Nama gue Lingga. Di usia gue yang masih 23 tahun ini, gue udah harus memikul beban hidup yang gak ringan. Mau gak mau, gue harus menyandang gelar Pimpinan Yayasan Pendidikan yang dulu dipegang kakek gue sebelum beliau dan ayah gue meninggal karena kecelakaan. Gue sempat protes “Kenapa harus Lingga sih, Bu? Kan masih ada Kak Luna, atau Lexa.” Gue menyebut nama kakak dan adik gue.
“Ya gak bisa dong, Lingga. Lexa kan masih belum selesai kuliahnya. Lagipula, dia gak akan mau kalau karir bernyanyinya terganggu. Kalau kakak kamu, dia kan ada café. Gimana kalau nanti cafenya gak keurus? Kalau kamu kan sambil memimpin yayasan kamu masih bisa nulis. Lagipula, kamu itu anak ibu yang paling berani. Ibu cuma bisa mempercayakan yayasan itu sama kamu.”
Perkataan ibu bagai sabda buat gue. Sejak kecil gue cuma diajarkan buat takut sama dua hal, murka Tuhan dan murka orang tua. Itulah kenapa gue gak pernah takut sama siapapun. Beda banget sama Kak Luna dan Lexa. Kak Luna adalah orang paling kalem yang pernah gue temui. Dia mirip banget sama ibu. Sedangkan Lexa, sekalipun cerewetnya minta ampun, dia sebenarnya penakut.
***
Pagi itu gue dan Lexa lari tergesa-gesa menuju taman. Kami berdua sudah ditunggu oleh Kak Ferry dan Kak Ferro, pacar gue dan Lexa. Kak Ferry dan Kak Ferro saudara kembar. Gue juga selalu gak habis pikir kenapa gue dan adik gue bisa berpacaran dengan dua saudara kembar itu.
“Sorry, sorry, kita telat.” Ucap gue sambil ngos-ngosan.
Tiba-tiba Kak Ferro berdiri di hadapan Lexa. “Kebiasaan ya, masih aja suka bikin aku nunggu lama.” Perlahan Lexa mundur. Lalu, sambil berteriak dia berlari menghindari Kak Ferro yang langsung mengejarnya. Gue sama Kak Ferry tertawa melihat kelakuan mereka yang keanak-anakan banget. Padahal, mereka udah mulai dewasa. Usia Kak Ferro dan tentunya juga Kak Ferry 25 tahun dan Lexa 21 tahun.
“Maaf ya Kak, aku telat. Kamu jadi harus nunggu lama.” Ucap gue tulus.
“Gapapa sayang, aku gak mau kamu yang harus nunggu aku lama.” Balas Kak Ferry seraya mengacak rambut gue. Guepun memluk dia erat. Gue sangat menyayangi Kak Ferry. Omong-omong soal dia, gue kenal dia karena sebenarnya sejak dulu dia dan Kak Ferro teman main Kak Luna. Mereka semua seumuran. Tapi belakangan, Kak Ferry sering memberi gue perhatian lebih. Karena gue juga sebenarnya mengagumi dia, akhirnya kami berpacaran.
“Yayasan kamu apa kabar?” Tanya Kak Ferry saat kami berjalan menyusuri taman.
“Baik, para kepala sekolah di yayasan sangat loyal. Mereka bisa aku percaya dengan baik. Usaha kamu gimana?” Gue balik bertanya. Kak Ferry memiliki usaha memasok bahan-bahan mentah ikan untuk ia supply ke berbagai restoran seafood.
“Baik juga, beberapa bulan terakhir pelangganku bertambah. Ini semua berkat kamu, sayang. Kamu adalah keberuntunganku.” Gue menatapnya. Gue lihat, mata Kak Ferry penuh dengan cinta. Dia mencium ujung kepala gue, sebelum kemudian mengacak rambut gue.
“Woy! So sweet amat, sih!” Tiba-tiba gue mendengar suara Lexa yang kemudian tertawa bersama Kak Ferro.
“Nih anak nyebelin banget, sih!” Ujar gue gemas lalu bersiap memberi Lexa pelajaran. Dia kontan berteriak dan berlindung di balik punggung Kak Ferro. Kak Ferry segera menarik lengan gue dan menenangkan gue. Kami semua pun tertawa bahagia.
“Nah, daripada berantem, gimana kalo sekarang kita nyanyi aja?” Usul Kak Ferro yang kemudian mengundang anggukan setuju dari kami semua. Sama seperti Lexa, Kak Ferro juga seorang penyanyi. Sering kali mereka berdua tampil dalam satu panggung.
Pagi itupun kami bernyanyi dengan sangat bahagia.
***
Sepulang dari taman, Kak Ferry mengajak gue datang ke rumahnya. Sayangnya, Lexa tidak bisa ikut serta. Kak Ferropun tidak langsung pulang karena dia masih ada latihan dengan band-nya. Kak Ferry mengatakan kalau mamanya sudah merindukan gue. Jadi, bagaimanapun gue harus menemui mamanya, Tante Gita.
Sesampainya kami di rumah Kak Ferry, ternyata gue lihat rumahnya sangat ramai, seperti sedang ada acara di rumah itu.
“Lagi ada acara ya, Kak?” Tanya gue penasaran.
“Iya sayang, teman-teman arisan mama kumpul di sini.” Selanjutnya Kak Ferry menggandeng tangan gue dan mengajak gue masuk. Saat kami memasuki ruang tamu, seluruh pasang mata memandang kami.
“Assalamu’alaikum...” Ucap Kak Ferry. Dipandangi oleh banyak orang begitu membuat gue tidak bisa berucap apapun.
“Wa’alaikumsalam sayang, eh, si cantik akhirnya datang juga.” Tante Gita menghampiri kami. Guepun bergegas menghampirinya.
“Sini, tante kenalin sama teman-teman tante.” Tante Gita mengajak gue ke tempat teman-teman arisannya .
“Ibu-ibu semua, kenalkan, ini calon menantu saya, pacarnya Ferry, namanya Lingga.” Kata Tante Gita memperkenalkan. Guepun hanya bisa tersenyum.
“Lingga ini bukannya pimpinan yayasan di sekolah anak saya ya? Anak saya yang sekolah di SMP Adi Husada.” Ujar salah seorang teman arisan Tante Gita.
“Wah bener? Cocok ya sama Ferry. Ganteng dan cantik juga mereka.” Lagi-lagi gue cuma bisa tersenyum.
“Yaudah, kamu susul Ferry aja gih ke dalam. Nanti tante susul juga.” Ucap Tante Gita kemudian. Gue baru tersadar kalau Kak Ferry sudah pergi. Sial, dia meninggalkan gue. Guepun segera berlari mencari Kak Ferry di dalam rumah.
Tapi karena kurang berhati-hati, tiba-tiba gue menabrak seseorang. BRUK!!! Gue mengaduh, mengusap bahu gue yang terasa sakit karena juga terbentur dinding. “Kak Fandy? Sorry, sorry kak, Lingga gak sengaja.” Ucap gue segera, saat tau orang yang gue tabrak adalah kakaknya Kak Ferry dan Kak Ferro, anak sulung Tante Gita yang hanya berselisih 2 tahun dengan dua adik kembarnya.
“Kamu gapapa?” Tanya Kak Fandy. “Gapapa kak, cuma kebentur dikit barusan.” Jawab gue masih mengusap-usap bahu gue yang masih sakit. “Sakit?” Tanya Kak Fandy lagi. “Mmm gapapa kak, paling ntar lagi udah hilang.” Balas gue tak ingin membuatnya terlalu mengkhawatirkan gue. “Omong-omong, Ferry dimana ya, Kak?” Lanjut gue. “Kayaknya dia lagi di kamar mandi. Lingga tunggu sini aja, kakak bikinin minum dulu.” Ujar Kak Fandy lalu pergi.
Tidak lama kemudian, Kak Ferry menghampiri gue. “Hallo sayang,” sapa Kak Ferry. “Kamu kok ninggalin aku, sih?” Segera saja gue cemberut. “Duh, manja banget sih pacarku ini.” Ucap Kak Ferry tertawa dan mengacak rambut gue. Kemudian dia menyampirkan kedua lengannya di kedua pundak gue. “Kapan ya aku bisa nikahin kamu?” Kak Ferry menatap mata gue penuh makna. Kami saling pandang untuk beberapa lama, sebelum kemudian,
“Ehm, ini minumnya Lingga, kakak taruh sini.” Kak Fandy datang membawa minum untuk gue.
“Oh, iya kak makasih,” balas gue kikuk, tidak nyaman memikirkan Kak Fandy memergoki gue dan Kak Ferry berdua seperti tadi. “Sini kak gabung.” Ajak Kak Ferry. “Nggak dulu Ry, kakak mau ke kamar. Ada kerjaan kantor.” Balas Kak Fandy lalu pergi meninggalkan kami berdua. “Sayang, tunggu sini bentar ya. Aku mau ambil sesuatu buat Luna. Nanti kamu bawa pulang, trus kasih dia ya.” Kata Kak Ferry kemudian berlari ke kamarnya setelah gue mengangguk.
Sambil menunggu Kak Ferry, gue duduk di sofa ruang keluarga di rumah itu. Samar-samar suara teman-teman Tante Gita terdengar dari ruangan itu. Gue memusatkan pendengaran gue pada perbincangan mereka, karena sekelebat gue mendengar nama gue disebut.
“Ferry sama pacarnya serasi banget ya. Udah lama mereka pacarannya, Bu Gita?” Gue mendengar salah seorang bertanya pada Tante Gita. “Belum terlalu lama juga sih Bu, sebenarnya kan Ferry sama Ferro itu suka mainnya sama Luna, Kakaknya Lingga. Tapi kok akhir-akhirnya Ferry dan Ferro ternyata kepincut sama adik-adiknya Luna.” Gue dengar Tante Gita tertawa dan membuat gue juga tersenyum. “Memangnya kalau Ferro kepincut sama siapa, Bu?” Tanya teman Tante Gita yang Lain. “Namanya Lexa, anak bungsunya Bu Hanna.” Jawab Tante Gita. “Wah, dua mantu satu besan ya, Bu.” Yang lain menanggapi sambil tertawa. “Iya Bu, saya kok rasanya sudah sreg banget sama keluarganya Bu Hanna ini.” Balas Tante Gita. “Kenapa gak cepet-cepet dinikahkan aja, Bu?” Tanya yang lain. “Kan masih ada Fandy, Bu. Dia belum punya pacar sampai sekarang. Selain itu Luna juga gitu, belum punya pacar. Rencana saya sih, saya mau menjodohkan Fandy sama Luna.” Menjodohkan Kak Fandy sama Kak Luna? Kenapa gak pernah terpikir sama gue, ya? Kayaknya bakal seru, nih! Tanpa sadar gue tersenyum sendiri.
“Sayang, kamu kenapa senyum-senyum gitu? Dih!” Tiba-tiba Kak Ferry datang dan mengejutkan gue. “Gapapa kok.” Dia mengacak rambut gue. Dia suka melakukan itu, dan gue juga selalu suka saat dia melakukannya.
“Ini sayang, data pembelian bahan mentah cafe Luna ke perusahaanku. Kemaren dia minta. Katanya buat cek pembukuan cafe bulan lalu.” Kak Ferry dan Kak Luna memang sudah lama bekerja sama dalam usaha mereka. “Oke, nanti aku kasih Kak Luna.” Mengingat rencana Tante Gita tadi, membuat gue tersenyum lagi, penuh arti.
***
Gue sedang berada di kantor yayasan siang itu, saat tiba-tiba ibu menelepon gue. “Assalamu’alaikum Bu, ada apa?” Sapa gue sebelum mendengar suara panik ibu. “Lingga, tolongin kakak kamu, Ngga. Para pegawai di cafe Luna tiba-tiba minta berhenti semua dan minta pesangon.” Gue kaget. “Loh, kok bisa gitu, sih? Yaudah Bu, Lingga ke cafe Kak Luna sekarang.” Ucap gue lalu melesat ke parkiran mobil dan menuju ke cafe.
Setelah berlomba dengan para pengemudi lain di jalan, akhirnya gue sampai juga di cafe Kak Luna. Di sana sudah ramai dengan para pegawai Kak Luna yang protes tanpa gue tau apa penyebabnya. Guepun menerobos kerumunan itu dan menemukan Kak Luna dalam pelukan Ibu. Kasihan Kak Luna, dia pasti gak berani menghadapi banyak orang kayak gini.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, semuanya tenang! Tolong salah seorang diantara kalian beri tau saya apa masalahnya!” Ucap gue keras pada mereka semua.
“Begini Mbak, ada banyak protes dari para pengunjung cafe kalau makanan di cafe ini sudah basi dan bahan-bahannya juga busuk. Sebagai karyawan di tempat ini, kami gak mau ambil resiko, Mbak. Kami mau berhenti dan meminta uang pesangon sekarang juga!” Karyawan yang lain turut berteriak dan membuat keadaan semakin rusuh. “Kak, hubungi Ferry sekarang!” Pinta gue sebelum kembali menenangkan para pegawai itu. “Semuanya saya mohon tenang! Apa kalian semua melihat dan menemukan buktinya? Sebagai orang-orang yang juga mengurus cafe ini, seharusnya kalian lebih tau perkataan orang-orang itu benar atau nggak! Dengan kalian melakukan semua ini dan bukannya membantu menyelesaikan masalah cafe ini, justru menunjukkan bahwa kalian semua adalah orang-orang yang tidak memiliki dedikasi dan tidak bisa diandalkan sama sekali!!!” Emosi gue memuncak. Ibu menenangkan gue, dan tepat saat itu gue melihat Kak Ferry datang.
“Ini! Ferry, pemasok bahan-bahan mentah ikan yang bekerja sama dengan cafe ini. Kalian bisa membuktikannya sendiri kalau kalian masih tidak percaya!” Kak Ferry memegang kedua bahu gue, menenangkan. “Semuanya saya harap sekarang bubar. Nanti beberapa orang bisa ikut saya untuk membuktikan kecurigaan kalian.” Semua orangpun bubar setelah mendengar instruksi dari Kak Ferry.
“Nak Ferry, terima kasih sudah datang dan membantu kami.” Ucap ibu tulus pada Kak Ferry. “Gapapa Bu, ini juga tugas saya. Lun, lo gapapa?” Kak Luna menggeleng. Kak Ferry hendak mengajak gue duduk saat gue melihat Kak Fandy berdiri jauh di depan cafe. Guepun berlari menghampirinya, meninggalkan Kak Ferry.
“Kak Fandy! Jadi dari tadi kak Fandy disini? Dan cuma diam aja disini?! Kak Fandy mestinya bantuin Kak Luna dong, Kak!” Kata gue kesal melihat sikap Kak Fandy yang tidak berperikemanusiaan itu.
“Kakak gak bisa melakukan apa yang kakak gak suka.” Kak Fandy membalas singkat. “Maksud kakak apa? Kakak gak suka bantu kak Luna? Kakak gak suka bantu orang yang lagi kesusahan?” Gue benar-benar tidak habis pikir dengan Kak Fandy. “Lingga, andaikan Luna benar-benar terkena musibah, pasti kakak bantu. Apalagi kalau Lingga juga harus kerepotan kayak tadi. Tapi kalo semua masalah ini cuma rekayasa, kakak gak mau melakukan apapun.” Gue sama sekali gak ngerti. “Rekayasa? Kak Luna beneran lagi dapat masalah loh, Kak. Kakak bilang ini rekayasa?” Orang ini kenapa, sih? “Lingga harus ikut kakak kalo Lingga pengen tau apa yang sebenarnya terjadi.” Kak Fandy memberi penawaran. “Oke, tapi Lingga harus izin dulu sam a ibu dan Kak Ferry.” Ujar gue kemudian. “Biar kakak yang minta izin sama mereka.” Kamipun menuju cafe.
“Eh, ada nak Fandy, udah lama, nak? Ayo masuk.” Sapa ibu saat melihat Kak Fandy. “Sebenarnya saya lagi ada urusan Bu sama Lingga. Boleh saya ajak Lingga keluar? Ry, kakak boleh kan ajak Lingga keluar sebentar?” Kak Fandy bertanya. “Boleh lah, Kak. Sayang, nanti kalo udah selesai kabari aku ya.” Ucap Kak Ferry sambil mengacak rambut gue. Gue mengangguk. “Yaudah kalo gitu hati-hati, ya. Ibu masih mau beresin urusan Luna dulu.” Gue dan Kak Fandypun berpamitan, lalu pergi.
***
Di mobil, gue tidak bisa menahan diri gue untuk tidak bertanya, “Kakak mau bawa Lingga kemana?” Sambil menyetir Kak Fandy menjawab, “Ke tempat favorite kakak,” guepun tidak berbicara lagi sampai kami tiba di kampus tempat Kak Fandy mengajar. Gue sempat mendengar kalau Kak Fandy juga menjabat sebagai ketua dekan di satu fakultas kampus itu. Setelah turun dari mobil, Kak Fandy mengajak gue memasuki sebuah gedung yang gue pastikan adalah gedung rektorat, salah satu kantor tempat Kak Fandy bekerja selain di gedung akademik tentunya. Lalu kami menaiki lift, menuju lantai paling atas dan menuju roof top.
“Ini tempat favorite Kakak?” Tanya gue sambil memperhatikan sekeliling. Dari tempat itu, gue bisa melihat pemandangan seantero kampus. Sepertinya, gak banyak yang mengunjungi tempat ini, karena gak banyak barang yang ada disini, cuma satu meja dosen dan dua kursi mahasiswa. Tapi, tiga benda itu jelas bukan barang bekas. Barang-barang itu masih sangat bagus. Tempat ini juga sangat bersih.
“Duduk sini. Kakak akan ceritakan semuanya ke Lingga disini.” Kak Fandy mempersilahkan gue duduk di salah satu kursi. Dengan begitu, gue bisa melihat pemandangan kampus dengan lebih santai. Kak Fandy meletakkan kursi lainnya di samping gue dan mendudukinya.
“Kakak selalu kesini tiap kakak galau. Gak ada yang diperbolehkan kesini. Kakak meminta seorang OB untuk menjaga dan berusaha melarang siapapun untuk kesini.” Penjelasan Kak Fandy menjawab semua keheranan gue tentang tempat ini.
“Lingga, soal rekayasa yang kakak bilang tadi, itu semua bukan murni dari komplain pengunjung cafe. Para karyawan itu dibayar untuk melakukan protes dan membuat Luna dalam masalah.” Kak Fandy membuka pembahasan tentang masalah Kak Luna. “Kenapa kakak bisa ngomong gitu?” Tanya gue bingung. “Karena kakak tau yang sebenarnya. Yang membayar para karyawan itu mama! Kakak dengar waktu mama menelepon salah satu karyawan Luna dan mengatakan semua rencananya. Mama melakukan semua itu untuk menjodohkan kakak dengan Luna. Dan tadi waktu kakak mau berangkat ke kampus, mama menyuruh kakak ke cafenya Luna karena ada masalah. Padahal kakak tau, baik Ibu Hanna ataupun Luna gak ada yang memberi tau mama kalo di cafe lagi ada masalah. Mama bahkan menyuruh kakak bawa sejumlah uang karena mama tau masalahnya adalah para karyawan itu meminta pesangon. Tapi kakak bersyukur mama keliru. Bukan uang ini yang menyelesaikan masalah Luna. Tapi kedatangan Lingga dan Ferry yang membungkam para karyawan itu.” Gue mulai memahami apa yang terjadi sebenarnya.
“Tante Gita, sejauh itu?” Gue tau kalau Tante Gita mau menjodohkan mereka berdua. Tapi rekayasa masalah cafe, ini menurut gue terlalu jauh. “Terus, kalo kakak udah tau semua ini, kenapa kakak gak bongkar aja rencana Tante Gita?” Lanjut gue masih tidak mengerti. “Karena sekalipun kakak tidak pernah mau melakukan apa yang kakak gak suka, kakak selalu kesulitan untuk mengatakan apa yang kakak rasakan.” Kontan gue tertawa, benar-benar tidak habis pikir. Kak Fandy mirip banget sama Kak Luna.
“Seorang ketua dekan gak bisa mengungkapkan apa yang dirasakan? Terus, selama ini kalo pak dekan ini ngasih sambutan gimana? Kakak bercanda?” Gue masih gak bisa percaya.
“Ya, itu beda lagi lah, Lingga.” Balas Kak Fandy yang tanpa gue sangka, menjitak kepala gue!
“Kak! Kok Lingga dijitak, sih?!” Protes gue dengan ketidakpercayaan yang bertambah.
“Suruh siapa melontarkan pertanyaan konyol?” Balas Kak Fandy tertawa. Gue semakin tercekat. Ini kali pertama gue melihat dia tertawa lepas begini. Gue benar-benar terpukau dengan tawa Kak Fandy.
“Hey! Lingga kenapa?” Kak Fandy mengagetkan gue.
“Eh, gapapa kok. Oh iya, emangnya kakak gak mau dijodohin sama Kak Luna?” Tanya gue kemudian, setelah mampu beralih dari tawa Kak Fandy dan fokus pada masalah Kak Luna.
“Nggak, kakak gak mau, karena kakak udah lebih dulu menyukai seseorang.” Sekali lagi fakta tentang Kak Fandy mengagetkan gue.
“Dan orang itu adalah, Lingga.” Kalimat terakhir Kak Fandy terdengar seperti petir di telinga gue. Gue berharap ini lelucon. Tapi yang tampak di wajah Kak Fandy hanya keseriusan. Gue gak bisa lagi berkata apa-apa. Kak Fandy terlalu mengejutkan gue.
“Sekian lama perasaan itu kakak pendam, dan semakin kakak tutup rapat saat ternyata Lingga berpacaran dengan Ferry, adik kakak sendiri. Sekarang, kakak sudah ungkapkan ini sama Lingga. Bukannya kakak mau merusak hubungan kalian, kakak cuma mengungkapkan apa yang selama ini cuma bisa kakak simpan sendirian.” Cukup, gue gak mau dengar apapun lagi dari Kak Fandy. Guepun berdiri.
“Lingga mau pulang.” Ucap gue datar,
“Kakak antar.” Kak Fandy lalu berdiri dan kamipun pulang. Gue gak ngerti kenapa semuanya jadi rumit begini. Kenapa gue harus dihadapkan dengan situasi seperti ini? Gue harus bagaimana sekarang? Gue harus ngadu ke siapa?! Kak Ferry, Ibu, gak mungkin!
“Kak Fandy jahat!” ucap gue saat kami di dalam mobil. Air mata gue menumpuk di pelupuk mata.
“Lingga, gak ada yang menginginkan situasi seperti ini. Kakak...” tiba-tiba Kak Fandy menepikan mobilnya setelah melihat air mata gue luruh.
“Hey, kenapa Lingga nangis?” Kak Fandy tampak panik. Dia memutar tubuh gue agar menghadap ke arahnya.
“Kakak masih tanya kenapa Lingga nangis? Lingga sedih! Lingga sedih memikirkan hubungan Lingga sama Ferry ternyata udah bikin Kak Fandy terluka! Lingga sedih memikirkan hubungan kami malah merenggangkan hubungan persaudaraan Kak Fandy sama Ferry! Lingga sedih memikirkan hubungan kami sekarang terancam... Lingga sayang banget sama Ferry, Kak. Lingga gak mau berpisah sama Ferry...” Gue semakin terisak. Kak Fandy mengusap air mata gue.
“Kakak sama sekali gak berniat memisahkan kalian~”
“Bohong! Kak Fandy gak akan ngungkapin perasaan kakak ke Lingga kalau kakak gak pengen Lingga sama Ferry berpisah! Lingga udah bahagia sama Ferry, Kak, dan sikap Kak Fandy ini gak adil sama kami!” Kesedihan dan amarah yang bercampur membuat perasaan gue kacau dan sesak. Gue marah, amat sangat marah pada Kak Fandy.
“Gak adil? Menurut Lingga ini gak adil? Terus kalau kakak memang mencintai Lingga tapi ternyata Lingga udah lebih dulu bersama adik kakak sendiri, apa ini adil buat kakak? Sedangkan selama ini kakak cuma bisa diam! Kakak harus memendam ini sendirian!” Air mata gue semakin deras. Situasi ini begitu rumit. Apa yang harus gue lakukan sekarang?
“Tapi kakak sama sekali gak berniat buat menyakiti hati Lingga. Kakak cuma pengen Lingga tau isi hati kakak. Lingga boleh gak menghiraukan kakak dan tetap bersama Ferry, karena bagi kakak sekarang, cinta bukan paksaan. Asal orang yang kakak sayangi bahagia, kakak pasti juga bahagia. Yaudah, kita pulang sekarang.” Ingin rasanya gue menjerit sekencang-kencangnya. Gue kalut. Air mata gue gak berhenti mengalir. Satu sisi, gue sangat mencintai Kak Ferry. Di sisi lain, ada Kak Fandy yang terluka dengan hal itu. Cinta gue, udah membuat orang lain terpuruk, sendirian.
***
Saat gue sampai di rumah, keadannya sepi. Sama seperti hati gue yang tiba-tiba saja terasa kosong. Tapi saat gue berjalan ke arah kamar, sekelebat gue mendengar suara Lexa di, kamar Kak Luna? Apa yang dia lakukan disana?
“Kak Luna gimana, sih? Bisa-bisanya ngelakuin ini semua! Kalau sampai Kak Lingga tau, Kak Luna bakal dalam masalah, tau gak?!” Kok Lexa menyebut-nyebut nama gue?
“Kakak gak tau harus gimana lagi, Lexa.” Suara Kak Luna yang gue dengar terakhir sebelum gue membuka pintu kamarnya. Perlahan gue melangkah mendekati tempat tidur Kak Luna. Seketika gue tercekat. Tempat tidurnya, penuh dengan foto Kak Ferry!!! Bukan, bukan hanya Kak Ferry, tapi juga Kak Luna. Ranjang itu penuh dengan foto Kak Luna dan Kak Ferry. Saat itu, gue hanya mampu mematung.
“Kak Lingga... ini mungkin Kak Luna cuma~”
“Kakak suka sama Ferry, Lingga. Dari dulu, sejak kami suka main bareng.” Dengan lirih tapi jelas, Kak Luna mengungkapkan perasaannya yang membuat gue seakan dihantam puluhan palu. Apa lagi ini, Tuhan?! Seketika air mata gue luruh, lagi. Gue menangis, dalam diam.
“Kak, Kak Lingga, kita bicarain ini semua baik-baik ya,” Lexa menghampiri dan mencoba menenangkan gue.
“Loh, kok kumpul disini semua? Ada apa?” Suara Ibu, yang mungkin sebelumnya telah mencari kami.
“Luna, ini ada ap...” Ibu menghentikan kalimatnya saat melihat foto-foto yang berserakan. Mulai mengerti yang terjadi saat menatap gue yang diam dan menangis. Gue berbalik, berjalan lurus kearah kamar gue, saat gue mendengar, “Lingga gak bisa menyalahkan kakak! Gak bisa menyalahkan siapapun! Karena kenyataannya kakak yang lebih dulu mencintai Ferry! Sayangnya kakak selalu gak seberuntung Lingga yang bisa mendapaptkan apapun yang Lingga mau!” Teriakan Kak Luna membuat gue terpukul. Kak Luna gak pernah berteriak. Sekarang, untuk masalah Kak Ferry, Kak Luna berteriak pada gue.
Gue langsung membanting pintu kamar gue dan menguncinya. Gue menangis sejadi-jadinya. Apa yang sudah terjadi?! Kenapa semua orang berubah menjadi jahat pada gue?! Kenapa mereka semua ingin memisahkan gue dan Kak Ferry?! Ini semua tidak adil!!! Tuhan, apa ini yang juga dirasakan Kak Fandy dan Kak Luna sebelumnya? Kenapa rasanya sesakit ini?
***
Sudah berhari-hari gue mengurung diri di dalam kamar. Gue sudah tidak peduli lagi terhadap yayasan ataupun Kak Ferry. Gue sama sekali tidak mampu lagi untuk memikirkan apapun. Tapi pagi itu gue membiarkan pintu kamar gue tidak terkunci. Dan benar saja, Ibu segera masuk ke kamar gue.
“Lingga keluar, ya, di depan sudah ada yang tunggu Lingga.” Kata Ibu seraya menyisir rambut gue yang sebenarnya sudah gue sisir sebelumnya. Guepun mengangguk dan mengikuti langkah ibu. Ternyata semuanya sudah berkumpul di ruang tamu. Lexa, Kak Luna, Kak Ferro, Kak Fandy, dan Kak Ferry. Kak Ferry menggenggam tangan gue dan berniat menarik gue duduk di sampingnya. Tapi gue melepaskan tangannya. Gue memilih duduk sendirian. Setelah itu, Ibu meninggalkan kami semua.
“Alhamdulillah, kondisi Lingga udah baikan ya sekarang.” Kak Ferro membuka percakapan. Gue hanya tersenyum kecil. Tentu hanya Kak Ferro dan Lexa yang bisa menengahi konflik diantara kami semua saat ini.
“Lexa gak mau basa-basi. Sekarang Lexa pengen siapapun yang pengen ngomong diantara kalian semua, bicarain disini sekarang.” Adik gue itu memang pintar sekali bicara.
“Gue, gue cuma pengen tau. Sejak kapan lo suka sama gue, Lun?” Gue memandang Kak Ferry. Dia sudah tau tentang Kak Luna dan mungkin juga semua orang.
“Sejak gue sering main sama lo sama Ferro juga.” Jawab Kak Luna lirih.
“Serius lo selama itu, Lun?” Kak Ferro sedikit tidak percaya. Kak Luna hanya mengangguk.
“Kenapa lo gak pernah ngomong sekalipun tentang ini?” Satu pertanyaan Kak Ferry membuat semua mata memandangnya.
“Gue gak akan pernah bisa melakukan itu, Ry! Lo tau sendiri!” Gue bergantian menatap mereka tajam. Apa maksud Kak Ferry bertanya begitu? Apa kalau Kak Luna mengatakan semuanya Kak Ferry akan menyukai Kak Luna dan bukan gue?!
“Ehm, apa Kak Ferry dan Kak Luna butuh waktu berdua?” Tiba-tiba Lexa bertanya.
“Kayaknya kakak yang butuh waktu berdua sama Lingga. Ayo, Lingga ikut kakak sebentar.” Kak Fandy berdiri dan mengajak gue keluar. Gue sama sekali tidak bisa memikirkan apapun lagi. Segalanya terlalu rumit untuk gue pahami. Kak Fandy mengajak dan menuntun gue ke kursi di halaman samping rumah. Kamipun duduk disana.
“Gak perlu memikirkan apapun, Lingga. Apa yang Lingga rasakan sekarang, curahkan semuanya sama kakak. Lingga juga bisa nangis sekarang disini, ada kakak.”
Gue menggeleng. “Lingga gak tau, Lingga bingung. Lingga sayang banget sama Ferry. Lingga gak mau pisah sama Ferry. Tapi, sekarang Lingga jadi ragu, apa Ferry juga sesayang itu sama Lingga? Gimana kalau nanti Ferry sama Kak Luna? Gimana dengan Lingga? Gimana nasib Lingga?!” Tangis guepun pecah. Membayangkan itu semua membuat hati gue sangat perih, hati gue sangat sakit. Gue terisak, Kak Fandy menarik gue kedalam peluknya. Kepala gue rasanya juga sakit memikirkan Kak Ferry dan Kak Luna.
“Lingga, dengerin Kak Fandy. Apapun yang terjadi, Lingga gak akan pernah sendirian. Kak Fandy disini. Kakak akan selalu ada buat Lingga. Lingga tau itu, kan? Terserah Lingga mau anggap kakak apa. Yang penting Lingga gak terus-terusan kayak gini. Sekarang, Lingga punya Kak Fandy. Lingga bisa menceritakan apapun sama Kak Fandy. Kakak juga akan melakukan apapun yang Lingga mau.” Sejenak perasaan gue menghangat. Tapi kemudian kembali menggigil saat menyadari bahwa yang mengatakan itu semua adalah Kak Fandy bukannya Kak Ferry.
***
Ditengah kacaunya hubungan gue dan Kak Luna juga Kak Ferry, Ibu dan Tante Gita justru menyuruh kami berenam untuk pergi ke sebuah villa untuk berlibur. Kata mereka, sejuknya pegunungan akan bisa mendinginkan hati dan pikiran kami. Kamipun menurut saja.
Pegunungan tempat villa itu memang sangat indah. Gue sedang duduk di gazebo di belakang villa saat seseorang menghampiri gue, Kak Ferry! “Hai, apa kabar?” Dia tersenyum.
“Bisa kamu liat sendiri keadaanku gimana.” Jawab gue datar.
Dia menghela napas. “Kak Ferry sayang sama Kak Fandy. Dan Kak Fandy juga bukan orang jahat. Kak Ferry yakin Kak Fandy bisa menjaga Lingga dengan baik.” Seketika gue menatapnya. Kak Ferry-Lingga? Gak ada lagi aku-kamu! Kak Ferry, dia berubah menjadi dia yang dulu, sebelum kami berpacaran. Dia sudah tidak menganggap gue pacarnya lagi! Perlahan air mata gue jatuh.
“Kak Ferry minta maaf. Sekian lama Kak Ferry bersahabat dengan Luna, baru kali ini kakak lihat Luna menderita. Dan kakak gak pernah bisa lihat Luna sedih. Apalagi sekarang kesedihannya gara-gara Kak Ferry. Kak Ferry sadar, kakak sayang sama Lingga, sebagai adik. Kakak selalu pengen melindungi Lingga, karena Lingga itu lucu, terlalu berani, dan suka sok dewasa. Tapi kakak cuma mencintai Luna.” Gue terisak.
“Udah, Lingga ngerti, Kak. Lingga mau pergi.” Masih dengan air mata, gue bergegas berlari pergi. Secepat ini semuanya berubah. Haruskah gue mengumpat takdir? Gue memperlambat langkah gue saat melihatnya.
“Kak Fandy...” Dia berbalik, berpaling dari penjaga villa yang kemudian pamit pergi.
“Lingga, ada apa?” Sorot mata kekhawatiran tertangkap mata gue.
“Lingga...” Gue gak mampu berkata apa-apa. Selanjutnya Kak Fandy mengajak gue duduk di atas rumput dan memeluk gue.
“Kak, Lingga pengen egois. Lingga pengen tetap memiliki Kak Ferry. Lingga pengen gak memperdulikan Kak Luna. Lingga pengen Kak Luna pergi aja!” gue benar-benar ingin menjadi orang jahat kali ini. Gue ingin marah! Marah pada orang-orang yang membuat Kak Ferry berubah! Gue terisak, lagi.
“Hey, Lingga. Andai Kak Fandy juga boleh egois, sejak dulu kakak gak akan membiarkan Lingga sama Ferry bersatu. Tapi cinta gak kayak gitu. Asal lihat orang yang kakak cintai bahagia, itu udah cukup. Lingga juga mestinya mengikhlaskan Ferry. Kakak tanya, deh. Lingga percaya sama Kak Fandy?” gue menatapnya, menunggu penjelasan selanjutnya.
“Kalau Lingga percaya sama kakak, Lingga lupain semua ini. Yang harus Lingga ingat hanyalah, Lingga masih punya hari esok. Kalau hari ini Lingga kecewa, bukan berarti semua orang jahat. Tiap orang punya kebahagiannya sendiri-sendiri. Lingga juga pasti memiliki kebahagiaan yang lain. Cuma tergantung Lingga mau jemput itu atau nggak.” Gue terus menatap mata Kak Fandy, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan segalanya. Tapi yang gue lihat hanya sebuah sorot ketulusan.
“Kakak gak akan ngomong apa-apa lagi. Kakak gak akan melakukan apapun lagi. Kakak hanya akan melakukan sesautu yang Lingga minta. Kakak gak~” kontan gue memeluknya. Sejenak gue merasa dia gelagapan. Tapi kemudian dia balas memeluk gue, erat. Dan, gue sudah menemukannya, ketenangan dalam pelukan, pelukan Kak Fandy.
***
ns13.59.149.79da2