
******
Bab 3 :
Adek Zavie Galau12Please respect copyright.PENANARy2NeJSC4Z
******
12Please respect copyright.PENANA6l5zQMEBxk
ZAVIE akhirnya pergi lagi ke halaman belakang rumahnya: ke taman bunga hydrangea itu. Kucing putih itu masih ada di sana. Kali ini, Zavie keluar diikuti oleh Coco.Kucing berwarna coklat itu berlari mengikuti Zavie begitu dia melihat Zavie berlari ke halaman belakang rumah.
Zavie membawa satu mangkuk kecil makanan kucing dan satu mangkuk kecil air minum. Tadi, saat Zavie bercerita pada mamanya bahwa kucing putih itu ternyata masih ada di sana, ujung-ujungnya dia menangis. Suara tangisnya tidak kencang, tetapi air matanya tak kunjung berhenti. Dia terlihat sangat sedih; pikirannya ke mana mana. Berkali-kali dia usap air matanya, tetapi air matanya deras sekali. Zavie enggak pernah sekepikiran itu dengan sesuatu, bahkan ketika memikirkan hadiah ulang tahun apa yang bakal Kak Atlas kasih buat dia tahun lalu.
Berarti, kucingnya cemaleman kelaperan. Berarti, kucingnya cemaleman kedinginan. Berarti, kucingnya cemaleman cendirian. Cemaleman. Javi udah jahat banget karena ninggalin kucingnya cendirian di luar.
Memikirkan itu, Zavie jadi menangis sesenggukan di depan Mama. Lantas, Mama pun mulai berjongkok di depan Zavie, lalu membelai puncak kepala anak itu. Mama menghela napas, lalu berkata, “Ya udah, biar Mama siapin dulu makanan sama minumannya. Zavie kasih makan kucingnya, ya.”
Begitu mendengar ucapan Mama, tangisan Zavie pun perlahan-lahan mulai berhenti. Namun, napasnya masih tersendat-sendat saat menjawab, “He—he-em, Ma—ma… J—Javi b—ba…wa…makanan—nya…”
Mama pun tersenyum lembut, lalu mengangguk. Wanita paruh baya itu mulai berdiri, lalu berjalan ke dekat rak gantung dapur untuk mengambil toples makanan Coco. Ia menuangkan makanan kucing itu ke sebuah mangkuk kecil, lalu bergerak lagi untuk menuangkan air putih ke mangkuk kecil yang lain. Setelah semuanya siap, ia pun mendekati Zavie dan memberikan kedua mangkuk itu kepada Zavie.
“Ini. Bawanya pelan-pelan, ya. Udah dulu nangisnya. Kalo Adek nangis, nanti makanan sama airnya tumpah.”
“U—ung,” jawab Zavie seraya mengangguk. Mama mengusap air mata Zavie pelan-pelan, lalu berkata, “Ya udah, gih. Nanti kucingnya tambah laper.”
Zavie langsung mengangguk cepat. Si kecil yang mukanya celemotan air mata dan ingus itu mulai berbalik—meninggalkan Mama—lalu pergi ke halaman belakang rumah mereka. Coco, yang kebetulan baru lewat di dapur, ujung-ujungnya jadi ikut berlari. Dia tak mau ketinggalan apa pun yang dilakukan oleh tuannya.
Jadi, di sinilah Zavie sekarang: di depan taman bunga hydrangea. Ia meletakkan mangkuk makanan dan minuman yang ia bawa itu di permukaan tanah,lalu berjalan mendekati kucing putih itu. Ia mulai masuk ke rumpun tanaman hydrangea itu dan meraih kucing tersebut agar keluar dari sana.
Begitu berhasil membawa kucing itu keluar, Zavie pun langsung meletakkan kucing itu di depan mangkuk makanan dan minuman yang ia bawa. Tak ayal, kucing itu pun mulai makan dengan lahap.
Zavie dan Coco kini sama-sama memperhatikan kucing itu.
Ya ampun…
Kucingnya laper banget….
Ah, bagaimana ini? Menyadari betapa laparnya kucing itu, mata Zavie jadi berkaca-kaca lagi. Rasa bersalah semakin menggerogotinya. Dia mulai mewek, tetapi cepat-cepat dia menghapus air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya itu.
Sialnya, mendadak Coco malah mau ikut makan di mangkuk itu. Kelakuan Coco yang tak-tau-situasi itu jadi mengganggu momen sedihnya Zavie. Orang lagi sedih, eh si Coco malah sibuk mau ikut makan.Zavie—yang tadinya hampir menangis—sekarang jadi sibuk menarik badan dan ekor Coco berkali-kali supaya Coco tidak ikut makan di mangkuk itu. Dasar Coco, padahal di rumah keljaannya makan telus!
Coco mungkin tahu kalau itu adalah makanannya. Lagi pula, kucing rata-rata memang lapar terus, ‘kan? Perut mereka cuma sejengkal, tetapi makannya mungkin bisa sebakul.
Saat kucing putih itu telah menghabiskan makanannya (dan sudah minum juga), Zavie pun tersenyum lembut. Dengan penuh kasih sayang, Zavie mulai mengelus-elus kepala hingga badan kucing itu. “Udah kenyang, ya?”
Kucing itu sempat mendengkur, lalu menjawab, “Meow…”
“Hehe…” Zavie tertawa kecil, agak terharu. Namun, beberapa saat kemudian…bocah itu terdiam. Tatapan matanya mulai terlihat sedih lagi.
“Kamu kemaren kok nggak dijemput, ya…” tanya Zavie, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Meow…?”
“Huh…” Zavie mengembuskan napasnya dengan berat. Kalau saja Zavie kenal pemilik kucing ini atau pernah bertemu dengan kucing ini sebelumnya, niscaya permasalahannya tidak akan sesulit ini. Lagian, kok bisa, sih, ada orang yang lupa menjemput kucing secantik ini? Coco saja sampai naksir saking cantiknya.
Manucia zaman cekarang emang udah gila cemua, pikir Zavie.
Zavie menghela napas. Ya sudah, deh. Kali ini, Zavie akan menemani kucing putih ini. Walau sampai sore pun, Zavie akan menemaninya. Setidaknya sampai Zavie melihat kucing putih itu dijemput oleh pemiliknya.
“Ciiiip, deh!Ayo kita main! Javi temenin kamu, ya, campe kamu dijemput!!” teriak Zavie dengan girang. Dia pun mulai mengajak dua kucing itu bermain lari-larian. Ia bahkan sempat masuk ke rumah dan mengambil bola karetnya untuk dimainkan bersama dua kucing itu. Induk ayam yang kebetulan lagi lewat di sana—lagi mencari makan bersama anak-anaknya—pun tak sengaja terkena lemparan bola karet itu sampai dia mengamuk pada Zavie karena telah membahayakan anak-anaknya. Zavie enggak suka dikejar induk ayam, soalnya induk ayam biasanya garang banget. Kucing Zavie pun enggak mau membela kalau Zavie sudah punya masalah dengan induk ayam. Enggak mau ikut campur, deh, pokoknya. Biasanya, yang berani ngelawan induk ayam itu di daerah sini cuma kucing oranye punya Pak RT.
Namun, lupakan soal induk ayam.
Pada hari itu, Zavie sama sekali tak menyangka bahwa hingga senja tiba,
…pemilik kucing putih itu ternyata tak datang juga.
Saat langit sudah berwarna oranye seperti ikan salmon, langkah Zavie pun terhenti. Dia tahu bahwa jika warna langit sudah terlihat seperti warna ikan salmon yang sering Papa makan di sushi, maka dia harus pulang. Jadi, dia pun mulai melihat ke sekeliling…
…dan tidak menemukan seorang pun.
Tidak ada siapa pun yang menuju ke sana.
Tidak ada siapa pun yang menjemput kucing putih itu.
Jantung Zavie mendadak langsung berdegup kencang. Rasa sedih kembali menghampirinya. Tubuh kecilnya mulai bergetar…dan napasnya mulai tersendat-sendat. Matanya berkaca-kaca.
Seraya mengepalkan tangannya, Zavie pun berlari ke rumah. Zavie menaiki tangga dan langsung masuk ke rumahnya melalui pintu belakang. Pintu belakang rumahnya itu ada di dapur, jadi begitu Zavie melewati pintu itu, ia jelas langsung berada di dapur. Coco mengikutinya dari belakang.
Zavie langsung menangis kencang. Ia berteriak di dapur itu, memanggil mamanya dengan putus asa. “MAMAAAAA…! MAMAAAA!! MAAAA!! HUAAAAA...”
Kontan saja Mama berlari ke dapur dengan ekspresi panik. Mama langsung berjongkok di depan Zavie dan menyeka air mata anak bungsunya itu dengan cepat. Dengan khawatir, Mama pun berkata, “Lah, kenapa, Dek? Heh—astaga, kenapa? Ada apa? Hei! Kenapa? Bilang sama Mama! Kok tiba-tiba nangis lagi??!”
“MAMAAA…!” Zavie menangis sesenggukan. “M—MA—MAAA…!”
“Iyaaaa…ini Mama. Kenapa, Nak?” tanya Mama, dia masih terdengar panik. Astaga, ini Papa sama Atlas belum pulang. Kalau sudah pulang, mungkin semuanya jadi berkumpul di dapur gara-gara mendengar tangisan Zavie.
“Mamaaa…” Zavie mengusap air matanya sendiri dengan kaus yang ia pakai. Ingusnya mulai keluar. Napasnya tersendat-sendat sampai Zavie mengeluarkan suara ‘Hik, hik’ sambil menangis.
“Adek kenapa, sih? Ada luka??” tanya Mama khawatir. Biasanya, Zavie jarang terluka sebab halaman belakang rumah sudah sering dibersihkan oleh Papa. Mengingat Zavie selalu main di sana, Papa jadi rajin memastikan kalau tidak ada benda tajam apa pun yang tertinggal di sana, seperti pecahan kaca atau potongan kayu yang tajam.
Zavie menggeleng. “Enggaaak, Mamaaaa…”
Mama lantas mengernyitkan dahi. “Jadi, kenapa nangis?!”
“Kuciiiing, Maaaa…” jawab Zavie, matanya masih mengeluarkan air mata. “Kucing putihnya…belum dijemput campe cekarang, Maa… Yang punya kucingnya belum dateng juga, Ma… Ini udah core… Kucingnya kacian, Ma…”
Mata Mama membulat.
Oalah…
Dahi Mama berkerut. Jujur saja, Mama juga mulai merasa kasihan dengan kucing itu. Akan tetapi, bagaimana pun juga…kucing itu ada pemiliknya. Kalau tidak ada, mengapa kucing itu memakai kalung? Masa iya kucing liar pakai kalung?
Mama mulai menghela napas.
“Jadi, Adek maunya gimana?” tanya Mama dengan sabar.
Zavie menghentikan tangisnya. Pelan-pelan, si kecil itu mulai menyeka air mata beserta ingusnya dengan bajunya sendiri. Baju itu sampai basah karena air mata dan ingusnya. “Boleh nggak, Ma, kucingnya Javi ambil aja?”
Situasi tiba-tiba jadi hening.
Mama diam selama beberapa detik.
Namun, berbeda dengan apa yang Zavie harapkan, ternyata…
…Mama menggeleng.
Mama menolak permintaan Zavie.
“Jangan dulu. Takutnya ntar pemiliknya nyariin. Mungkin pemiliknya belum tau aja kalo kucingnya ada di sini,” jawab Mama.
Mendengar jawaban dari Mama, tak ayal Zavie kembali menangis. Kali ini, tangisannya terdengar begitu pilu.
Astagaaa… Kalo ditinggal lagi, nanti kucingnya cendirian lagi. Kelaperan lagi. Javi kacian cama kucingnya… Nanti kucingnya pingcan…
“Mamaaaa… Kita ambil aja, yaaa, Ma? Hmmm?” rayu Zavie sekali lagi. Dia merengek-rengek seraya mencengkeram tangan Mama. “Kacian, Ma… Kucingnya cemaleman cendirian di luar… Kelaperan, kedinginan, kecepian… Kucingnya nanti cakit, Ma…”
Memikirkan kucing itu yang kedepannya mungkin akan meringkuk karena sakit membuat Zavie semakin menangis. Air matanya tak terbendung.
Mama kembali menghela napas.
“Adeeek, denger dulu. Mama juga kasian sama kucingnya, tapi kita nggak boleh ambil punya orang sembarangan. Itu kucing orang, Dek,” jawab Mama dengan prihatin; alis Mama nyaris menyatu.
Zavie langsung melebarkan matanya. “Terus kalo kucingnya nggak dijemput-jemput gimana, Maaa…?”
Mama terdiam. Wanita paruh baya itu memperhatikan wajah dan mata Zavie yang sembap. Pipinya basah karena air mata. Napasnya tak beraturan. Kausnya juga basah karena sudah dipakai untuk mengelap air mata serta ingusnya berkali-kali.
Melihat keadaan Zavie yang kacau begitu, Mama jadi merasa dilema. Mama kasihan dengan kucing itu—apalagi Zavie juga kelihatan sangat sedih—tetapi bagaimanapun juga…Mama tak mau mengambil kucing punya orang.
Ujung-ujungnya, Mama tetap teguh pada pendiriannya.
“Jangan diambil. Kita tunggu dulu pemiliknya,” kata Mama dengan tegas.
Zavie kontan terkejut. Matanya membulat dan napasnya tertahan tatkala mendengar jawaban dari Mama. Ternyata, Mama tidak berubah pikiran. Mama tetap tidak memperbolehkan Zavie untuk mengambil kucing itu.
Karena merasa kecewa, Zavie pun jadi semakin mewek. Bocah berbau matahari itu pun langsung berbalik dan meninggalkan mamanya. Dia pergi ke teras belakang rumahnya, lalu berdiri di sana sambil menatap ke taman bunga hydrangea. Di sana ada kucing putih itu; kucing itu sedang menjilat-jilat tubuhnya sendiri. Namun, tatkala sadar bahwa ada makhluk yang sedang memperhatikannya dari atas (dari teras rumah panggung itu), perlahan-lahan kucing itu pun melihat ke arah Zavie.
Saat mata mereka bertemu, Zavie spontan menangis sesenggukan. Dia tertunduk, bahunya jatuh, dan berkali-kali ia mengusap air matanya dengan lengannya sendiri. Namun, air matanya tak kunjung mau berhenti.
Ia jadi galau di sana, di teras belakang rumahnya, sambil terus memandangi kucing itu.
12Please respect copyright.PENANALpK8HMUrxa
******
12Please respect copyright.PENANADClh0WsXvZ
Kegalauan Zavie yang memprihatinkan itu bertahan hingga empat hari lamanya.
Dalam empat hari itu, Zavie jadi sangat murung. Dia jadi pendiam. Anak kecil yang biasanya aktif lari sana lari sini, aktif kepoin tetangga, aktif mengikuti tarian atau menyanyikan lagu opening Crayon Shin-chan, aktif mencari tahu kegiatan Kak Atlas, sekarang jadi sering duduk di teras belakang rumah sambil memandangi kucing putih yang ada di taman bunga hydrangea. Namun, entah mengapa kucing itu pun tak pernah pergi dari sana; dia selalu menunggu kedatangan Zavie.
Zavie akhir-akhir ini hanya bergerak saat memberi makan kucing itu dan menemaninya di taman bunga hydrangea. Saat senja tiba, Zavie pun akan memandangi kucing itu dari teras belakang rumah sambil merenung. Menatap kucing itu dengan nelangsa.
Zavie tidak selera makan. Setiap kali disuruh makan, ia hanya mau makan beberapa suap, itu pun karena dipaksa oleh mamanya. Dia menghabiskan waktunya, dari pagi sampai sore, hanya untuk menemani kucing putih itu dan bersedih hati. Dalam empat hari ini, dia sudah pergi ke rumah tetangga-tetangga yang ada di sekitar sana, tetapi tak ada orang yang mengaku bahwa kucing itu adalah milik mereka. Seolah-olah…kucing itu datang dari tempat yang sangat jauh.
Zavie masih ingat dengan jelas bagaimana dia menanyai para tetangga sambil membawa kucing putih itu. Dia akan mengangkat kucing itu dan menunjukkan muka kucing itu ke semua orang.
“Tanteee, ini kucing punya Tante bukan?”
“Ooooom, Om kenal cama kucing ini nggak?”
“Kakek, ini kucing punya kakek bukan?”
“Mbaaak, mbak kenal orang yang punya kucing ini?”
Zavie benar-benar berjuang.
Di sisi lain, kegalauan Zavie itu bukan tak disadari oleh Mama. Seperti sore ini, saat Mama sedang mengaduk semur ayam yang ia masak di kuali. Melalui pintu belakang rumah yang terbuka, Mama bisa melihat Zavie yang lagi-lagi sedang duduk di teras belakang sambil memandang ke arah taman bunga hydrangea. Bahu anak kecil itu tampak turun; ia merenung dengan ekspresi sedih seolah-olah baru saja ditinggal oleh pujaan hati.
Tiba-tiba saja, saat Mama sedang terdiam karena memperhatikan Zavie, Mama mendengar sebuah suara.
12Please respect copyright.PENANAVlRtP6RPre
“Ma, Zavie kenapa?”
12Please respect copyright.PENANAsDkoDEmV5b
Mama kontan menoleh ke samping dan menemukan anak pertamanya, Atlas, sedang melangkah mendekatinya sambil melihat ke teras belakang rumah. Melihat Zavie.
Saat Atlas telah berdiri di sebelah Mama, Mama pun kembali melihat ke teras belakang dan menjawab, “Nggak tau, tuh, adekmu. Masih galau.”
Atlas menyatukan alisnya. “Galau kenapa?”
Ah, ya. Atlas dan papanya memang belum tahu apa-apa. Namun, setelah empat hari berlalu…ternyata Atlas yang dingin pun mulai menyadari keanehan Zavie. Atau jangan-jangan…Atlas sudah tahu lebih awal dan baru menanyakannya sekarang?
Mama menghela napas. Diam selama dua detik…hingga akhirnya Mama mulai menjawab, “Nggak… Si Coco, kan, akhir-akhir ini sering banget maen sendirian ke taman bunga yang ada di belakang, makanya adekmu penasaran kenapa si Coco ke sana terus. Pas dia cari tau, ternyata ada kucing putih di situ. Kucingnya pake kalung, jadi pasti ada pemiliknya. Dari beberapa hari yang lalu, adekmu udah nungguin pemilik kucing itu buat ngejemput kucingnya, tapi ternyata kucing itu nggak dijemput-jemput. Makanya, adekmu sampe nangis. Dia sempet minta izin ke Mama buat ngambil kucing itu, tapi Mama larang gara-gara takut pemiliknya nyariin. Jadi, dia tambah galau.”
Mendengar penjelasan dari Mama, Atlas mulai mengernyitkan dahinya. Ia pun memandangi Zavie dengan mata yang sedikit menyipit.
Kucing putih…?
12Please respect copyright.PENANAhyog2FQk7v
******
12Please respect copyright.PENANA48H6jaNe8C
“Javi udah celecai, Ma,” ujar Zavie tiba-tiba saat Mama baru saja mau menyuapinya sesendok nasi. Itu baru suapan keempat dan Zavie sudah ingin menyelesaikan makan malamnya. Zavie menolak suapan itu dan mengalihkan pandangannya dari Mama. Kedua mata Mama kontan membeliak.
“Lho, Dek, baru empat suap—" ucapan Mama langsung terputus karena Zavie tiba-tiba turun dari kursinya dan langsung berjalan meninggalkan ruang makan. Meski Mama telah memanggilnya berkali-kali, Zavie tetap berjalan ke kamarnya dan langsung menutup pintu kamar itu begitu ia masuk ke sana.
Ketiga orang yang tersisa di ruang makan itu jadi sama-sama terdiam. Mereka semua memandang kepergian Zavie dengan heran. Zavie biasanya makan dengan lahap, tetapi beberapa hari ini bocah itu benar-benar tak selera makan. Well, seperti yang sudah diduga, kali ini Papa pun mulai heran.
“Ma, Adek kenapa?” Papa bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Papa liat kayaknya akhir-akhir ini dia murung… Papa ada salahkah?”
Mama menghela napas. Kali ini, bahu Mama pun tampak turun; Mama mulai bingung.
Mama akhirnya menatap Papa, lalu berkata, “Papa inget nggak, waktu itu Zavie pernah bilang ke Papa kalo Coco kayaknya punya temen baru?”
“Hmm, hmm.” Papa mengangguk. “Terus?”
“Itu, ternyata Coco memang dapet temen baru. Kucing putih. Kucing itu ada di belakang rumah, di tanaman hydrangea. Coco rupanya sering main ke situ karena ada kucing itu. Kucingnya pake kalung, jadi Zavie nungguin pemiliknya buat ngejemput kucing itu, tapi ternyata nggak dijemput-jemput.” Mama kembali menghela napas. “Beberapa hari yang lalu, Zavie minta izin ke Mama buat ngambil kucingnya, tapi…Mama larang. Makanya, dia jadi murung gitu. Apalagi, setelah empat hari pun, ternyata kucing itu belum juga dijemput sama pemiliknya.”
Setelah menjelaskan dengan panjang lebar, Mama pun menunduk. Ia terdiam.
Atlas sejak tadi juga hanya mendengarkan ucapan mamanya.
Akan tetapi, lima detik kemudian…tiba-tiba Papa membuka suara.
12Please respect copyright.PENANA9AA3zpuNG5
“Ya udah, bawa masuk aja kucingnya. Kan udah beberapa hari ditungguin. Kalo belum dijemput juga, ya berarti memang nggak dicari sama pemiliknya. Harusnya udah nggak apa-apa kalo kita pelihara. Kasian juga kucingnya tidur di luar terus sampe berhari-hari, apalagi si Adek kayaknya udah sayang sama kucing itu.”
12Please respect copyright.PENANAPxxUUFcAwy
Kontan saja mata Mama membelalak. Mama menganga.
“Serius, Pa? Boleh?”
Papa tersenyum lembut. Pria paruh baya itu lantas mengangguk. “Iya, serius. Boleh. Bawa aja kucingnya masuk. Kita pelihara aja. Papa nggak mau bocil Papa yang satu itu jadi murung. Kayaknya udah berhari-hari Papa nggak denger celotehannya. Rumah ini jadi sepi banget.”
Mama langsung tersenyum semringah. Ia mengembuskan napasnya lega; matanya berkaca-kaca tatkala menatap Papa. “He-em. Makasih, ya, Pa. Mama udah ngerasa bersalah banget. Hati Mama nggak tenang. Kemaren-kemaren, Mama takut banget mau ngambil kucingnya...”
Papa tertawa kecil. “Ya udah, besok ambil aja kucingnya, Ma. Kasih tau sama Adek.”
Mama pun menghapus air matanya. Wanita paruh baya itu lantas menatap Papa kembali, lalu tersenyum dan mengangguk. “Iya.”
12Please respect copyright.PENANA9oSKK5EXyR
******
12Please respect copyright.PENANAZGMcVRw9Ms
Hari ini hujan.
Ini sudah siang. Namun, bukannya makan atau tidur siang, Zavie malah keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Mama. Mama sedang mencuci pakaian, jadi Mama tidak tahu kalau Zavie diam-diam mengambil jas hujan warna coklatnya di dalam lemari dan pergi ke belakang rumah begitu ia mendengar suara hujan. Zavie ingin pergi menemui kucing putih itu. Hujannya cukup deras dan kucing itu masih ada di luar.
Kucingnya bakal kehujanan. Kucingnya bica cakit! Kucingnya pasti kedinginan, badannya pacti bacah cemua!!
Makanya, di sinilah Zavie. Dia berjongkok di depan tanaman hydrangea itu, memperhatikan si kucing putih yang terduduk di antara daun-daun bunga hydrangea. Mencoba untuk berteduh di bawah rumpun tanaman hydrangea itu. Kucing itu tampak kedinginan; sebagian bulunya mulai basah. Dia terus menjilat-jilat tubuhnya sendiri.
Zavie menatap kucing itu dengan sedih. Kelopak matanya turun tatkala menatap kucing itu. Zavie tampak sangat…lesu. Rasanya dunia ini kayak mau berakhir saja.
Sesaat kemudian, Zavie mulai tertunduk. Dia hanya memikirkan penderitaan kucing itu, padahal sebenarnya dirinya pun sedang berada di bawah hujan.
Kepala kecilnya itu dipenuhi dengan kesedihan sampai-sampai dia tak sadar bahwa hujan mulai turun semakin deras.
Cakit. Cakit banget. Javi enggak mau pulang. Biar Javi kehujanan juga.
Lama Zavie terdiam. Ia terus merenung di sana, berjongkok…sambil menunggu hujan reda. Kadang-kadang ia menunduk, kadang-kadang ia memperhatikan kucing itu dengan tatapan sedih.
Beberapa menit kemudian, saat Zavie sedang menunduk, tiba-tiba saja dia melihat ada sebuah bayangan berbentuk lingkaran gelap di tanah. Tanah di sekitar Zavie itu basah, tetapi tentu saja bayangan itu terlihat dengan jelas. Bayangan itu terlihat seperti…bayangan sebuah payung.
…eh?
Kalau dipikir-pikir…sepertinya kini tak ada air hujan lagi yang menetes di kepala Zavie.
Dengan pelan, Zavie pun akhirnya menoleh. Si kecil itu langsung mendongak karena agaknya…ada orang yang tengah memayunginya dari atas.
Begitu Zavie melihat ke atas, meskipun tubuhnya terasa lemas, perlahan-lahan…mata Zavie melebar.
Soalnya, di sana…
12Please respect copyright.PENANArldYr2eXR1
…ada Kak Atlas.
12Please respect copyright.PENANAZPFDFngYmU
Orang yang sedang memayunginya…adalah Kak Atlas.
12Please respect copyright.PENANAQLDq3i8yTc
Namun, belum sempat Zavie mengatakan apa-apa, tiba-tiba Kak Atlas mulai bersuara.
12Please respect copyright.PENANAy1bsInyWJP
“Dek, ayo pulang.” []
12Please respect copyright.PENANA3bRl9qd9YM