Suasana malam itu terasa hangat dan intim. Lampu temaram di ruang makan menciptakan atmosfer yang nyaman, seolah mengundang kami untuk berbicara lebih dalam. Salmah, dengan rambutnya yang terurai lembut di bahu, sibuk menyiapkan makanan di meja. Aroma masakannya yang menggugah selera sudah memenuhi ruangan, membuat perutku keroncongan meski sebenarnya aku belum terlalu lapar. Tapi, siapa yang bisa menolak hidangan dari Salmah?
“Ayo, mari makan Mas,” ucap Salmah dengan suara lembut sambil menyodorkan piring berisi nasi hangat dan lauk-pauk yang terlihat lezat. “Ini masakan sederhana, tapi semoga kamu suka.”
Aku tersenyum, merasa dihargai oleh keramahannya. “Terima kasih, Salmah. Aroma ini saja sudah bikin aku lapar.”
Kami pun duduk berhadapan di meja makan. Salmah memulai makan dengan tenang, sementara aku mengambil sesuap nasi dan mencicipi lauknya. Rasanya luar biasa. “Ini enak banget,” pujiku spontan. “Kamu jago masak, ya?”
Salmah tersipu malu. “Ah, biasa saja. Aku cuma masak apa yang aku bisa. Tapi seneng kalau kamu suka.”
Makan malam itu berlanjut dengan obrolan ringan. Salmah mulai mengajukan beberapa pertanyaan tentang diriku, seolah ingin mengenaliku lebih dalam. “Mas Anwar tinggal di mana sekarang?” tanyanya sambil menatapku penuh perhatian.
“Aku tinggal di kos-kosan dekat kantor. Lumayan praktis, jadi nggak perlu jauh-jauh ke kerja,” jawabku sambil tersenyum. “Tapi kadang rasanya sepi juga, sendirian.”
Salmah mengangguk, seolah memahami. “Kalau keluarga Mas? Mereka tinggal di mana?”
“Orang tuaku tinggal di Jakarta. Aku anak tunggal, jadi mereka sering kangen karena baru kali ini kami tinggal terpisah jauh.” jawabku, mencoba menjaga nada suara agar tetap santai. “Tapi aku sering video call sama mereka. Jadi, meski jauh, rasanya tetap dekat.”
Salmah tersenyum. “Itu bagus. Keluarga itu penting. Aku juga dekat sama keluargaku, meski sekarang tinggal sama suami di sini.”
Aku menangkap sedikit kerinduan dalam suaranya. “Kamu sering pulang ke rumah?” tanyaku, mencoba mengalihkan topik agar dia tidak terlalu terbawa perasaan.
“Iya, kalau ada waktu luang.” jawabnya sambil mengecup sedikit sup.
Setelah makan, Salmah menggendong Arif yang tiba-tiba bangun.
“Mau minum teh?“ Tanya Salmah.
“Boleh banget,” jawabku antusias. “Aku suka teh.”
“Kalau gitu bisa gendong dulu Arif!”
“Oh bisa banget.”
Aku mengambil Arif dari pangkuannya. Saat mengambil Arif, aku sengaja membuat gerakan seolah-olah tidak sengaja menyentuh buah dadanya. Sungguh menggiurkan. Salmah tidak menunjukkan reaksi marah atau keberatan. Dia hanya diam, seolah membiarkan kejadian itu berlalu begitu saja.
"Ini ada peluang," bisik hatiku kecilku, sambil aku berusaha menahan gejolak dalam diriku.
10351Please respect copyright.PENANARDBVyuYHvG
kelanjutan cerita ini bisa dibaca di karyakarsa https://karyakarsa.com/whizkei/istri-satpam-kantorku victie https://victie.com/app/books/220
ns3.145.167.178da2