
Di Kontrakan Petak Tiga
"Hoaamm..." Ardan menggeliat malas di samping Bintang yang masih terlelap seperti bayi koala memeluk guling. Jam weker digital di nakas berkedip menunjukkan pukul 05.30 WIB. "Sayang," bisik Ardan sambil mencolek pipi Bintang yang halus seperti porselen. "Bangun yuk. Mas mau siap-siap narik."
Bintang hanya menggumam tak jelas, menarik selimut tebal bergambarลายไทย hingga menutupi seluruh wajahnya. Ardan menghela napas. Inilah drama setiap pagi. Istrinya yang satu ini kalau sudah tidur, bisa-bisa dibangunkan saat gempa Jakarta. Tapi Ardan maklum, Bintang memang kelelahan setelah malam pertama... eh, maksudnya satu bulan pernikahan yang penuh penyesuaian. Terutama penyesuaian dengan dompet yang semakin menipis pasca dirinya kena layoff mendadak.
Dengan berat hati, Ardan bangkit dari ranjang. Pikirannya sudah penuh dengan hitungan kasar potensi penghasilan jadi driver ojek daring. Lumayanlah, bisa buat beli popok... eh, belum punya anak. Buat beli gas dan lauk, setidaknya.
Saat membuka pintu kontrakan petaknya yang sederhana, Ardan langsung disambut pemandangan familiar: Adi, tetangga sebelah yang selalu nongkrong di teras dengan motor sport kinclongnya. Adi memang unik. Usia 35, badan kekar bak Ade Rai gagal diet, tapi kerjanya cuma trading katanya. Yang banting tulang justru istrinya, Angel, teller bank yang berangkat kerja selalu diantar jemput Adi.
"Pagi, Dan!" sapa Adi dengan senyum lebarnya yang kadang terlihat menyebalkan di mata Ardan, apalagi kalau lagi pamer motor barunya. "Mau cari rezeki, nih?"
"Iya, Bro," jawab Ardan sambil menguap. "Mau coba daftar Grab. Daripada nganggur ganteng gini, nggak menghasilkan."
Adi tertawa terbahak-bahak, menepuk bahu Ardan keras-keras sampai Ardan hampir oleng. "Nah, gitu dong! Semangat! Ntar kalau dapet orderan jauh, jangan lupa oleh-oleh!"
Ardan hanya membalas dengan senyum kecut. Oleh-oleh apanya, yang penting bisa nutup pengeluaran harian aja udah syukur. Setelah basa-basi sebentar, Ardan pamit menuju pangkalan ojek daring terdekat.
Perjumpaan dan Godaan
Di dalam kontrakan, Bintang akhirnya bangun dengan mata masih lengket. Setelah mengumpulkan nyawa sepenuhnya, dia berjalan keluar dengan daster batik andalannya yang sudah agak bolong di sana-sini. Tugas pertamanya adalah menjemur pakaian yang sudah menumpuk sejak kemarin.
Dengan cekatan, Bintang menjepit satu per satu pakaian di jemuran bambu reyot di depan kontrakan. Badannya yang mungil terlihat semakin kecil di antara jemuran yang penuh warna-warni. Tiba-tiba, pintu kontrakan Adi terbuka.
"Eh, pagi, Neng Bintang!" sapa Adi dengan nada riang sambil membawa cangkir kopi yang tampak kosong.
Bintang tersenyum tipis. "Pagi, Mas Adi. Baru bangun?"
"Hehehe... abis nganter Angel, balik lagi tidur sebentar. Eh, kopiku habis nih, Bintang. Bikin lagi dong, yang kayak kemarin. Mantap!" pinta Adi dengan kedipan mata jail. "Atau jangan-jangan, kamu memang sengaja nggak mau aku ngopi pagi ini? Biar aku lesu?" Adi terkekeh, sorot matanya menelanjangi daster bolong Bintang sekilas, membuat Bintang tanpa sadar menyilangkan tangan di dada.
Bintang sedikit terkejut. Biasanya Adi selalu bikin kopi sendiri. Tapi karena memang dasarnya tidak enakan, dia mengangguk. "Oh, iya, Mas. Sebentar ya."
Dengan langkah kecil, Bintang kembali ke kontrakannya dan membuatkan kopi untuk Adi. Sambil menunggu air mendidih, dia sempat bercermin. Daster bolongnya tidak terlalu parah, kan? Ah, sudahlah, toh cuma di depan kontrakan.
Ilusi yang Dimulai
Setelah kopi jadi, Bintang membawa cangkir berisi kopi hitam panas itu ke rumah Adi. Pintu kontrakannya tidak tertutup rapat. "Mas Adi?" panggil Bintang sopan sambil sedikit mendorong pintu.
"Eh, Bintang! Masuk, masuk!" jawab suara Adi dari dalam.
Bintang melangkah masuk dengan ragu. Matanya langsung membulat. Adi baru saja keluar dari kamar mandi. Handuk putih lusuh melilit pinggangnya, memperlihatkan perutnya yang... yah, lumayan berotot meski tidak six-pack. Air masih menetes dari rambutnya yang basah. Aroma sabun mandi maskulin menyeruak, memenuhi indra Bintang.
"Aduh, maaf, Bintang," kata Adi sambil cengengesan, tangannya reflek menutupi bagian dadanya yang sedikit terbuka. "Kirain udah berangkat. Kamu malah bikin Mas kaget, pagi-pagi udah datang bawa pesona."
Bintang salah tingkah, wajahnya terasa panas. Dia menyodorkan cangkir kopi tanpa berani menatap mata Adi. "Ini, Mas kopinya."
"Wah, makasih banyak, Bintang," ujar Adi sambil menerima kopi. Jari-jarinya menyapu lembut punggung tangan Bintang saat cangkir berpindah, menciptakan sengatan aneh yang membuat Bintang buru-buru menarik tangannya.
"Eh, Bintang," Adi menahan langkah Bintang saat gadis itu hendak berbalik. "Nanggung banget sih. Sini dulu, temenin aku ngopi. Jangan buru-buru." Senyum Adi melebar, matanya menatap lekat, seolah mengunci pandangan Bintang. "Suami kamu kan lagi sibuk berjuang, masa kamu cuma sendirian di rumah? Kasihan."
Bintang terdiam. Ada benarnya juga. Ardan memang sibuk berjuang, dan ia merasa sedikit kesepian. Adi menangkap keraguan itu. Dengan sigap, ia menyandarkan bahunya ke dinding, membuat handuknya sedikit melorot, dan menyesap kopinya sambil terus menatap Bintang. Tatapannya begitu intens, seolah membaca isi hati Bintang yang mulai bergejolak.
"Sini dong, deketan. Masih pagi juga, sepi kan?" bisik Adi, nadanya memelan, lebih intim. Ia mengulurkan tangan, meraih pergelangan tangan Bintang yang mungil. Jari-jemari besarnya mengelus lembut kulit Bintang.
Bintang merasakan panas menjalari lengannya, naik ke pipi. Ia mencoba menarik tangannya, namun genggaman Adi begitu lembut namun kuat. Pria itu mendekat, aroma sabun dan kopi bercampur, memabukkan.
"Kamu cantik sekali hari ini, Bintang," bisik Adi, suaranya serak. Jempolnya mengusap punggung tangan Bintang. "Sayang kalau cuma di rumah saja."
Entah bagaimana, Bintang merasa kakinya tidak bisa bergerak. Matanya terpaku pada bibir Adi yang perlahan mendekat. Napasnya tercekat. Ilusi kehangatan, perhatian, dan pesona yang tak ia rasakan dari Ardan belakangan ini, seolah disodorkan langsung di depannya oleh Adi.
Lalu, bibir Adi menyentuh bibirnya. Lembut, namun mendesak. Bintang sempat terkesiap, tapi entah mengapa, ia tidak menolak. Justru, ia memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam ciuman yang semakin intens. Ciuman itu berpindah ke lehernya, tangan Adi merayap ke pinggangnya, menariknya mendekat hingga tubuh mungil Bintang menempel erat pada tubuh kekar Adi yang hanya berbalut handuk. Desahan kecil lolos dari bibir Bintang saat tangan Adi semakin berani menjelajahi lekuk tubuhnya. Mereka berdua larut dalam hawa nafsu yang tak terbendung, melupakan batas dan ikatan yang seharusnya mereka jaga.
Kenyataan yang Menyakitkan
Sementara itu, Ardan sudah selesai dengan urusannya dan berhasil diterima sebagai driver Grab. Sebelum menarik orderan pertama, Ardan ingin pulang terlebih dahulu untuk makan. Perutnya sudah meronta sejak tadi.
Ardan sampai di depan kontrakannya. Namun, saat melewati rumah Adi, ia mendengar suara aneh dari dalam. Suara wanita... desahan yang jelas dan menggoda. Jantung Ardan langsung berdebar tak karuan. Rumahnya sendiri kosong, sepi. Bintang tidak ada di sana.
Sebuah firasat buruk mencengkeram Ardan. Dengan rasa penasaran bercampur khawatir dan amarah yang mulai membakar, Ardan mengendap-endap mendekati jendela. Jendela depan tertutup gorden, tapi ada satu celah kecil di lubang ventilasi di atas pintu. Dengan jantung berdebar tak karuan, Ardan berjinjit dan mengintip.
Pemandangan di balik lubang ventilasi itu menghantamnya seperti palu godam. Di ruang tamu yang berantakan, di atas karpet butut bergambar bunga-bunga norak, dia melihat Bintang... dan Adi. Mereka sedang melakukan hubungan intim. Tubuh polos Bintang, sentuhan Adi yang kasar, dan suara-suara yang tak mungkin salah dengar, semuanya terekam jelas di retina Ardan.
Ardan membeku. Otaknya terasa kosong. Dadanya sesak. Ilusi tentang pernikahan bahagia yang baru seumur jagung itu hancur berkeping-keping di depan matanya sendiri. Rasa marah, kecewa, dan sakit hati bercampur aduk menjadi satu. Namun, tak ada suara yang bisa keluar dari bibirnya. Ia merasa lumpuh, tak berdaya. Tanpa sepatah kata pun, Ardan mundur perlahan. Kakinya terasa lemas. Dia tidak sanggup melihat lebih jauh.
Di atas motor bututnya, Ardan menancap gas tanpa tujuan yang jelas. Air mata tiba-tiba mengalir tanpa bisa dicegah. Kota Jakarta yang ramai terasa begitu sunyi di telinganya, hanya menyisakan gema suara desahan yang baru saja ia dengar, menggerogoti jiwanya.