
Gairah yang Terpendam
Setelah membersihkan diri dari gema ilusi yang menghantuinya, Bintang keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Tubuhnya kini terbalut daster mini motif bunga-bunga yang tipis, memeluk erat lekuk mungilnya. Ia melirik jam dinding, matanya membulat. Pukul tujuh lewat! Ardan belum pulang.
Rasa bersalah yang tadi sempat mereda kini kembali merayap. Bintang buru-buru meraih ponselnya, mencoba menelepon Ardan. Tidak diangkat. Ia mengerutkan kening, lalu mengetik pesan singkat: "Mas, di mana? Kok belum pulang? Aku nggak masak, bahan makanan habis. Pulang ya, aku sendirian." Ada nada rengekan manja di akhir pesan, mencoba menutupi kegelisahan yang sesungguhnya.
Panasnya Godaan di Jalan
Sementara itu, di jalanan Jakarta yang mulai dipadati lampu-lampu malam, Ardan dan Angel melaju dengan obrolan yang semakin panas. Kata-kata Ardan meluncur bagai bisikan menggoda, menyapu setiap inci pertahanan Angel. Dada Angel yang besar dan padat terasa semakin menempel di punggung Ardan setiap kali motornya berbelok, setiap kali Ardan mengerem perlahan. Aroma parfum Angel yang memabukkan kini bercampur dengan wangi tubuhnya yang mulai memanas, memicu sesuatu yang sudah lama terpendam.
"Kak Angel ini kalau senyum, bahaya ya. Bisa bikin driver Grab lupa jalan pulang, nyasar ke hati Kakak," Ardan memecah keheningan, suaranya rendah dan serak, dengan nada yang begitu akrab namun kini terasa mengusik.
Angel terkekeh, napasnya memburu. "Bisa aja kamu, Dan! Nanti kalau saya kepincut gimana?" Ia membalas godaan itu, tangannya tanpa sadar meremas bahu Ardan, jemarinya bermain-main di kerah jaket Grab Ardan.
"Ya, itu sih risiko. Berarti saya sukses bikin Kak Angel terpikat," balas Ardan, senyum miring terukir di bibirnya. "Atau jangan-jangan, Kak Angel memang udah dari dulu kepincut sama saya ya? Ngaku aja deh! Mas Adi kurang romantis ya di rumah?" Ardan membiarkan pertanyaan itu menggantung, sebuah challenge yang berani.
Angel tersentak kecil, pipinya memerah pekat di bawah penerangan temaram jalan. "Ih, kamu ini, Dan! Jangan ngomong yang aneh-aneh ah. Nanti dikira gimana-gimana." Meskipun mencoba mengelak, suaranya justru semakin sensual, penuh gelora yang tak tertahankan. Jemarinya yang tadi bermain di kerah jaket kini mulai bergerak turun, menyentuh punggung Ardan, menggodanya balik.
"Saya nggak gombal kok, Kak. Saya cuma bilang fakta," balas Ardan, semakin berani. "Lagipula, Kak Angel ini badannya bagus banget, seksi. Duduk di belakang gini aja rasanya kayak ditempelin guling super empuk, saking pasnya." Ardan sengaja menekan kata "pasnya", membuat Angel semakin salah tingkah. "Pantas Mas Adi betah di rumah ya, Kak? Tapi saya curiga deh, sebetah-betahnya Mas Adi, kalau Kak Angel sebegini menariknya, pasti banyak yang ngantri buat nemenin Kakak."
Setiap kata Ardan seperti memantik api dalam diri Angel. Pujian tentang tubuhnya, sentuhan-sentuhan ringan yang disengaja, dan tatapan penuh arti di spion, semuanya seperti kunci yang membuka gerbang hasrat yang terkunci rapat. Angel memang seorang wanita yang memiliki gairah tinggi, namun seringkali merasa tidak terpenuhi dalam pernikahannya. Adi, yang sibuk dengan trading-nya dan mungkin kurang peka terhadap kebutuhan intim Angel, secara tidak langsung telah menciptakan "kekeringan" dalam diri istrinya. Dan kini, Ardan datang, dengan godaan yang blak-blakan namun mengena, menyentuh tepat pada titik kerentanan Angel.
Hasrat yang selama ini terpendam dalam dirinya, yang ia kubur dalam-dalam di balik status istri Adi, kini mulai memberontak tak terbendung. Panas tubuhnya semakin mendalam, merasakan kelembapan yang mulai membanjiri celana dalamnya. Ia butuh pelampiasan. Sekarang.
"Dan," Angel berbisik di telinga Ardan, suaranya serak, napasnya terasa hangat di leher Ardan. "Berhenti sebentar di pom bensin depan ya. Aku... kebelet banget ke toilet." Nada suaranya jelas menyiratkan lebih dari sekadar "kebelet".
Ardan mengangguk, sedikit terkejut dengan permintaan mendadak itu. Ia melirik Angel dari spion, melihat rona merah di pipi wanita itu dan napasnya yang memburu. Ardan tersenyum tipis. Ia tahu ini bukan sekadar urusan toilet biasa.
Motor Ardan berhenti di area pom bensin. Saat Angel bergegas menuju toilet, Ardan mengeluarkan ponselnya. Ada pesan dari Bintang. "Mas, di mana? Kok belum pulang? Aku nggak masak, bahan makanan habis. Pulang ya, aku sendirian."
Ardan menghela napas. "Santai aja, Bintang. Ini lagi cari nafkah halal, sebentar lagi pulang. Nanti kita delivery aja makanan." Ia membalas pesan itu dengan nada ceria, seolah tidak ada yang terjadi, menutupi rasa sakit hati dan kebimbangannya.
Ilusi Tersembunyi di Balik Pintu Toilet
Sementara itu, di dalam bilik toilet pom bensin yang untungnya cukup bersih, Angel berdiri dengan napas memburu. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena terburu-buru, melainkan karena gelombang hasrat yang Ardan picu telah mencapai puncaknya. Ia mengangkat roknya, lalu menarik celana dalamnya yang sudah begitu basah dan lengket, melemparkannya ke keranjang sampah.
Dari tas tangannya, Angel mengeluarkan sebuah vibrator kecil. Dengan tangan gemetar, ia menyalakannya. Bunyi dengungan lembut alat itu seolah memekakkan telinga di kesunyian bilik. Angel memejamkan mata, membiarkan tubuhnya larut dalam sensasi nikmat yang disalurkan alat itu. Jemarinya yang lain mengelus-elus buah dadanya yang besar, memijat lembut, memancing desahan-desahan nikmat yang ia tahan sekuat tenaga agar tidak terdengar dari luar toilet.
"Ah... ahh..."
Tubuhnya menggeliat, tenggelam dalam ilusi kenikmatan yang ia ciptakan sendiri. Angel memang seorang wanita hiperseks, dengan hasrat yang begitu dalam dan sulit dikendalikan. Kebutuhan intimnya seringkali tidak terpenuhi oleh Adi yang sibuk dan kurang peka. Terjebak dalam pernikahan yang kurang memuaskan, ia selalu mencari pelampiasan diam-diam. Dan kini, godaan Ardan telah membangkitkan kembali semua gairah tersembunyi itu, menjerumuskannya lebih dalam ke dalam pusaran ilusi.