
Pelukan yang Mengikat
Di dalam bilik toilet pom bensin yang lembap namun bersih, hasrat Angel yang terpendam tak lagi bisa ia bendung. Jemarinya yang gemetar membuka kancing kemejanya satu per satu, memperlihatkan lekuk payudaranya yang penuh, terbebas dari kurungan bra. Tanpa ragu, tangannya meremas lembut puncak kenikmatannya sendiri, merasakan sensasi familiar yang memabukkan.
Vibrator di tangannya bergetar dengan irama konstan, menelusuri setiap inci kepekaan, terasa semakin dalam, semakin memicu gelombang panas di seluruh tubuhnya. "Aahh..." Desahan panjang lolos dari bibirnya, teredam oleh suara keran air yang sengaja ia biarkan menyala. Punggungnya melengkung, matanya terpejam erat, menyerah pada gelora yang membuncah.
Cairan kenikmatan membanjiri celana dalamnya, bukan hanya sekali, tapi dua, tiga, bahkan empat kali berturut-turut. Ilusi yang diciptakan Ardan di sepanjang jalan tadi, ditambah dengan pelampiasan pribadinya ini, terasa begitu nyata, begitu memuaskan. Dalam sekejap, semua frustrasi, semua kerinduan yang tak terucapkan, larut dalam gejolak ekstase. Setelah mencapai puncaknya, Angel terengah-engah, tubuhnya lemas namun jiwanya terasa lebih ringan. Ia merapikan kembali kemejanya, mengancingkannya perlahan, mengatur napas. Dalam kegembiraan sesaat itu, ia terlupa. Celana dalamnya yang basah dan lengket, dibiarkan teronggok di tempat sampah dalam toilet, sebuah jejak yang tertinggal dari ilusi kenikmatan sesaatnya.
Godaan yang Membara
Angel melangkah keluar dari toilet dengan wajah yang lebih segar, namun pipinya masih menyimpan rona merah tipis. Rambutnya yang sedikit berantakan ia rapikan dengan jemari. Ketika matanya bertemu dengan Ardan yang sedang bersandar di motornya, sebuah senyum simpul terukir di bibir Ardan.
"Wah, Kak Angel ini... kalau keluar toilet malah makin cantik ya," Ardan memulai, suaranya pelan dan mengusik. Matanya menelusuri Angel dari atas ke bawah, seolah melihat sesuatu yang lebih dari sekadar penampilan luar.
Angel tersipu, salah tingkah. Ia berusaha menjaga ekspresi datar, namun sudut bibirnya tak bisa menahan senyum. "Kamu ini, Dan! Bisa aja ngegombalnya. Abis ngapain di toilet, kok jadi makin kinclong gitu?"
Ardan mendekat, berdiri di samping Angel. "Mana ada saya ngegombal, Kak. Ini fakta. Mungkin tadi di dalam Kak Angel ketemu bidadari kali ya? Jadi kecipratan aura bidadari." Ardan melirik tas Angel, seolah mencari sesuatu. "Atau jangan-jangan, Kak Angel abis ritual rahasia biar pesonanya makin bertambah?" Ada nada nakal dalam suaranya, sebuah inside joke yang hanya Ardan dan Angel yang tahu (atau setidaknya, Ardan yang merasa tahu).
Angel tertawa renyah, kali ini lebih lepas. "Ish, kamu ini! Rahasia dapur nggak boleh diumbar-umbar, Dan!" Ia memukul pelan lengan Ardan, namun tatapan matanya justru memancarkan kegembiraan. "Udah, ayo buruan! Makin malam makin macet nih. Nanti Mas Adi khawatir."
"Khawatir atau cemburu, Kak?" Ardan menimpali, menahan senyum.
Angel memutar bola mata, pura-pura kesal. "Dua-duanya! Udah, ayo naik!"
Pelukan yang Erat
Mereka berdua kembali naik motor. Ardan menghidupkan mesin. Angel duduk di belakangnya, namun tidak lagi berjarak. Tubuhnya kini menempel erat, seolah ingin mencari kehangatan di tengah malam yang mulai dingin.
"Dan, bisa ngebut nggak?" pinta Angel, suaranya sedikit mendesak. "Udah malem nih."
Ardan tersenyum penuh arti. "Waduh, kalau ngebut, nanti Kak Angel pegangan sama siapa? Sama angin?" Dia sengaja melambatkan laju motornya. "Kalau mau ngebut, Kak Angel harus pegangan yang erat. Biar saya juga nggak oleng, Kak. Berat badan kita kan lumayan beda jauh." Ardan tertawa, memberikan kesempatan Angel untuk lebih mendekat.
Angel tahu ini godaan, tapi ia tak bisa menolak. Ada desakan dalam dirinya untuk merasakan lebih banyak kedekatan ini. Tanpa ragu, ia melingkarkan tangannya ke pinggang Ardan, memeluknya erat. "Nah, gini dong. Kan saya jadi nyaman juga nyetirnya," kata Ardan, sengaja membuat posisinya sedikit lebih tegak sehingga Angel mau tak mau semakin menempel erat.
Kini, Ardan bisa merasakan dengan sangat jelas gundukan buah dada Angel yang besar dan padat menekan punggungnya. Sensasi itu mengalirkan listrik halus ke seluruh tubuhnya, bercampur dengan amarah dan keinginan untuk membalas dendam.
"Wah, ini baru namanya penumpangan VIP, Kak," Ardan memuji, suaranya dibuat-buat kagum. "Besar banget ya, Kak. Nyaman banget rasanya." Kalimat itu meluncur begitu saja, eksplisit dan berani, membuat Angel terkesiap di belakangnya.
Angel sontak memerah, napasnya tertahan. Jantungnya berdebar tak karuan. Ardan berani sekali! Namun, di satu sisi, ia merasa... senang. Senang dipuji, senang diperhatikan, senang disentuh dengan cara seperti itu. "Ish, kamu ini! Otaknya ngeres terus!" Ia memukul pelan bahu Ardan, tapi pelukannya justru semakin erat. Wajahnya disembunyikan di punggung Ardan, mencoba menyembunyikan senyumnya yang mengembang.
Obrolan mereka berlanjut, diselingi candaan dan godaan dari Ardan, serta balasan Angel yang semakin genit dan terbuka. Mereka membahas segala hal, dari pekerjaan hingga kehidupan bertetangga, melupakan waktu. Tak terasa, jalanan yang tadinya panjang kini mulai familiar. Kontrakan mereka sudah di depan mata.
Pertemuan Penuh Tawa dan Kecemburuan Terselubung
Akhirnya, motor Ardan berhenti di depan kontrakan. Adi sudah terlihat di sana, bersantai di kursi plastik sambil serius menatap laptopnya. Mungkin sedang memantau pergerakan sahamnya. Saat mendengar suara motor Ardan, Adi menoleh. Matanya membulat saat melihat Ardan datang bersama Angel, istrinya.
Adi sontak berdiri, raut wajahnya berubah. Ada kilatan kecemburuan yang samar di matanya. "Lho, kok kalian bisa barengan? Angel, kamu nggak bilang kalau dijemput Ardan!" Nada suaranya sedikit tinggi, menuntut penjelasan.
Ardan mematikan mesin motor, melepas helmnya dengan santai. Ia melirik Adi dengan senyum tipis, senyum yang menyimpan banyak arti. "Wah, Mas Adi ini. Baru juga nyampe, udah diinterogasi. Saya kan cuma driver profesional yang mengantar customer sampai tujuan, Mas. Kenapa? Cemburu ya?" Ardan sengaja memanas-manasi. "Kalau mau tahu detailnya, tanya aja sama Kak Angel. Dia yang punya cerita lengkapnya."
Angel turun dari motor, menatap Adi yang tampak kesal. Ia menyerahkan bungkusan nasi Padang ke tangan Adi. "Apaan sih, Adi! Cemburuan banget!" Angel mencubit pinggang Adi gemas, mencoba menenangkan. "Tadi aku pulang kerja, eh pas mau naik Grab, ternyata driver-nya Mas Ardan. Nggak nyangka kan? Dia kan baru hari ini jadi driver. Terus ya udah deh, sekalian aja minta dianter ke tempat nasi Padang langganan kita. Daripada kamu jemput, pasti ngaret." Angel menjelaskan dengan nada ceria, penuh bumbu candaan yang sukses membuat Adi sedikit melunak.
Adi menerima nasi Padang itu, masih dengan raut cemberut. "Oh, jadi gitu. Kirain Ardan udah mulai jadi bodyguard pribadinya kamu, Yang."
"Ih, kamu ini! Ngaco! Udah ah, jangan cemberut terus. Ini nasi Padang kesukaan kamu!" Angel tersenyum manis, lalu menoleh ke Ardan. "Dan, panggil Bintang dong! Ayo gabung sini, kita makan nasi Padang bareng-bareng di teras. Biar rame!"
Ardan mengangguk, namun hatinya terasa campur aduk. Sebuah senyum paksa ia pasang. Di satu sisi, ia merasa menang karena berhasil memicu kecemburuan Adi. Di sisi lain, ia tahu ini adalah permainan berbahaya. Ia melirik Angel, yang kini tersenyum manis pada Adi. Sebuah ilusi yang tampak sempurna di mata Adi, namun Ardan tahu, ada gairah tersembunyi yang baru saja Angel lepaskan di toilet umum.