
Benang-benang Godaan di Kala Sunyi
26Please respect copyright.PENANAIDWPHVMtrj
Bintang merasa hampa, tubuhnya masih lemas namun pikirannya berputar tak keruan. Kebrutalan Ardan tadi malam, yang begitu berbeda dari biasanya, meninggalkan bekas tidak hanya di kulitnya, tapi juga di hatinya. Ia terbaring memandangi punggung suaminya yang membelakanginya, menelan pil pahit pertanyaan: apakah Ardan memang sudah tahu? Apakah semua kekasarannya itu adalah luapan amarah karena perselingkuhannya dengan Adi? Atau hanya gairah gelap yang tiba-tiba muncul dari suaminya? Ia tak punya keberanian untuk bertanya, takut akan jawaban yang mungkin menghancurkan segalanya.
Setelah beberapa saat merenung dalam kesunyian, Bintang memutuskan untuk bangun. Ia membersihkan diri, merasakan perih di beberapa bagian tubuhnya, jejak dari "gairah" tadi malam. Selesai berpakaian rapi dengan piyama, ia kembali ke ranjang. Ardan sudah terlelap, napasnya teratur. Bintang mendekat, memeluk Ardan dari belakang, mencari kehangatan yang mendadak terasa hilang dalam hubungan mereka. Ia ingin merasakan kedekatan, ingin menghapus jarak yang tiba-tiba terbentang.
26Please respect copyright.PENANAY9uBbyQ9ZJ
Sunyi Malam dan Pesan yang Menggoda
26Please respect copyright.PENANAeBmJzsFXlp
Pukul 3 pagi. Ardan terbangun. Keheningan dini hari menyelimuti kamar. Ia tersadar ada pelukan erat di punggungnya. Itu Bintang. Dengan lembut, Ardan memindahkan tangan istrinya dari pinggangnya, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuh Bintang sebatas dada. Sebuah kecupan ringan ia daratkan di kening Bintang, kecupan hampa yang tidak lagi membawa kehangatan yang tulus.
Ardan bangkit dari ranjang, bergerak tanpa suara agar tidak membangunkan Bintang. Setelah membersihkan badan dan mengambil wudu, ia sholat malam, mencari ketenangan dari kekacauan di hatinya. Selesai sholat, Ardan melangkah ke dapur kecil mereka, menyeduh kopi hitam, dan bersantai sejenak di meja makan. Aroma kopi yang pekat memenuhi ruangan.
Sambil menyeruput kopi, ia meraih ponselnya. Layar ponsel menunjukkan beberapa notifikasi. Matanya terpaku pada satu nama: Icha (Quinsha). Ada pesan dari Icha pada jam 9 malam tadi.
Icha: "Mas Ardan, maaf nih ganggu malem-malem. Tadi abis nganter penumpang, terus nemu barang lucu banget di toilet pom bensin. Pengen cerita sama Mas sambil ngakak! 😂"
Ardan tersenyum tipis. Ia teringat pengemudi Grab yang ia temui pagi tadi, Quinsha, yang memancarkan aura berani dan menarik. Ia tidak menyangka Icha akan menghubunginya. Hatinya berdesir, sebuah rencana licik mulai terbentuk. Tanpa pikir panjang, Ardan membalas chat Icha di jam 3 pagi itu.
Ardan: "Nggak ganggu kok, Mbak Icha. Biasa, jam segini emang udah bangun. Barang lucu apa sih? Kok sampai bikin ngakak? Jadi penasaran nih."
Tak disangka, hanya beberapa detik kemudian, ponsel Ardan bergetar. Icha merespons.
Icha: "Eh, buset! Ini Mas Ardan beneran udah bangun? Jangan-jangan Mas ini superhero apa vampir? 😂"
Ardan: "Hahaha, bisa aja Mbak Icha! Saya habis sholat tahajud, Mbak. Mbak sendiri ngapain belum tidur jam segini? Jangan-jangan lagi begadang nungguin orderan?"
Icha: "Yee, sotoy! Saya lagi nggak bisa tidur nih, Mas. Udah setahun lebih kayak gini... kesepian mungkin. Nah, jadi gini lho, Mas. Tadi tuh ya, saya kan ke pom bensin buat isi bensin, terus ke toilet bentar. Eh, pas keluar dari bilik, saya ngelihat ada CD nyangkut di tempat sampah. CD cewek! Udah lengket-lengket gitu. Hahaha! Bau amis lagi! Asli, ngakak banget saya mikirin siapa yang abis 'begituan' di toilet umum. Kok bisa ya? Apa nggak jijik?"
Ardan terdiam sejenak. CD yang lengket? Pom bensin? Ia teringat percakapannya dengan Angel tadi malam. Senyum sinis tersungging di bibirnya. Dia tahu siapa pemilik CD itu. Itu milik Angel. Tapi Ardan memilih untuk diam, menyimpan rahasia itu sendiri, memanfaatkan situasi ini.
Ardan: "Hahahaha! Parah banget, Mbak Icha! Jangan-jangan itu CD hantu penunggu toilet, Mbak. Mau ikut Mbak Icha pulang, biar nggak kesepian lagi. Serem amat!"
Icha: "Kampret Mas Ardan! Jangan nakut-nakutin dong! Tapi asli, Mas, bikin saya jadi mikir macem-macem. Enak kali ya, 'begituan' di tempat random gitu? Sensasinya beda kayaknya. Apalagi kalau udah lama nggak ngerasain... beuh, pasti meledak!" Suara Icha, bahkan dalam teks, terdengar begitu berani dan terbuka.
Percakapan mereka mulai menjurus ke hal-hal sensual, namun tetap dibalut candaan dan tawa. Ardan melihat ini sebagai kesempatan emas. Api balas dendamnya belum padam, dan Icha, dengan karakter hiperseksual dan pengalaman kesepiannya, adalah bidak yang sempurna dalam permainannya.
Ardan: "Waduh, pengalaman pribadi nih Mbak Icha? Kok sampai tahu sensasinya beda, dan sampai 'meledak' segala?"
Icha: "Hahaha, kan cuma nebak-nebak doang, Mas Ardan. Tapi jujur nih, ngelihat CD tadi bikin saya jadi kepikiran. Ya gimana ya, udah setahun lebih saya nggak disentuh, Mas. Suami saya kan udah meninggal. Kadang suka kepikiran sendiri, pengen... dihangatkan lagi." Icha menuliskan kalimat terakhir dengan emoji wajah tersipu, namun Ardan tahu, itu bukan sekadar candaan. Ada kejujuran yang menelanjangi di sana, sebuah undangan yang tak terucap.
Ardan: "Oh gitu ya, Mbak Icha. Saya turut berduka cita lho atas suami Mbak. Pasti berat ya. Jadi, butuh penghangat nih?" Ardan sengaja memancing lebih jauh, mengabaikan sedikit rasa tidak enak di perutnya.
Icha: "Mas Ardan ini bisa aja! Mesum! Hahaha! Tapi ya gimana ya... siapa tahu ada yang mau menghangatkan janda kesepian ini, Mas. Kan lumayan, biar nggak kedinginan terus." Icha membalas dengan lebih berani, seolah sudah terbiasa dengan pembicaraan semacam ini.
Ardan tahu ini adalah sinyal hijau. Sebuah pintu yang terbuka lebar. Ia merasakan desiran di bawah sana. Icha, si janda hiperseksual yang memendam hasrat setahun, adalah target empuk.
Ardan: "Saya sih siap saja Mbak, kalau disuruh menghangatkan. Tapi ini kan cuma chat. Nggak afdol kalau nggak ada bukti nyata. Pengen lihat foto terkini dong, Mbak Icha. Tapi yang... spesial. Biar saya ada panduan buat menghangatkan dari jauh." Ardan mengetik dengan berani, tanpa filter, membiarkan hasrat balas dendamnya mengambil alih.
Tidak butuh waktu lama, ponsel Ardan bergetar lagi. Icha mengirimkan foto. Ardan membuka foto itu. Matanya langsung terpukau. Icha berdiri di depan cermin kamar tidurnya, hanya mengenakan tank top tipis berwarna gelap tanpa bra. Bentuk buah dadanya yang padat samar-samar terlihat jelas dari balik kain. Bahkan putingnya sedikit menonjol, menantang. Wajahnya cantik, dengan senyum tipis menggoda, tatapannya begitu mengundang. Aura sensualnya begitu kuat, jauh lebih berani dan menantang dari yang Ardan bayangkan. Rambutnya tergerai acak, menambah kesan 'liar' yang memikat.
"Sialan..." desah Ardan pelan, merasakan reaksi di bawah sana yang semakin keras. Ia akui Icha memang sangat menarik, dan keberaniannya sungguh di luar dugaannya.
Ardan: "Gila, Mbak Icha. Cantik banget! Udah kayak model victoria's secret, tapi lebih hot! Beneran nggak pake bra itu? Gila, seksi banget! Pengen saya remes deh rasanya." Ardan mengetik dengan berani, membiarkan instingnya berbicara.
Icha: "Ish, Mas Ardan! Dasar mesum! Hahaha! Tapi jujur, saya seneng Mas bilang gitu. Berarti saya masih oke lah ya, walaupun janda. Ini hasil diet ketat dan gym lho, Mas! Biar badan tetap 'siap tempur'." Icha tidak marah, justru nada bicaranya semakin genit dan blak-blakan. Ardan tahu, Icha menyukainya, dan dia siap untuk bermain.
Ardan: "Oke banget, Mbak Icha. Oke parah malah. Kalau saya belum nikah, mungkin udah saya lamar Mbak Icha kemarin. Sayang aja, status saya udah jadi suami orang. Jadi cuma bisa jadi... pengagum rahasia, dan pemberi kehangatan virtual aja." Ardan bercanda dengan statusnya, menguji batas, namun tetap memberikan harapan.
Icha: "Ah, Mas Ardan ini bisa aja! Gombal! Tapi ya gimana ya, kalau dari dulu Mas berani, mungkin ceritanya beda. Jangan gitu dong, Mas. Nanti saya baper nih. Tapi... saya suka candaan Mas ini. Bikin melayang. Rasanya kayak... hidup lagi."
Pujian, godaan, dan rayuan yang dilontarkan Ardan semakin membuat Icha melayang dan terlarut dalam ilusi yang sudah setahun ini dia pendam. Perasaan terhadap Ardan, yang mungkin sudah ada sejak pertemuan singkat mereka, kini seolah bangkit kembali, diperkuat oleh kata-kata manis dan berani dari Ardan. Ia merasa istimewa, diinginkan, dan seolah ada harapan baru untuk mengisi kekosongan yang ia rasakan. Tanpa ia sadari, Icha kini mulai masuk ke dalam permainan Ardan.
Mereka terus chatting hingga waktu subuh. Obrolan mereka semakin intim, semakin dalam, bertukar fantasi dan godaan yang semakin berani. Ardan menikmati setiap momen itu, merasakan kepuasan dari respons Icha. Ini adalah cara barunya untuk melampiaskan amarah dan sakit hati yang ia rasakan. Sebuah balas dendam yang dingin, tersembunyi, dan direncanakan.
Sementara itu, di sampingnya, Bintang masih terlelap, tidak menyadari bahwa suaminya sedang membangun benteng rahasia lain di balik punggungnya, sebuah jembatan menuju hati wanita lain. Ardan tersenyum dingin. Permainan ini baru saja dimulai. Dan dia akan memainkannya sampai tuntas.
ns216.73.216.206da2