejenak. Sekali lagi aku mengerti jalan pikirnya, ia tak punya cara lain. Sementara ibu telah agak dekat. Jendela itu tak lebar seperti yang saudaraku melompat indah tadi, melainkan lebih kecil dan tidak terlalu tinggi.
Karena temanku suka mengalah, ia dengan bijaksana menceburkan kalung itu ke dalam aquarium. Tangan ibu tanpa ragu lalu mengambilnya, namun sesuatu terjadi. Padahal saudaraku tadi baik – baik saja bermain kapal miliknya, tapi ibu malah kejang – kejang tersetrum. Dari kamarku langsung berlari mencari telepon. Melewati ruang makan aku melihat Lena sedang tertidur. Aneh sekali ia lebih memilih tidur daripada pancake? Begitu pula ayah sama sekali tidak menyentuh pancakenya. Tapi anehnya kami tak punya sirup merah, lalu kenapa di bagian bawahnya menggenang seperti sirup strawberry?
Dari sakunya keluar satu koin yang sahabatku dengan bijaknya mengambil. Tapi aku tak menggubris, ibu sekarang dalam keadaan tidak bagus. Aku pun menelepon. Lalu aku kembali ke kamarku. Aku merangkul sahabatku itu. Kami akhirnya mengerti bahwa yang menyatukan kami bukan soal warna, tapi pikiran dan pandangan. Malphas kemudian melemparkan koin itu. Koin itu bergerak lurus tepat sebelum tangga menuju ruang kerja ayah. Bersamaan dengan itu, langkah kaki menuruni tangga terdengar, lalu memanggil – manggil nama ayah.
Sebuah sirine dari luar berbunyi, aku pun keluar dari kamar dan berjalan di sekitar bersama Malphas. Namun yang membuatku menangis adalah dengan bodohnya aku memanggil polisi, bukannya ambulan. Beberapa pria berjas rapi langsung menodongkan pistol dan bertemu dengan wanita itu. Beberapa dari mereka juga menenangkan kami yang menangis. Eh? tunggu dulu. Bagaimana Malphas menangis? Entahlah aku menganggapnya begitu. Yang kutahu paruhnya bisa makan daging. Setidaknya aku dan Malphas berbagi pandangan, lalu hati kami pun berkata yang sama.
“Ini demi Halphas. Sahabat kami, si merpati hitam.”
***
ns18.216.64.93da2