
Chapter 1. Obrolan ibu-ibu Ustadzah
Namaku Nasyila Arafah. Usiaku 29 tahun dan sudah menikah dengan Arman 36 tahun. Aku seorang ustadzah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Sedang Arman adalah seorang PNS di sebuah instansi. Setiap hari, saat waktu istirahat tiba di Madrasah Ibtidaiyah Al-Hikmah tempatku mengajar, aku selalu duduk di sudut ruangan sambil menikmati teh hangat dan bekal makan siang. Tapi belakangan ini, ada satu hal yang membuatku seringkali tersipu atau pura-pura asyik dengan ponsel. Tak lain adalah percakapan para ustadzah yang terkadang membuat aku sangat risih mendengarnya.
Awalnya, topiknya biasa saja—tentang rumah tangga, anak-anak, atau resep masakan. Namun, lama-kelamaan, terutama jika Ustadzah Mira yang memulai, obrolan bisa berbelok ke arah yang sangat terbuka.
Ustadzah Mira, wanita berhijab syari berusia 43 tahun dengan senyum manis tapi omongannya sangat vulgar. Dia adalah rekan kerjaku sesama pengajar yang paling sering bercerita yang nyerempet-nyerempet. Suatu hari, dengan santainya dia berkata, "Alhamdulillah, semalam suamiku kuat banget. Aku bisa nyampe berkali-kali!"
“Berkali-kali, banyak banget berapa kali tuh?’ Tanya ustadzah Ulfa.
Ustadzah berusia 33 berwajah ayu itu seperti berusaha memancing Ustadzah Mira agar bicara lebih vulgar lagi..
“Lupa saking banyaknya.” Sahut Ustadzah Mira sambil menahan tawa.
“Pasti sampe kelojotan habis itu lemes deh.” Sambung ustadzah Ulfa.
Aku yang sedang minum teh nyaris tersedak. Nyampe berkali-kali? Apa pula itu? pikirku bingung. Tapi sebelum aku bisa mencerna, Ustadzah Dewi langsung menyambung dengan ceritanya yang tak kalah vulgar.
Ustadzah yang usianya seumuran dengan ustadzah Mira ternyata tak kalah vulgar. "Aku juga kalau puas sampe kelojotan. Terus sampe keluar banyak loh," katanya sambil tersenyum puas.
Aku semakin bingung. Keluar banyak? Keluar apa? Yang aku tahu saat berhubungan dengan suami yang keluar itu suami saat selesai. Atau… ada yang lain?
Aku ingin bertanya, tapi rasa malu dan takut dianggap kurang ilmu membuatku hanya bisa diam, sambil berusaha pura-pura tidak mendengar. Seperti itulah obrolan teman-teman sesama ustadzah di tempat aku mengajar. Untungnya obrolan semacam itu hanya antar ibu-ibu saja. Kalau ada Ustadz atau lelaki lain di ruang guru Madrasah Al Hikmah ini mereka tidak pernah membahas hal seperti itu secara vulgar.
***
Sampai saat ini aku masih penasaran dengan kata-kata ustadzah Mira dan ustadzah Dewi. Nyampe berkali-kali? Keluar sampai lemas? Dan beragam pertanyaan-pertanyaan seputar hubungan suami istri yang muncul dikepalaku tidak pernah berani aku ungkapkan. Karena aku malu sekaligus merasa kurang sopan membahas hal itu.
Setelah sekian lama memendan tanya dan rasa penasaran akhirnya pertanyaanku terwakili oleh Ustadzah Rini, yang baru menikah tiga bulan lalu. Dengan wajah polos ustadzah berusia 27 tahun itu bertanya, "Maksudnya nyampe saat hubungan dengan suami itu gimana sih Ustadzah Mira? Dan 'keluar' itu apa?"
Ustadzah Mira dan Ustadzah Dewi saling pandang, lalu tertawa. "Wah, kamu wajar belum ngerti karena masih penganten baru. Nanti juga paham sendiri, yang penting suaminya pinter dan mampu bikin kamu nyampe dan keluar." kata ustadzah Mira sambil tertawa kecil.
Tapi ustadzah Rini tak menyerah. "Aku beneran nggak ngerti dan pengen tahu. Ajarin dong!"
Ustadzah Dewi akhirnya menjelaskan dengan sedikit lebih halus, "Itu maksudnya gini saat kita sedang hubungan kalau lelakinya kuat dan peduli dengan istrinya dia bisa bikin istrinya itu dapat kenikmatannya juga. Sampai puncak hingga kita sebagai wanita merasa melayang dan bahkan sampai menjerit karena nikmat. Kebanyakan lelaki hanya peduli kepuasannya doang. Atau dia emang gak kuat jadi dia keluar dan si istri gak sampai puncak dan gak nyampe. Jadi istri juga kalau puas bisa keluar bukan hanya suami saja. Terus kalau 'keluar' ya kadang kala ada cairan yang keluar saat wanita mencapai puncak."
Ustadzah Mira juga ikuit menambahkan penjelasan. Dengan suara lebih rendah, dia menjelaskan, "Itu maksudnya… sampai istri dapat kenikmatannya juga. Bukan hanya suami yang merasakan kepuasan, tapi kita sebagai wanita juga bisa mencapai puncak. Rasanya seperti… melayang, seluruh tubuh bergetar, kadang sampai menjerit karena nikmatnya. Kalau 'keluar' itu… ada cairan yang keluar saat kita benar-benar terangsang dan mencapai puncak."
Aku diam, karena aku tidak pernah mengalami seperti itu dan tidak mengerti kenapa aku tidak mengalaminya. Tapi aku mencoba mengusir rasa penasaran di kepalaku dengan menganggap hal itu tidak penting. Karena bagi aku yang paling penting suami sayang padaku dan anak-anak terus aku merasakan kenyamanan saat bercinta dengan suami. Itu saja sudah membuat aku bahagia. Aku berpikir bahwa hubungan suami-istri hanya tentang kewajiban istri untuk menyenangkan suami. Kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah lebih penting daripada memikirkan kepuasaan seperti yang diceritakan rekan-rekan kerjaku.
****
Setiap kali mendengar obrolan bernuansa sex di ruang guru Madrasah, aku selalu merasa seperti berada di antara dua dunia. Di satu sisi, aku adalah seorang guru yang seharusnya menjaga etika dan kesopanan. Di sisi lain, obrolan rekan-rekan ustadzah—terutama Ustadzah Mira dan Dewi—seringkali membuatku merasakan mendengar hal-hal yang tabu dan tidak pantas.
Hari ini, topik mereka bahkan lebih mengejutkan dari biasanya.
"Kalian udah tahu tidak kenapa Ningsih mengundurkan diri dari sini?"
Ustadzah Mira membuka percakapan dengan kalimat itu sambil menyuap nasi dari kotak makanannya.
Aku mengangkat kepala. Ningsih? Oh, Ningsih—mantan tenaga honorer administrasi di Madrasah ini. Aku ingat dia gadis pendiam, selalu memakai jilbab rapi, dan jarang bergabung dalam obrolan rekan-rekan guru.
“Gak tahu emang kenapa dia? Udah dapat kerjaan yang lebih baik kah?” Tanya Ustadzah Dewi.
"Bukan, denger-denger katanya mau nikah," sahut Ustadzah Mira, matanya berbinar seperti sedang membahas sinetron favoritnya.
“Wah kok aku gak tahu kabar itu?” Sahut Ustadzah Ulfa.
Ustadzah Dewi langsung menambahkan gosip itu dengan suara berbisik, tapi masih cukup keras untuk didengar semua orang di ruangan itu. "Katanya sih, calon suaminya itu… orang Arab. Kalian pasti ngerti kan orang Arab itu rata-rata ukurannya gede dan staminanya kuat!"
Aku nyaris tersedak air mineral yang sedang kuminum. Apa-apaan ini?
Ustadzah Dewi tertawa geli. "Wah, Ningsih bakal melepas perawan dengan punya orang Arab yang gede nih. Bayangin, ukuran gede, stamina tinggi… bisa-bisa besoknya dia nggak bisa jalan!"
Ustadzah Mira menimpali, "Tapi kan enak, ya dapat yang gede dan staminanya kuat? Daripada nikah sama yang anunya kecil terus staminanya gak nyampe lima menit udah loyo gak bisa bangun lagi."
Mereka tertawa cekikikan. Aku memandang mereka dengan mata membelalak. Obrolan kayak gini beneran dibicarakan di ruang guru madrasah?
Tapi, seperti biasa, tak seorang pun protes. Beberapa ustadzah lain malah ikut tersenyum atau tertawa kecil, seolah ini adalah obrolan biasa tentang hal yang wajar saja.
4612Please respect copyright.PENANA1hQBTsGC2x
Bersambung
ns216.73.216.82da2