
******
Chapter 2 :
Baisemain
******
78Please respect copyright.PENANAmHd2pcbCuw
TEPAT setelah Kanna mengatakan itu, kontan saja kedua mata Riley membulat sempurna.
Melihat reaksi Riley, Kanna lantas merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Sial! Riley pasti kaget sekali! Ah, apa aku terlalu berlebihan, ya? Aku terlalu terbawa suasana, sementara Riley belum tentu mau!
Akan tetapi, di luar dugaan Kanna, mendadak ekspresi Riley berubah. Kedua mata pemuda itu menatap Kanna dengan lembut. Bukan hanya terlihat lembut dan penuh kasih, dia juga terlihat sangat lega. Dia tersenyum pada Kanna, senyuman yang mampu memberitahu Kanna bahwa ia sedang lega, senang, dan juga kagum kepada Kanna. Kagum, bangga, atau sesuatu sejenis itu. Seolah ia tak pernah menemukan manusia seperti Kanna sebelumnya.
Ekspresinya itu jelas membuat Kanna kaget. Kanna terdiam, mulutnya sedikit terbuka. Kedua mata Kanna melebar; ia benar-benar tak menyangka sekaligus terpesona. Di luar dari apa pun jawaban Riley nantinya, Kanna kembali mengakui bahwa Riley ini memang benar-benar tampan. Apakah Riley bahkan sadar bahwa dia memiliki paras yang begitu indah?
Bukan Kanna yang seperti malaikat, Rileylah yang seperti malaikat! Sosoknya bersinar sekali bagai baru saja turun dari surga.
Walau tadi Kanna sempat menyesali tawaran yang keluar dari mulutnya, kini ia kembali ingat mengapa ia memberikan tawaran itu kepada Riley.
Entah apa pun itu yang terjadi pada kehidupan Riley—hingga ia telantar di taman itu—bagi Kanna Riley ini tampak seperti sehelai kertas putih yang masih polos. Di mata Kanna, Riley terlihat seperti seseorang yang benar-benar innocent; diatidak pernah mengetahui dunia luar, tidak bisa membedakan mana orang yang jahat dan mana orang yang baik, serta tidak pernah berinteraksi dengan orang banyak. Inilah yang membuat Kanna merasa kalau dia harus…merawat Riley.Harus mengurusnya. Melindunginya.
Orang seperti Riley terlalu berbahaya untuk dibiarkan berkeliaran seorang diri. Di luar sana banyak orang jahat...bukan?
Riley mirip seperti sebuah kanvas putih. Benar-benar masih lugu.
Mereka berdua saling bertatapan dengan intens. Ada sesuatu yang seolah menarik Kanna untuk terus menatap wajah Riley. Kedua mata berwarna mint milik pemuda itu, wajah tampannya, senyum lembutnya, keindahan dan kepolosannya…
Namun, sesaat kemudian Riley akhirnya mulai bersuara. Matanya masih menatap Kanna dengan penuh kasih.
Dengan suara yang lembut…pemuda itu pun berkata, “Kau benar-benar seperti malaikat, Kanna.”
Suaranya terdengar begitu khas. Serak. Bariton. Di luar penampilannya yang terlihat begitu polos, dia ternyata memiliki suara yang sangat…bagus. Jenis-jenis suara yang sangat ingin kau dengarkan ketika sedang sleep call atau pillow talk. Suara yang akan membuat hatimu meleleh secara instan. Membuatmu semakin sayang dan semakin terlena. Begitu dalam, lembut, dan menenangkan. Memanjakan telinga.
Kanna masih diam. Gadis itu masih terpesona.
“Aku berencana untuk menjagamu dari kejauhan sebagai bentuk terima kasih,” lanjut Riley kemudian. Pemuda itu semakin melebarkan senyumnya, lalu memiringkan kepalanya. “tetapi karena kau menawarkanku untuk tinggal bersamamu…aku sangat bersyukur.”
Belum sempat Kanna bereaksi apa pun, Riley mulai beringsut semakin mendekat kepada Kanna dan meraih tangan kanan gadis itu. Riley menggenggam tangan kanan Kanna, mengangkatnya, lalu mengarahkan jemari tangan gadis itu ke bibirnya. Ia mulai mencium jemari tangan Kanna.
Kanna lantas semakin melebarkan mata.
Setelah Riley melepaskan ciumannya dari tangan Kanna, pemuda itu pun kembali tersenyum lembut. Ia mengangkat kepalanya dan kembali memandangi wajah Kanna. Tatapan matanya masih sama. Ia seakan tengah melihat seorang dewi, malaikat—atau apa pun itu—yang begitu ia kagumi, begitu ia banggakan, dan begitu berarti di dalam hidupnya.
“Aku akan melayanimu,” ujar Riley kemudian. “Biarkan aku melayanimu, Kanna.”
Akan tetapi, tepat setelah mendengar kata-kata Riley itu, tiba-tiba Kanna tersadar. Spontan saja tubuh gadis itu menegang, mulutnya menganga lebar. Ia langsung menegakkan posisi tubuhnya dan menarik tangan kanannya dari genggaman Riley, lalu menggerakkan kedua tangannya itu ke kanan dan ke kiri dalam tempo cepat sebagai pertanda penolakan. Kanna bahkan membuat gestur menyilangkan kedua tangannya membentuk ‘X’ tepat di depan tubuhnya. Gadis itu jadi panik bukan main.
“Tidak tidak tidak!! Astaga, Riley, tidak!” teriak Kanna panik, sukses membuat Riley jadi terlihat agak bingung. Pria itu tampak memiringkan kepalanya dan menaikkan kedua alisnya hingga matanya membulat lucu seperti kelinci.
Kanna menggigit bibirnya dengan gelisah, mengerutkan dahinya, lalu melanjutkan, “Bukan begitu, Riley. Aku tidak menyuruhmu tinggal di sini untuk melayaniku! Ma—maksudku, kau boleh tinggal di sini dan hidup seperti biasa. La—lagi pula, aku…”
Mendadak pipi Kanna merona. Gadis itu membuang muka dan tak mampu melanjutkan perkataannya. Dia hanya kembali menggigit bibirnya, tetapi kali ini bukan karena gelisah, melainkan karena malu.
“Aku…?” tanya Riley dengan mata bulatnya, pemuda itu menatap Kanna dengan rasa ingin tahu.
“Aku…” Kepala Kanna perlahan menghadap ke arah Riley lagi, tetapi gadis itu masih tertunduk. Masih enggan menunjukkan wajahnya sepenuhnya kepada Riley.
Setelah dua detik lamanya, akhirnya Kanna pun melanjutkan.
78Please respect copyright.PENANAydEk5hMSqz
“Aku…kesepian.”
78Please respect copyright.PENANA17NZ8D2nlH
Tak ayal kedua mata Riley membeliak. Kini gantian Riley yang terperangah.
Kanna…kesepian?
Tepat setelah mengatakan itu, Kanna perlahan mulai mengangkat wajahnya. Gadis itu menatap Riley dengan polos. Bibirnya melengkung ke bawah, agak merajukkarena terlalu malu.Matanya jernihnya itu agak berkaca-kaca dan tampak…memelas. Seperti seekor anjing kecil.
Tanpa Kanna sadari, jemari tangan kanan Riley tampak sedikit bergetar tatkala melihat ekspresi Kanna itu. Jemarinya bergerak kecil—seakan ingin melakukan sesuatu—tetapi ia tahan dengan sekuat tenaga. Karena memutuskan untuk menahannya, pemuda itu pun lantas mengepalkan tangannya.
Riley mulai tersenyum manis lagi pada Kanna.
“Aku senang mendengarnya, Kanna,” jawab Riley. “tetapi aku tak mau menjadi bebanmu. Anggaplah ini sebagai caraku untuk berterima kasih padamu.”
Riley pun kembali meraih jemari tangan Kanna dan menciumnya. “Please use me, Kanna.”
Kanna terkesiap. Ia kaget sekaligus bingung setengah mati!
Ya Tuhan, apa ini? Kanna harus bagaimana? Harus menjawab apa? Terus terang saja, Kanna memang tak pernah berniat untuk ‘memanfaatkan’ atau ‘menggunakan’ Riley. Dia tak pernah berpikir untuk menjadikan manusia lain, terutama manusia yang membuatnya tertarik, sebagai pelayannya!
Riley menatap Kanna dengan penuh pengertian. Dia mencoba untuk meyakinkan Kanna dan berkata, “Kalau kau tidak ingin aku jadi pelayanmu, kau bisa menggunakanku untuk hal yang lain. Mintalah aku untuk melakukan sesuatu, apa pun itu, Kanna. Ini permintaanku kepadamu selaku penyelamatku.”
Kanna memandangi Riley sebentar, lalu tertunduk. Gadis itu kembali menggigit bibirnya karena bingung. Isi kepalanya kalut untuk beberapa saat. Alisnya menyatu dan dahinya berkerut; ia tengah berpikir keras.
Eh, tetapi…tunggu sebentar.
Riley tadi bilang…‘melakukan sesuatu, apa pun itu’, bukan?
Berarti…
“Baiklah,” ujar Kanna tiba-tiba, gadis itu langsung menatap Riley dengan serius. Kedua matanya mendadak terlihat begitu berapi-api. Berkilat penuh semangat. Dipenuhi dengan tekad. Dia kini sudah yakin harus mengatakan apa.
“Kalau begitu…kau bisa membantuku beres-beres rumah,” ujar Kanna. “Selain itu, pekerjaanmu simpel: pertama, kau harus makan dan minum dengan teratur. Kedua, hiduplah dengan baik agar tubuhmu sehat. Lakukan itu untukku.”
Riley sontak membulatkan kedua matanya. Pemuda itu terdiam sepenuhnya.
Namun, sesaat kemudian pemuda itu mulai tersenyum; dia kembali tersenyum lembut pada Kanna. Dia menatap Kanna dengan penuh ketertarikan. Penuh kekaguman. Penuh dengan afeksi.
“Kanna, you’re so cute…” puji Riley dengan lembut. “Belum pernah ada orang yang menyuruhku untuk makan, minum, serta hidup dengan baik…”
Wajah Kanna serta-merta memerah. Dia ingin memalingkan wajahnya dari Riley, tetapi Riley langsung memegang pipinya. Otomatis mereka jadi kembali bertatapan.
Akan tetapi, kali iniwajah mereka jadi nyaris menempel karena Riley ternyata telah mendekatkan wajahnya ke wajah Kanna. Wajah tampan milik Riley itu tampak bersinar. Bercahaya. Indah. Bagaikan sesuatu yang terlihat begitu jauh untuk Kanna gapai dengan kedua tangannya; bagaikan sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Wajah pemuda itu juga terkena serpihan sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah gorden.
Wajah Riley itu tak memiliki kecacatan sama sekali. Mulus. Wajahnya juga sudah memiliki rona sejak diselamatkan oleh Kanna semalam.
Oh, Tuhan. Kanna lagi-lagi sadar bahwa: ada seorang laki-laki yang tadi malam tidur bersamanya. Laki-laki itu sekarang sedang mengobrol dengannya di atas ranjang, hanya memakai pakaian rumahan berupa kaus putih polos dan celana training abu-abu. Laki-laki itu berwajah tampan, memiliki rambut yang di-bleaching putih—mungkin—seperti seorang idola atau karakter komik. Rambutnya itu tampak lurus dan jatuh; tidak ikal dan tidak tegak-tegak. Rambut itu tampak begitu halus dan lembut, polos khas baru bangun tidur.
Situasi mereka yang seperti roommate ini membuat Kanna jadi semakin gugup. Dia salah tingkah. Pipinya semakin merona.
Namun, Riley masih tersenyum. Seraya mengusap pipi Kanna dengan lembut menggunakan jempolnya, ia pun berkata, “Kalau begitu, aku akan membuatkanmu sarapan, ya.”
78Please respect copyright.PENANAtAy5nGsRoY
******
78Please respect copyright.PENANAblfhKarohG
Kanna menghidupkan shower dengan cepat, lalu ketika air dari shower itu mengguyur tubuhnya, ia langsung menempelkan kedua tangannya ke dinding kamar mandi dengan kencang (hampir seperti memukul dinding itu). Setelah itu, ia serta-merta menunduk; matanya memelotot, lalu ia berteriak secara internal. Mulutnya terbuka lebar. Ekspresinya tampak panik bukan main.
AAAARGGHHH!!!! BAGAIMANA INIII??!! APA YANG BARU SAJA TERJADIII??!!
HUAAAA!! AKU SEKARANG TINGGAL BERSAMA SEORANG LAKI-LAKI!! SERIUS, NIH?!!! WTF AM I DOING?! WHY DID I LET A GUY LIVE WITH ME THAT EASY?! MENGAPA AKU PERCAYA BEGITU SAJA DENGAN LAKI-LAKI YANG BARU KUTEMUI?!
Kanna hampir saja membenturkan kepalanya pada dinding kamar mandi kalau saja dia tidak ingat bahwa dinding itu terbuat dari granit. Dia bisa-bisa masuk IGD terlebih dahulu sebelum bisa mencecap bagaimana rasanya tinggal bersama seorang lelaki tampan.
Jadi, sebelum Kanna pergi ke kamar mandi, dia dan Riley sudah membuat sebuah kesepakatan sederhana. Riley akan membuat sarapan, sementara Kanna akan mandi dan bersiap-siap karena mau berangkat ke kantor. Namun, kalau begini…rasanya seperti pengantin baru saja. Sial, pikiran Kanna jadi ke mana-mana! Dinginnya air yang mengucur dari shower itu ternyatatak mampu untuk meredakan panas di pipinya. Wajahnya memerah bukan main.
Kanna mandi dengan terburu-buru. Dia tak lagi peduli apakah tubuhnya benar-benar bersih atau tidak; dia hanya memastikan bahwa tidak ada lagi busa yang menempel di tubuhnya. Asal busanya hilang dan dia sudah gosok gigi, maka dia sudah oke untuk keluar. Saat ini jantungnya terlalu berdebar-debar dan ia tak mau berlama-lama di dalam kamar mandi atau ia akan terlambat ke kantor karena terlalu lama salah tingkah.
Saat tubuhnya telah mengenakan bathrobe dengan sempurna, Kanna pun keluar dari kamar mandi. Begitu ia membuka pintu kamar mandi, aroma masakan yang enak dari dapur langsung tercium di hidungnya. Ini…aroma omelette. Kanna menghirup aromanya seraya memejamkan mata. Wah, sepertinya enak sekali.
Mendadak perut Kanna jadi merasa lapar. Berhubung lokasi kamar mandi sebenarnya tidak jauh dari dapur (hanya butuh berjalan beberapa langkah), maka Kanna pun langsung pergi ke dapur.
Di dapur, Kanna melihat Riley yang sedang menuangkan saus ke atas dua piring berisi omelette. Omelette-nya terlihat sempurna.
Ketika mendengarkan langkah kaki Kanna, Riley pun menoleh. Begitu sepasang mata berwarna mint miliknya melihat sosok Kanna yang berjalan ke arahnya, Riley langsung tersenyum semringah. Wajahnya tampak berseri-seri. Sinar mentari yang masuk melalui jendela dapur mendadak lari semua ke wajahnya. Dia terlihat begitu bersinar…
Kanna langsung memalingkan wajahnya sebentar dan memejamkan matanya kuat-kuat. Pipinya merona lagi. Dalam hatinya ia langsung berkata, ‘Sial, tampan sekali! Malaikat macam apa yang sedang ada di rumahku ini??!’
“Ah, Kanna,” panggil Riley dengan gembira. Kanna pun sontak menoleh kepada Riley lagi dan menemukan bahwa pemuda itu semakin tersenyum lebar pada Kanna hingga memperlihatkan barisan giginya. Lord, why is he so cute?!
“I—iya, Riley,” jawab Kanna. Gadis itu berusaha untuk menormalkan ekspresinya, lalu berdeham. Dia tak boleh kelihatan salah tingkah terus, takutnya nanti Riley jadi tidak nyaman. “Kau…sudah selesai, ya?”
“Uh-hm!” jawab Riley. “Aku berusaha untuk membuat sesuatu yang simpel agar tidak membutuhkan waktu yang lama. Kau mau berangkat kerja soalnya. Apakah kau suka omelette?”
Kanna melebarkan mata. “Ah—iya, iya. Aku suka.” Apalagi kalau kau yang memasaknya.
Kanna akhirnya berdiri di dekat meja makan. Dia dan Riley kini berdiri berseberangan, tubuh mereka dipisahkan oleh meja makan yang berwarna krem. Riley meletakkan botol saus yang tengah ia pegang itu di atas meja, lalu menatap Kanna dengan lembut dan berkata, “Kau boleh bersiap-siap terlebih dahulu. Aku akan menunggumu.”
Kontan Kanna terperanjat. Oh, iya! Dia belum berpakaian! Astaga!
Dengan pipi yang merona, Kanna pun menarik bagian kerah bathrobe-nya agar menutupi seluruh bagian leher hingga dadanya, padahal sejak tadi tidak ada sedikit pun bagian dadanya yang terlihat. Gadis itu pun langsung panik dan cepat-cepat berjalan meninggalkan dapur seraya berkata, “A—aku pakai baju dulu. Tunggu, ya. Tunggu! Aku hanya sebentar!!”
Kanna tampak memelesat ke kamarnya dengan tanpa rem. Ketika sudah masuk ke kamar, gadis itu langsung menutup pintu kamarnya dengan terburu-buru.
Riley memperhatikan gerakan mengebut Kanna hingga sosok gadis itu tak terlihat lagi di matanya. Tepat ketika Riley mendengar suara pintu—pintu kamar Kanna—yang tertutup, Riley pun menghela napasnya dan tersenyum lembut.
Ada-ada saja.
Kanna ini…imut sekali.
Akan tetapi, tiga detik kemudian…senyuman Riley perlahan-lahan menghilang. Memudar. Kedua mata milik pemuda itu yang tadinya selalu memberikan tatapan lembut…kini beralih memberikan tatapan dingin yang penuh dengan intimidasi. Dia seakan memenjarakan segala sesuatu yang ada di dalam jarak pandangnya. Untuk saat ini, matanya fokus menatap pintu kamar Kanna.
Seharusnya Kanna tidak usah pergi ke mana-mana.
78Please respect copyright.PENANAc5b6Q64Ig5
******
78Please respect copyright.PENANAs6vqv2iOAu
Kanna keluar dari kamarnya dan langsung menemui Riley kembali. Dia lantas pergi ke meja makan—yang sebenarnya terletak beberapa langkah di depan dapur—karena ia tahu bahwa Riley pasti sedang menunggunya di sana. Dia kini sudah memakai setelan blazer serta rok pendek hitamnya. Ia memakai stocking berwarna hitam dan kemeja berwarna putih. Rambutnya dikucir satu dengan gaya yang simpel saja karena dia tidak punya banyak waktu. Tadi dia sudah bilang pada Riley bahwa dia tidak akan lama. Dia bahkan belum memakai makeup. Nanti saja, deh.
Begitu Kanna sampai di meja makan, Riley langsung menyambutnya dengan senyuman. Pemuda itu sudah duduk di salah salah satu kursi yang ada di dekat meja makan itu dan Kanna membalas senyumannya.
“Maaf. Lama, ya?” tanya Kanna seraya menarik kursi yang ada di seberang Riley.
Riley menggeleng. Ia tersenyum dengan semakin manis. “Tidak kok. Ayo makan.”
“Iya,” jawab Kanna. Gadis itu pun lantas mengambil sendok yang sudah disiapkan oleh Riley dan mengangguk. “Selamat makan.”
“Selamat makan,” ucap Riley. Mereka berdua pun mulai menyendok suapan pertama.
Begitu suapan pertama itu sampai di dalam mulut Kanna, Kanna kontan memelotot. Matanya langsung berbinar-binar. Wajahnya jadi berseri-seri.
Astaga, ini enak sekali!
Omelette-nya lumer di dalam mulut. Di dalamnya juga…ada nasi goreng. Lho, ini omurice!
“Hmmmmmmm!!” teriak Kanna secara refleks. Ia memegangi sebelah pipinya sendiri seolah sedang kesengsem. “Riley, ini enak sekaliiii!!”
Melihat reaksi Kanna, Riley awalnya agak melebarkan mata. Namun, ketika pemuda itu menyaksikan Kanna yang mulai memejamkan mata seakan benar-benar menikmati masakannya, ia pun tersenyum lega. Dia terlihat semringah, lalu mengembuskan napasnya seolah-olah ada satu beban yang akhirnya terlepaskan dari sana.
“Terima kasih, Kanna,” jawab Riley. “Tadi aku benar-benar takut kau tidak akan menyukainya. Namun, syukurlah kalau kau suka… Aku senang. Haha…”
Kanna kontan membuka matanya kembali. “Apa yang kau bicarakan?! Ini enak sekali, lho! Kau sangat pintar memasak, Riley! Di mana kau belajar memasak??!” Kanna memajukan tubuhnya, matanya membulat karena penasaran. Dia terlihat benar-benar excited sekarang.
Melihat itu, Riley jadi memiringkan kepalanya dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pemuda itu pun terkekeh pelan, meluruskan kepalanya kembali, lalu melihat Kanna seraya tersenyum.
“Aku…lumayan sering memasak untuk diriku sendiri. Aku juga sering melihat resep-resep…” jawab Riley, dia terlihat agak ragu tatkala menceritakan hal itu kepada Kanna. Namun, Kanna—yang sedang penasaran bukan main itu—kini justru melongo. Satu hal yang ada di pikiran Kanna saat ini adalah:
Oh dear God in heaven, this guy is so precious. Please please please please just—
Ekspresi wajah Kanna betul-betul blank saat bertanya, “Riley, apakah seseorang pernah mencoba untuk menculikmu?”
Kontan mata Riley membulat.
Mereka sama-sama diam selama empat detik, lalu…
“Hahahahaha!” Riley tertawa. Pemuda itu benar-benar tertawa lepas! Tawanya sukses membuat Kanna meraih kesadarannya kembali, tetapi kesadarannya itu lagi-lagi direnggut karena ia mulai terpesona melihat Riley yang sedang tertawa.
Ya Tuhan. Ini luar biasa. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, wahai Kanna.
Entah mengapa Kanna mendadak seolah melihat ada sayap imajiner yang membentang di balik punggung Riley. Seakan ada bunga-bunga juga yang jadi latar belakang sosoknya. Ada bunga-bunga, ada kupu-kupu, dan…ada dua cupid yang sedang meniup terompet.
Aaaahhhh! Tampan sekaliii! Bungkus!
“Kanna ini ada-ada saja,” ujar Riley seraya masih mencoba untuk menghentikan tawanya. Ketika tawanya benar-benar berhenti, ia pun tersenyum lebar kepada Kanna. “Kau begitu menggemaskan.”
Pipi Kanna merona. Ia langsung sadar bahwa pertanyaannya tadi terdengar tolol setengah mati. Namun, mau bagaimana lagi? Itulah hal pertama yang terlintas di kepalanya beberapa saat yang lalu. Riley ini terlalu polos dan terlalu…unreal. Terlalu sayang untuk dilewatkan.
Bisa-bisanya Riley telantar di taman itu semalam. Untung saja Kanna menemukannya lebih dulu.
Ya…siapa cepat dia dapat, dong.
“Habisnya…” Kanna tak melanjutkan kalimatnya karena merasa malu; dia tak ingin menyuarakan isi pikirannya yang tak-boleh-diketahui itu pada Riley.
Riley tersenyum geli. Namun, sesaat kemudian Riley memiringkan kepalanya dan bertanya, “Kanna suka makan apa? Lain kali aku akan mencoba untuk memasak makanan favoritmu.”
Kanna melebarkan matanya. “Eh? Aku…? Umm…”
“Hmm?” deham Riley lembut, menunggu jawaban Kanna. Kanna hampir meleleh karena mendengar Riley berdeham, tetapi gadis itu berusaha untuk tetap fokus. Dia meletakkan jemarinya di dagu dan melihat ke arah lain; dia sedang berpikir.
Sesaat kemudian, dia pun menatap Riley kembali. “Aku suka… Hamburger steak!”
“Oooh…begitu, ya,” jawab Riley. Pemuda itu mengangguk perlahan. “Kalau…dessert-nya?”
Kanna tersenyum lebar. Kali ini ia langsung menjawab Riley dengan yakin, “Apa pun, yang penting ada coklatnya.”
Riley terkekeh. “Baiklah. Aku akan mempelajari banyak resep untukmu.”
“Sebenarnya, kau tak perlu…” Kanna mulai cemas karena dia tak ingin melihat Riley kesulitan, tetapi Riley langsung meletakkan jari telunjuknya di bibir Kanna dan menggeleng. “Sssh… Kanna, kita sudah bicara soal ini. Tolong biarkan aku melakukannya, ya?”
Akhirnya, Kanna yang tadinya membelalakkan mata—karena jari telunjuk Riley menempel pada bibirnya—kini mulai mengembuskan napasnya pasrah. Begitu jari telunjuk Riley menjauh dari bibirnya, Kanna pun mulai berbicara meskipun sambil cemberut, “Baiklah…”
Riley tersenyum. “Kau pulang jam berapa, Kanna?”
Mereka mulai menyuap potongan omelette ke dalam mulut mereka masing-masing, lalu Kanna menjawab, “Hmm…biasanya sore. Jam lima sore. Hari ini juga begitu.”
Diam sejenak. Mereka sama-sama makan selama beberapa detik; tidak ada jawaban sama sekali dari Riley.
Setelah diam selama enam detik, tiba-tiba suara Riley terdengar.
78Please respect copyright.PENANAkBGIpEuaI2
“Kau akan kembali, ‘kan?”
78Please respect copyright.PENANABjHfcv5qtK
“Eh?” Kanna kontan menoleh kepada Riley dan melebarkan kedua matanya. Ia melihat Riley yang sedang menatapnya, tetapi dengan tatapan mata yang…agak berbeda. Pemuda itu kali ini terlihat serius. Tidak ada senyuman sama sekali di wajah tampannya. Ia bagai menjebak Kanna menggunakan tatapan matanya dan entah mengapa hal itu berhasil membuat tubuh Kanna jadi mematung. Kanna jadi tidak kuasa untuk bergerak dengan bebas. Tekanannya seolah membelenggu Kanna. Gadis itu berusaha untuk mencerna pertanyaan dari Riley sejenak.
Namun, pada akhirnya Kanna mencoba untuk menguasai dirinya. Dia sendiri heran mengapa tadi tubuhnya tiba-tiba mematung, padahal…apa juga yang akan terjadi? Tidak ada apa-apa di sini. Hanya ada Riley yang polos. Pasti tubuh Kannalah yang sedang eror.
Mencoba untuk menghilangkan suasana yang tegang dan canggung itu, Kanna pun tersenyum. “Y—ya, tentu saja. Memangnya kenapa, Riley?”
Riley hanya diam.
Setelah bungkam selama empat detik lamanya, pemuda itu lalu tersenyum.
Ia pun kembali bersuara.
78Please respect copyright.PENANA6GQGDWIYkp
“Aku akan menunggumu.”
78Please respect copyright.PENANAHFZcfwPkms
Kedua mata Kanna membeliak. Kanna sadar bahwa kalimat Riley kali ini terdengar berbeda…meskipun pemuda itu masih mengucapkannya dengan suara dan nada yang sama. Pemuda itu tersenyum manis, kedua kelopak matanya nyaris tertutup seakan ikut tersenyum. Ia masih berbicara dengan suara lembutnya dan nada ramahnya. Semuanya sama seperti sebelumnya, tetapi mengapa…yang kali ini terdengar dan terasa agak berbeda?
Meskipun demikian, Kanna langsung menepis segala perasaan itu. Dengan wajah yang semringah, Kanna pun tersenyum manis; ia membalas senyuman Riley. “Baiklah. Tunggu aku, ya.”
78Please respect copyright.PENANAlJ0wBB4pJG
******
78Please respect copyright.PENANAOLIfS9KdDw
Your data has been saved successfully!
78Please respect copyright.PENANAPDHDWGLmvY
Dialog box itu muncul saat Kanna baru saja selesai menyimpan data yang sejak tadi ia input ke website. Kanna langsung mengembuskan napasnya lega.
Huah. Akhirnyaaaa! Akhirnya, pekerjaan hari ini selesai juga.
Kanna meregangkan otot-ototnya dengan mengangkat kedua tangannya ke atas. Ia memejamkan mata, lalu memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Lehernya terasa pegal-pegal semua.
Capek sekali, ya ampun. Sekarang aku bisa pulang, deh!
Kanna tersenyum. Dia jadi ingat dengan Riley yang sedang menunggunya di rumah. Ah, jantungnya jadi berdebar tak keruan. Dia jadi excited. Semangatnya naik drastis; lelah yang ia rasakan tadi mendadak hilang begitu saja tatkala mengingat bahwa ada sosok Riley yang sedang menunggunya di rumah.
Ah, rasanya seperti pasangan suami is—
…ups. Mulai lagi, deh, imajinasi Kanna.
Kanna menggeleng, ia hampir saja tertawa. Gadis itu pun mulai mematikan komputernya dan membereskan meja kerjanya dengan semangat. Ia memasukkan barang-barangnya ke dalam tas seraya tersenyum. Ini sudah jam pulang; beberapa teman Kanna sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu.
Setelah selesai beres-beres, Kanna pun meraih tasnya dan menyampirkan tas selempang itu di pundaknya. Ia bangkit dari duduknya dan baru saja mau belok ke kanan untuk keluar dari kursinya tatkala tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya.
“Kannaaa!!”
Kanna tidak jadi melangkah. Matanya melebar, tubuhnya langsung terdiam sejenak. Namun, akhirnya Kanna mulai mengangkat kepalanya untuk melihat ke asal suara. Itu seperti…suara Bu Erika, Sekretaris Bos.
Belum sempat Kanna menjawab panggilan tersebut, tiba-tiba Kanna melihat ada seseorang yang lewat di depan kubikelnya. Hanya terlihat rambutnya, tetapi Kanna tahu bahwa orang itu sedang menuju ke kubikelnya. Kedua mata Kanna pun lantas mengikuti pergerakan rambut orang tersebut.
Orang itu kini mulai berbelok dan berjalan di samping kubikel Kanna. Tiga detik kemudian, orang itu pun akhirnya sampai di kubikel Kanna dan benar-benar berhadapan dengan Kanna. Dia berdiri di dekat ‘pintu masuk’ kubikel Kanna dan mulai mengetuk dinding kubikel Kanna yang terbuat dari papan phenolic.
“Ya, Bu?” jawab Kanna karena kini dia sudah yakin bahwa orang yang memanggilnya tadi adalah Bu Erika. “Ada apa, Bu?”
Bu Erika pun tersenyum dengan canggung, ia agaknya merasa tidak enak. “Ah…kau sudah mau pulang, ya.”
“Oh—iya, Bu, haha…” Kanna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu gadis itu tertawa hambar. “Memangnya ada apa, Bu?
Bu Erika mengembuskan napasnya samar. “Begini, Kanna. Bos kita ada presentasi dadakan besok. Aku minta maaf karena sudah menganggu jam pulangmu, tetapi…presentasi itu harus selesai malam ini, Kanna. Bos berkata bahwa dia akan rapat bersama kita—staf-staf yang terlibat—sebentar lagi. Sayang sekali kau belum boleh pulang, Kanna… Hari ini kau lembur dulu, ya?”
Kanna spontan saja melebarkan kedua matanya.
Lembur?
Ah, siaaaal…
Kemarin Kanna sudah lembur. Hari ini lembur lagi?
Siaaaaaaaalllll, padahal sudah semangat sekali mau pulang…
Kanna tertunduk. Gadis itu merutuk kesal di dalam hati. Ia menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak mengeluarkan erangan kecewa di depan Bu Erika.
Aiiishhh. Pengin pulang…huaaaaa!
Tiba-tiba kedua mata Kanna melebar penuh. Oh iya, Riley! Bagaimana dengan Riley?! Kanna sudah bilang pada pemuda itu bahwa Kanna hari ini pulang jam lima sore. Kalau lembur begini, Kanna pasti akan pulang telat! Aduh, bagaimana ini?!
78Please respect copyright.PENANA9UgitbGRS4
******
78Please respect copyright.PENANARI7mS1qt7D
Kanna berjalan ke rumahnya dengan langkah gontai. Seluruh tubuhnya terasa begitu lelah, tulangnya seakan remuk semua. Begitu keluar dari kubikelnya tadi (setelah selesai lembur), Kanna sudah berjalan membungkuk dengan mata yang lelah. Dia betul-betul dibuat lembur hingga malam hari! Hari ini dia kerja bagai kuda sampai-sampai seluruh energinya habis. Dia bahkan sudah tak semangat lagi untuk berjalan kaki. Rasanya dia ingin langsung membanting tubuhnya ke kasur dan tertidur sampai besok siang. Sejak tadi ia sudah membayangkan betapa nikmatnya menjatuhkan tubuh letihnya itu ke atas ranjangnya yang empuk.
Aaaah, kapan sampainya ini? Mengapa rumah mendadak terasa jauh sekali?
Kanna melewati kompleks perumahan itu sendirian di dalam gelapnya malam, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan. Area kompleks perumahan itu terbilang aman. Jadi, Kanna tidak pernah menemui bahaya apa pun meskipun dia selalu pulang sendirian.
Begitu sampai di depan pagar rumahnya yang terbuat dari kayu, Kanna pun membuka pintu pagar itu dan menutupnya kembali. Ia melewati halaman rumahnya yang luas. Halaman itu hanya berupa tanah kosong biasa, tetapi di pangkalnya (tepat di depan teras rumah) ada beberapa pot bunga yang Kanna susun berjajar. Rumah itu adalah rumah minimalis biasa yang terbuat dari kayu dan memiliki satu lantai, tetapi halamannya luas.
Begitu naik ke teras rumahnya, Kanna pun langsung melangkah ke pintu depan rumahnya dan mulai memegang kenop pintu. Ia menekan kenop pintu itu ke bawah, lalu mendorong pintunya. Pintu itu tidak dikunci; ia memang meninggalkan kunci rumah karena kini di rumahnya ada Riley.
Akan tetapi, saat Kanna telah membuka pintu itu separuh, alangkah terkejutnya ia tatkala tiba-tiba saja pintu itu ditarik dengan kencang dari dalam. Ada tangan seseorang yang semakin membuka pintu itu agar pintu itu terbuka sepenuhnya. Kanna terperanjat, gadis itu sontak membulatkan matanya. Kanna langsung melihat ke bagian kanan bawah; ia ingin melihat orang yang tengah menarik pintunya, lalu menemukan Riley di sana yang sedang duduk berlutut sembari mendongak. Pemuda itu menatap Kanna dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua mata pemuda itu tampak melebar penuh, lalu ia berteriak, “Kanna!!”
Riley kelihatan seperti sedang duduk di balik pintu! Apa yang dia lakukan di sana?! Apa dia sudah duduk di sana sejak tadi?!
“Riley?!” panggil Kanna kaget, mata gadis itu masih membulat. Ia melepaskan kenop pintu yang tengah ia pegang, lalu langsung melangkah mendekati Riley. Kanna baru saja mau merundukkan tubuhnya agar sejajar dengan posisi Riley tatkala tiba-tiba Riley berdiridan langsung memeluk tubuhnya.
Kini mata Kanna sudah memelotot sempurna. Riley memeluknya dengan erat, begitu erat, seakan-akan Kanna akan pergi atau kabur begitu saja apabila pelukan itu terlepas.
Apa…yang sebenarnya terjadi?
Kanna mengangkat kedua alisnya. Dahinya berkerut. Meski terbata-bata, Kanna tetap berusaha untuk berbicara, “Ri—ley? Apa yang—”
Belum sempat Kanna menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba saja tubuh Riley merosot ke bawah. Pelukannya ikut merosot ke bawah seakan-akan pemuda itu telah kehabisan energi. Tubuh Riley terus merosot ke bawah hingga sekarang pemuda itu jadi duduk bersimpuh di depan kaki Kanna. Kedua tangannya memegang betis Kanna dengan erat sampai-sampai Kanna merasa kalau betisnya sedang dicengkeram. Riley menunduk; kening pemuda itu bersandar pada paha Kanna.
Ada sebuah isakan yang keluar dari bibir pemuda itu.
“Ah…syukurlah. Syukurlah…” ujar Riley seraya terisak. Dahi pemuda itu berkerut, ia tampak begitu tersiksa karena pikirannya sendiri. Pikirannya begitu kacau. Ia terlihat sangat frustrasi; air matanya jatuh ke lantai. Suaranya bergetar, ia terdengar gelisah, takut, dan lega secara bersamaan. Dengan tangan yang gemetar—yang semakin mencengkeram betis Kanna—itu, ia pun melanjutkan, “Kupikir—kupikir kau telah meninggalkanku. Kupikir ada yang tak kau sukai dari sikapku hari ini sehingga kau tak mau kembali…”
Kanna spontan tergemap. Kedua matanya lantas kembali membulat; gadis itu menganga. Ia langsung berjongkok dan memegang bahu Riley dengan kedua tangannya. “Riley?? Apakah kau baik-baik saja?! Astaga, maaf—maafkan aku!”
Riley tampak masih mengeluarkan air mata. Kanna langsung mengusap air mata pemuda itu dengan panik; dahi Kanna berkerut dan ia jadi merasa bersalah sekali pada Riley. “Maaf, Riley. Aku hari ini ada lembur dadakan… Tadi ada tugas tambahan dari kantor. Maaf, sungguh. Maafkan aku, Riley.”
Kanna benar-benar merasa bersalah. Ia tadi juga bingung bagaimana caranya untuk memberitahu Riley soal lemburnya itu karena Riley tidak memiliki ponsel. Riley itu telantar, ingat?
Tepat satu detik setelah Kanna menjelaskan situasinya, perlahan-lahan Riley mulai mengangkat kepalanya. Pemuda itu mulai menatap Kanna dan air mukanya perlahan berubah. Kedua matanya mulaimembulat polos; iris matanya berkilauan. Wajahnya mulai kembali memancarkan cahaya. Ia lantas bertanya kepada Kanna, “Really? You mean it?”
Kanna mengembuskan napasnya lega tatkala Riley berhenti menangis. Meskipun lega, ia masih kepikiran dengan apa yang Riley alami hari ini karenanya. Baru kali ini ia membuat seorang pemuda menangis.
Riley ternyata…setakut itu Kanna meninggalkannya. Pemuda itu langsung berpikir ke mana-mana hanya karena Kanna telat pulang. Mengapa Riley setakut itu? Bukankah…mereka baru bertemu?
Ada setitik perasaan aneh yang mampir di benak Kanna, tetapi Kanna mulai mencari-cari alasan yang tepat. Riley jadi seperti ini pasti ada hubungannya dengan apa yang telah pemuda itu alami selama hidupnya. Melihat Riley yang kemarin telantar sendirian, pasti kehidupannya selama ini tidak baik. Tidak layak. Dia pasti tersiksa.
Kanna jadi semakin bersimpati. Gadis itu pun lantas mengangguk. “Yes. I’m so sorry. Mengapa kau menangis?”
Riley mulai menghapus sisa-sisa air matanya, lalu ia menatap Kanna lagi dengan matanya yang lembap itu. “I’ve been thinking of you the whole day. I’m—I’m so worried. I’ve been wondering what you’ve been up to, whom you’re talking with, what you were talking about… I’m going crazy.”
Kanna terkejut bukan main; ia tertegun. Apa—apa-apaan yang sedang Riley bicarakan? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Mengapa pikiran Riley sampai sejauh itu?! Pemuda itu bahkan sampai memikirkan apa saja yang Kanna lakukan dan dengan siapa saja Kanna berinteraksi!
“Riley, just what—”
“I miss you,” ucap Riley tiba-tiba. Riley langsung menggenggam sebelah tangan Kanna yang tengah memegang bahunya itu. Kedua mata indah milik Riley kini menatap Kanna dengan penuh permohonan. Matanya kembali berkaca-kaca. “Please don’t leave me, Kanna. Please…”
Kanna kontan membelalakkan mata. Tubuhnya mematung selama beberapa detik lamanya.
Ah, tiba-tiba Kanna jadi teringat sesuatu. Gadis itu ingat bahwa dulu sekali, ibunya pernah berpesan seperti ini padanya:
“Kanna, jangan membawa masuk sembarang orang ke rumahmu, ya. Kita tak tahu orang macam apa yang kau bawa masuk itu.” []
78Please respect copyright.PENANAPhmoWUqirF