Chapter 2. Keluarga yang harmonis yang terpenting buat aku
Pagi ini matahari seolah enggan bangun dari tidurnya. Ia muncul dengan perlahan dari balik awan, seperti orang tua yang baru saja terbangun dan masih malas bergerak. Cahayanya belum benar-benar hangat, hanya semburat lembut yang menyapu langit, mewarnainya dengan oranye pucat. Seakan malam belum rela pergi, dan pagi pun belum yakin ingin datang sepenuhnya. Langit tampak seperti memeluk sisa gelap semalam, menyimpannya erat-erat di balik warna lembut fajar.
Udara pagi menyelinap masuk lewat celah-celah jendela, membawa aroma tanah yang masih basah oleh embun. Segarnya menusuk lembut ke kulit, seperti sentuhan tangan ibu yang menenangkan anak kecil dari mimpi buruk. Suasana begitu hening, begitu damai, namun ada sesuatu yang bergerak di dalam dada—sebuah rasa yang sulit dijelaskan.
Sudah cukup lama aku bangun, bahkan sebelum sinar pertama muncul di ufuk timur. Subuh masih menggantung di udara ketika aku melipat sajadah. Doa-doa mengalir lirih dari bibirku, seperti aliran air jernih dari mata air yang dalam. Di balik dinding rumah, aku mendengar langkah suamiku, Arman, yang baru pulang dari masjid. Langkahnya tenang, ritmis. Seolah pagi ini pun tahu betapa damainya hati seorang lelaki yang baru saja menuntaskan dialognya dengan Sang Pencipta.
"Assalamu’alaikum," sapanya singkat begitu pintu dibuka.
Aku menoleh dan tersenyum, “Wa’alaikumussalam, Mas.”
Wajahnya segar, meski bayang kantuk masih membayang samar di matanya. Baju koko putihnya sedikit lembap oleh air wudhu. Ia meletakkan sajadah di rak dan langsung menuju teras untuk memulai olahraga ringan seperti biasanya. Lima kali push-up, beberapa tarikan nafas panjang, lalu peregangan perlahan. Aku mengamati dari balik jendela dapur, jemariku sibuk menyeduh teh hangat. Ada kedamaian tersendiri dalam melihatnya—dalam cara ia menyatu dengan pagi yang belum bising.
Tiba-tiba suara kecil yang nyaris seperti bisikan memecah keheningan, “Mami…”
Aku menoleh. Dari kamar, Nadin, si kecil kami yang baru dua tahun, berdiri di pinggir ranjang dengan mata setengah terbuka. Tangan mungilnya mengusap kelopak mata, rambutnya kusut seperti rerumputan pagi yang baru saja diganggu embun.
Aku menghampirinya dan mengangkat tubuh ringkih itu ke pelukanku. “Selamat pagi, sayang,” bisikku di telinganya, dan ia hanya mengangguk, seolah dunia masih terlalu asing untuk dijelajahi tanpa pelukanku.
Sementara itu, Nabila, kakaknya yang berusia empat tahun, sudah rapi dalam balutan seragam kecil berwarna hijau muda. Rambutnya yang bergelombang kuikat dengan pita warna senada. Ia duduk di ruang tengah, memeluk tas bergambar putri duyung—kebanggaannya setiap hari.
"Papi, jangan lupa... beli roti di depan PAUD ya," katanya ceria saat melihat ayahnya keluar dari kamar dan mengenakan sepatu dinas.
Arman tertawa kecil, lalu mengangguk. “Iya, tapi janji habisin bekalnya dulu.”
Kami berempat naik sepeda motor bersama yang dikendarai oleh Arman suamiku. Nabila duduk di depan. Aku duduk membonceng dibelakang Arman dan memanggku Nadin. Gendongan khusus yang kupakai—semacam carrier anak—cukup membantu menahan tubuh mungilnya agar tetap aman selama perjalanan. Ada perasaan haru yang menjalari dada setiap kali kami berempat berjalan bersama dengan sepeda motor.
Kami akan menitipkan Nadin di rumah mertuaku dan kebetulan PAUD Nabila cukup dekat dari rumah mertuaku, dan setiap pulang sekolah PAUD, ibu Rahma mertuaku yang pensiunan PNS itu akan menjemput Nabila untuk sama-sama bersama Nadin menantikan aku pulang mengajar di madrasah.
Pukul 13.30, ketika matahari mulai panas, bel pulang berbunyi. Berbeda dengan pekerja kantoran yang masih terjebak rutinitas sampai sore, kami para guru madrasah sudah bisa mengakhiri aktivitas. Aku siap menuju rumah mertua untuk menjemput kedua buah hatiku.
Sepeda motor ojek online yang aku tumpangi melaju pelan di jalanan. Udara siang itu hangat, dan cahaya matahari menari-nari di permukaan dedaunan yang bergoyang ditiup angin. Ujung jilbabku berkibar pelan ditiup angin. Perjalanan dari madrasah ke rumah mertuaku sebenarnya tidak jauh, tapi suasananya selalu menyenangkan. Pohon-pohon besar menaungi sebagian jalan, menciptakan bayangan yang sejuk.
Sesampainya di rumah mertua, aku yang baru turun dari ojek itu belum sempat membuka pintu pagar langsung disambut dua sosok kecil berlari keluar rumah.
"Nabila, Nadin!" seruku pelan.
Anak-anakku menyambut kedatanganku dengan senang. Seperti biasa, mereka selalu lincah dan penuh semangat.
"Mi, lihat! Nabila dapet bintang hari ini!" katanya sambil menunjuk stiker kecil berwarna emas yang menempel di dada seragamnya. Wajahnya bersinar penuh kebanggaan. "Nabila udah bisa wudhu sendiri!" lanjutnya dengan suara lantang, matanya berbinar.
Sementara Nadin mengoceh dengan omongan khas balitanya yang lucu. Aku segera turun dari motor dan berjalan menuju beranda, kuusap kepala Nabila dan Nadin dengan penuh sayang.
"Hebat, Kakak! Umi bangga banget," ucapku sambil tersenyum.
Dari arah dapur, terdengar suara sendok beradu dengan panci, diiringi aroma harum yang langsung menggugah selera.
"Nak, makan siang di sini aja, ya. Ibu sudah masak sop kesukaanmu," kata mertuaku sambil tersenyum hangat. Ia menyeka tangannya dengan lap kain sebelum mendekat ke kami.
Aku membalas senyumnya, merasa tenang. Rumah ini selalu terasa hangat, tak peduli seberapa lelah hariku.
Sementara itu, Nabila terus bercerita tentang kegiatannnya di PAUD menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana ia mengambil air wudhu, membasuh tangan, berkumur, hingga menyapu kaki.
"Terus ustazah bilang, kalau kita wudhu yang benar, nanti malaikat suka!" katanya dengan ekspresi serius.
Aku dan ibu mertua saling pandang lalu tertawa kecil.
"Ya, benar itu," kataku sambil duduk di sampingnya. "Kakak memang anak salehah."
Tak lama, semangkuk besar sop ayam hangat diletakkan di atas meja. Uapnya mengepul, aroma rempah dan daun seledri langsung menguar memenuhi ruangan. Aku mencicipi kuahnya sedikit—pas, gurih dan mengingatkanku pada masa kecil.
Sambil menyendok sop untuk Nabila dan Nadin, hatiku terasa penuh. Momen-momen kecil seperti ini—perjalanan pulang dengan anak-anak, sambutan hangat, makanan rumahan, tawa keluarga—adalah bagian dari kehidupan yang sering terlewat, tapi justru menjadi kenangan paling abadi.
Dan hari itu, di rumah mertua yang sederhana, aku merasa kaya. Bukan oleh harta, tapi oleh cinta yang tulus dan kehangatan keluarga.
***
Usai dari rumah mertua kami sampai di rumahku, aku menarik napas dalam. Inilah komposisi sempurna yang tak tertulis di buku teori manapun - antara mengabdi untuk ummat dan mengasuh generasi penerus. Antara menjadi pendidik dan tetap menjadi murid dalam sekolah kehidupan. Dan esok, ketika matahari terbit lagi, kami akan menari dalam irama yang sama - penuh warna, kadang sumbang, tapi selalu indah dalam ketidaksempurnaannya.
Inilah rutinitas kami. Sederhana, penuh warna, dan sarat makna. Seperti lukisan kaligrafi yang tak sempurna tapi justru mengandung keindahan yang tak terduga.
Langit sudah gelap gulita ketika lampu depan motor matik Arman menyinari pekarangan rumah. Aku yang sedang duduk di ruang tamu sambil menemani Nabil menggambar segera berdiri, merapikan sedikit rambut yang terurai di bahu. Suara mesin motor metik yang kemudain terdengar dimatikan, lalu langkah kaki berat yang mendekat, membuat Nadin yang sedang asyik bermain boneka di lantai langsung berlari ke teras.
"Ayah pulang!" teriaknya riang, tangan mungilnya sudah terbuka lebar untuk dipeluk.
Momen seperti itu adalah hal sederhana tapi itulah yang aku sukai. Keluarga harmonis adalah hal yang terpenting buat aku.
4205Please respect copyright.PENANAhdsQmJefdi
Bersambung
ns216.73.216.82da2